Kebijakan penutupan Jalan Jatibaru Tanah Abang yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta, menuai interpelasi. Benarkah ada unsur politis dibalik kekisruhan ini?
PinterPolitik.com
“Politik tidak ada hubungannya dengan moralitas.” ~ Niccolo Machiavelli
[dropcap]K[/dropcap]ebijakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk menutup Jalan Jatibaru Raya yang berada persis di depan Stasiun Tanah Abang sejak 22 Desember lalu, mendapat kritik dari banyak pihak, termasuk protes dari para supir angkutan kota – khususnya mikrolet yang biasa melewati kawasan tersebut.
Penutupan jalan yang dilakukan Pemerintah Daerah (Pemda) ini, awalnya memiliki tujuan untuk memberi tempat bagi ribuan Pedagang Kali Lima (PKL) yang selama ini dianggap sebagai biang kerok dari kemacetan di Kawasan Tanah Abang. Para PKL ini bahkan disediakan tenda gratis oleh Pemda.
Bagi para pedagang, keputusan Anies tentu sangat menguntungkan. Bahkan kabarnya, penghasilan mereka jadi jauh lebih besar bila dibandingkan dengan penjual yang berada di Blok G. Sebab selain lebih dekat dengan stasiun, mereka juga tidak perlu membayar retribusi atau sewa tempat.
Kebijakan ini juga disambut baik oleh para pembeli, karena begitu keluar stasiun mereka tidak perlu lagi berjalan jauh ke Blok G dan blok lainnya. Namun apakah keberuntungan ini juga dirasakan oleh warga lainnya? Baik bagi para penumpang kereta komuter dan supir angkot yang biasa melalui tempat tersebut? Jawabnya, belum tentu.
Walau Pemda menyediakan fasilitas TransJakarta Explorer gratis yang mengantarkan warga keliling Blok di kawasan Tanah Abang, namun bagi warga lain yang tujuannya bukan untuk berbelanja, dampaknya cukup memberatkan, sebab mereka harus membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai tujuannya.
Ketiadaan angkutan kota (angkot) yang biasanya mangkal di depan stasiun, membuat warga terpaksa berjalan cukup jauh untuk mendapatkan angkot. Begitu juga dengan para pengendara yang harus mengambil jalan memutar yang cukup jauh, dan memicu timbulnya kemacetan di beberapa titik jalan.
Namun pihak yang merasa paling dirugikan dari penutupan jalan ini, tentu saja para supir angkot yang tidak bisa lagi mengambil penumpang di depan Stasiun Tanah Abang. Mereka bahkan mengaku mengalami penurunan penghasilan hingga 50 persen. Untuk itulah, para supir ini melakukan protes.
Protes tidak hanya datang dari para supir angkot, tapi juga dari pihak Ombudsman dan pengamat transportasi yang menyatakan kalau tindakan Pemda ini telah melanggar Undang-undang Lalu Lintas. Karena itulah, Ketua DPRD Prasetyo Edi Marsudi berinisiatif mengajukan hak interpelasi pada Gubernur dan Wakil Gubernur DKI.
Walau masih dalam tahap rencana, namun penolakan sudah dilayangkan oleh Wakil Ketua DPRD dari Gerindra, Mohamad Taufik dan Abraham Lunggana (Haji Lulung). Keduanya merasa heran dengan inisiatif ini, dan melihat bahwa protes para angkot ini kemungkinan besar dipolitisir pihak tertentu. Benarkah?
Tutup Jalan, Tabrak Undang-undang
“Jangan mengganggu musuhmu yang tengah melakukan kesalahan.” ~ Napoleon Bonaparte
Sebagai pusat grosir terbesar di Asia Tenggara, Tanah Abang memang selalu menjadi persoalan bagi kepala daerah yang menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta. Penataan pusat belanja dengan perputaran uang miliaran ini pun, sudah diupayakan sejak era Pemerintahan Sutiyoso. Namun, hingga kini belum ada hasil yang memuaskan.
Walau Haji Lulung memuji keputusan Anies yang mengalihfungsikan jalan, sebagai bentuk kepedulian dengan rakyat kecil. Namun keputusan ini, sebenarnya telah melanggar Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan No. 22 Tahun 2009. Selain itu, Pemda juga telah melanggar UU terkait peruntukan jalan No. 38 Tahun 2004.
Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Pol Halim Pagarra dalam sebuah diskusi menyatakan, pihak manapun yang sengaja mengakibatkan terhambatnya fungsi jalan, dapat dikenai denda sebesar Rp 1,5 miliar atau penjara 18 bulan. Halim juga menyayangkan Pemda yang tidak melibatkan Kepolisian sebelum menerapkan kebijakan ini, dan baru diberitahukan setelah penutupan jalan diberlakukan.
Pernyataan senada juga dilayangkan oleh Wakil Ketua Ombudsman Adrianus Meliala yang menyayangkan penataan Tanah Abang ala Anies, sebab bukannya mendorong PKL berjualan di tempat yang telah disediakan, malah melegalkan berjualan di badan jalan. Baginya, keputusan Anies memang out of the box tapi sayangnya dengan melanggar UU.
Presidium Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Ellen Tangkudung juga menganggap apa yang dilakukan Pemda DKI adalah sebuah kemubaziran. Sebab pembuatan jalan membutuhkan biaya yang tak sedikit karena aspal jauh lebih kuat dari lantai gedung, tapi hanya dipakai untuk berjualan para PKL.
Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti, Nirwono Joga juga ikut mengkritisi kebijakan ini. Ia melihat, pemberian izin PKL Tanah Abang untuk berjualan di jalan menimbulkan iri pada PKL di beberapa pasar lainnya, seperti di Pasar Pagi dan Pasar Asemka, Jakarta Barat, dan menganggap Pemda telah mengistimewakan PKL Tanah Abang.
Bahkan di Jalan Bendungan Hilir, kini para PKL sudah kembali berani berjualan di pinggir jalan. Padahal sebelumnya, para PKL ini telah diberi tempat khusus untuk berjualan. Tak jarang, para PKL ini pun menggelar dagangannya di trotoar Jalan Sudirman dan tidak takut lagi akan digusur oleh Satpol PP.
Di sisi lain, dipastikan sudah ada sekitar 21.000 warga yang telah menandatangani petisi menolak kebijakan “PKL turun ke jalan”. Petisi yang digalang Change.org ini menginginkan agar Jalan Jatibaru dikembalikan fungsinya seperti semula, dan meminta para PKL untuk ditempatkan di lokasi yang memang khusus untuk berjualan.
Selain warga Jakarta, ternyata para pedagang di Blok G pun banyak yang mengeluh atas kebijakan ini. Mereka mempertanyakan ‘pilih kasih’ yang dilakukan Anies karena akibat dari keputusan itu, para penjual di Blok G yang mengalami penurunan pendapatan. Padahal mereka berjualan sesuai dengan aturan yang ditetapkan.
Begitu juga dengan para PKL lain yang tidak kebagian tenda, mereka bahkan menuding pembagian tenda tersebut hanya mengutamakan para pemilik toko. Padahal PKL yang biasa dagang di trotoar dan selalu kejar-kejaran dengan Satpol PP malah tidak mendapatkan tenda untuk berjualan.
Banyak warga juga menganggap, kebijakan Anies ini lebih pada aksi “balas budi” mereka pada Haji Lulung yang notabene terkenal sebagai “pihak keamanan Tanah Abang”. Apakah mungkin, selentingan ini juga yang ikut dipikirkan oleh Ketua DPRD DKI Jakarta, untuk mengajukan hak interpelasinya pada kebijakan Anies-Sandi di Tanah Abang?
Benturan Partai di Tanah Abang
“Dalam politik, tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Bila pun terjadi, maka bisa dipastikan memang direncanakan seperti itu.” ~ Franklin D. Roosevelt
Kebijakan penataan Tanah Abang yang melanggar peraturan ini, ternyata juga memicu silang pendapat di dalam DPRD DKI Jakarta sendiri. Sebagai ketua DPRD, Prasetyo Edi Marsudi mengatakan kalau beberapa kebijakan yang dilakukan Anies-Sandi telah melanggar UU dan Perda, salah satunya dalam penataan Tanah Abang tersebut.
Oleh karena itu, Prasetyo yang merupakan kader PDIP ingin menggunakan Hak Interpelasi kepada Gubernur DKI Jakarta. Keinginannya ini, juga langsung diamini oleh Ketua Fraksi PDIP Gembong Warsono. Ia mengatakan kalau fraksinya langsung mempertimbangkan pengajuan hak interpelasi sejak penutupan jalan diberlakukan.
Hak interpelasi merupakan hak yang dimiliki DPR maupun DPRD untuk meminta keterangan mengenai kebijakan pemerintah – dalam hal ini kebijakan Gubernur DKI Jakarta yang berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat. Namun untuk menggunakannya, PDIP tidak bisa berjalan sendirian.
Kabarnya selain PDIP, fraksi NasDem juga setuju untuk ikut mengajukan hak tersebut. Sementara itu, baik Sandi bahkan Prabowo mempersilakan PDIP bila ingin melakukan hak interpelasi. Wakil Sekjen DPP Gerindra Andre Rosiade menilai, Partai Banteng merasa resah karena Anies-Sandi memperlihatkan keberpihakannya pada rakyat kecil.
Usulan penggunaan hak interpelasi sendiri sebenarnya bukan yang pertama terjadi, sebab saat Jokowi masih menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, DPRD yang dimotori oleh fraksi Demokrat juga pernah mengajukannya. Di tahun 2013, sekitar 32 anggota DPRD berencana mengajukan hak interpelasi pada Jokowi terkait mundurnya 16 rumah sakit swasta yang menolak ikut program Kartu Jakarta Sehat (KJS).
Namun pada akhirnya hak interpelasi ini batal digunakan, setelah disepakati untuk diselesaikan secara internal dalam rapat dengan Komisi E DPRD. Apakah pengajuan hak interpelasi pada Anies-Sandi ini merupakan aksi balas dendam PDIP pada rivalnya? Apalagi kabarnya, niatan PDIP ini kurang mendapat dukungan dari fraksi lainnya.
Kalau DPRD yang fungsinya sebagai pengawas kebijakan gubernur saja, hanya menganggap permasalahan Tanah Abang hanya sebatas tarik menarik kekuasaan dan kepentingan semata, lalu bagaimana nasib warga Jakarta lainnya yang merasa dirugikan atas penutupan Jalan Jatibaru ini?
Selain merampas hak warga dan menyalahi fungsi jalan, kini para PKL ditempat lain pun merasa keputusan Anies-Sandi menjadi keputusan yurisprudensi bagi mereka untuk dapat kembali berjualan di trotoar maupun di jalan raya. Kalau gubernur dan DPRD hanya memikirkan posisi politisnya mereka saja, lalu ke mana lagi warga akan mengadu? (R24)