Site icon PinterPolitik.com

Partai Berkarya: Cendana Is Back!

Foto: PinterPolitik.

Bung, meskipun Anda berupaya membunuhnya, Oligarki selamanya akan tetap eksis. Tapi, bagaimanapun perjuangan harus terus diupayakan, hingga titik darah penghabisan!


PinterPolitik.com

[dropcap]H[/dropcap]alo guys, ini era pasca reformasi, semua bebas bicara, bebas berorganisasi, bebas pula melakukan kritik terhadap siapapun, termasuk kepada Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Tapi ingat, selama kritikan berada dalam batas wajar, tentu tidak masalah. Akan tetapi, jika kritikan tersebut merupakan sebuah bentuk penghinaan, percayalah, Tommy akan menyeret siapapun ke pengadilan terdekat.

Di era demokrasi ini pula, Tommy muncul dengan partai barunya yakni Partai Berkarya. Memang dalam beberapa bulan terakhir, banyak media mengulas kemunculan partai ini sebagai salah satu partai baru di Indonesia. Tapi, sekilas melihat seragam berwana kuning dan lambang beringin sebagai identitas partai tersebut mengingatkan kita pada Partai Golongan Karya (Golkar) sebagai partai yang berkuasa pada era Orde Baru.

Selama 32 tahun berkuasa, partai ini tentu banyak melakukan berbagai manuver politik untuk tetap mempertahankan kekuasaannya. Tentu ada juga hal-hal positif yang dilakukan, misalnya pembangunan infrastruktur. Tapi, ada pula stigma buruk yang hingga kini melekat pada rezim ini, yakni terpusatnya kekuasaan ekonomi dan politik pada segelintir orang atau yang seringkali disebut dengan oligarki.

Tapi, dalam kasus ini para oligarki tidak lagi menggunakan Golkar sebagai alat perjuangan politik. Kini mereka tampil dengan partai baru yang dikenal dengan Partai Berkarya.

Kata oligarki, tentu tidak asing lagi di telinga, kata ini seringkali melekat pada sekelompok kecil orang yang memiliki kendali atas sebuah kekuasaan, baik itu secara ekonomi maupun politik. Secara asal muasalnya, oligarki berasal dari bahasa Yunani, yakni oligarkhia, yang berarti sebuah bentuk pemerintahan yang secara efektif dipegang oleh sekelompok kecil elit masyarakat.

Dalam konteks politik, terutama di negara-negara berkembang, oligarki tumbuh subur sebagai sebuah entitas politik yang memiliki koneksi yang luas dan kekuatan modal yang fantastis. Melalui dua variabel itu, –modal dan koneksi- para oligark dengan mudah mampu menciptakan kekuatan politik tersendiri.

Gelombang demokrasi 1998 yang terjadi di Indonesia, memang membawa beberapa perubahan penting, yakni munculnya kebebasan pers, kebebasan berkumpul dan berserikat, serta munculnya beragam partai politik dari berbagai spektrum ideologi (multiparty system). Tapi gerakan ini tak mampu memutuskan mata rantai para oligark yang kadung mengakar dalam struktur politik di Indonesia.

Setidaknya, fenomena tersebut dapat dibuktikan melalui kemunculan kembali Partai Berkarya besutan Tommy. Partai tersebut baru saja mendapat angin segar ketika dinyatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai salah satu partai yang lolos verifikasi dan siap bertarung dalam kontestasi politik 2019.

Tak hanya Tommy, seluruh putra-putri Presiden Soeharto kini bergabung dengan partai yang berlogo beringin ini, misalnya Sigit Harjojudanto, Siti Hardiyanti Indra Rukmana (Tutut), Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Harijadi (Titiek) dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek). Dari lima nama tersebut, tiga orang di antaranya maju sebagai calon legislatif (caleg) yakni Tommy, Titiek dan menantu Titiek, Muhammad Ali Reza.

Fenomena tersebut tak bisa dimunafikan, bahwa para oligarkdi Indonesia masih kuat, tapi pertanyaan kemudian adalah apa dampak buruk jika para oligarki ini tetap eksis, apakah munculnya generasi oligarkis ini akan merusak sistem demokrasi di Indonesia? Kalau iya, bagaimana cara mereka merusaknya?

Tentu, dampak buruknya adalah demokrasi yang makin dikungkungi oleh segelintir elit. Hal demikian terjadi karena sistem demokrasi memberikan ruang kepada siapapun untuk berpatisipasi mendapatkan legitimasi politik dari mayoritas, termasuk para oligark.

Kendali atas modal dan relasi politik, tentu membuka peluang kepada kelompok ini untuk berkuasa, dan bukan tidak mungkin bahwa kemungkinan mereka untuk terpilih akan semakin besar, mengingat maraknya pragmatisme politik yang berkembang di kalangan masyarakat Indonesia.

Pragmatisme politik yang dimaksud adalah rakyat makin tak peduli siapa itu para oligark, yang terpenting adalah bagaimana mereka dapat mengambil keuntungan dari partai tersebut, entah itu partai baru atau pun lama. Apalagi melihat karakter parpol di Indonesia yang tidak jelas berada pada spektrum ideologi politik tertentu.

Fatalnya, dalam sistem politik yang didominasi oleh para oligarkis demokrasi sebagai alat perjuangan politik akar rumput tertutup, digantikan oleh dominasi elit politik yang notabene merupakan para generasi oligarkis.

Oligarki and Demokrasi

Secara akademik, fenomena ini telah memunculkan apa yang disebut oleh Yuki Fukuoka sebagai “demokrasi oligarki”. Dalam“Oligarchy and Democracy in Post-Suharto Indonesia” Yuki Fukuoka mengatakan demokrasi oligarki adalah suatu tatanan demokrasi dimana pertarungan politik didominasi oleh koalisi kepentingan yang predatoris serta mendorong peminggiran kekuatan masyarakat sipil.

Munculnya Partai Berkarya yang didominasi oleh keluarga Seoharto tentu membuka kemungkinan bahwa kekuatan dinasti politik di Indonesia akan makin terkonsolidasi dan efeknya adalah kekuatan sipil akan semakin tergerus atau mengekor pada kelompok oligarki ini.

Memang sukar untuk menghapus sebuah dinasti politik, tidak hanya di Indonesia, negara seperti Filipina dan India pun tak lepas dari dominasi kelompok ini. Di Filipina keluarga mantan Presiden Ferdinand Marcos yang berkuasa selama 20 tahun hingga kini masih bercokol di tampuk kekuasaan. Meski Ferdinand dilengeserkan melalui people’s power pada 1986 namun faktanya anak cucunya hingga kini masih memiliki pengaruh politik yang kuat.

Sementara di India, siapa yang tak kenal dengandinasti politik Nehru-Gandhi. Dinasti ini berawal dari Perdana Menteri pertama India,Pandit Jawaharlal Nehru dan hingga kini anak cucunya masih aktif dalam perpolitikan India. Tentu, pengaruh keluarga dan kekuataan ekonomi yang dimiliki merupakan basis utama, sehingga keluarga ini masih tetap eksis dalam kekuasaan.

Di Indonesia, apa yang dilakukan Partai Berkarya tentu merupakan upaya Cendana untuk kembali bercokol dalam kekuasaan. Tampaknya, Tommy dan keluarga menyadari jalan satu-satunya untuk kembali menggapai kekuasaan hanya melalui politik. Tapi, jika ditelaah lebih dalam, apa yang dilakukan oleh Partai Berkarya ini kesannya berlebihan, misalnya dengan masuknya seluruh anggota keluarga ke dalam partai. Tentu, hal tersebut akan menjadi buah bibir di kalangan masyarakat.

Apalagi, sejauh ini sebagian masyarakat Indonesia masih memiliki stigma buruk terhadap rezim Orde Baru, terutama mengenai praktik-praktik pelanggaran HAM. Tentu, hal ini akan mempengaruhi elektabilitas partai. Keputusan Tommy untuk maju sebagai calon legislatif dari dapil Papua juga memicu sejumlah pertanyaan. Misalnya, apakah Tomy memilih di Papua lantaran benar-benar ingin membangun Papua atau sekedar ingin mencari popularitas politik.

Yang juga penting diperhatikan adalah, kemana keluarga Cendana akan berlabuh di 2019 nanti. Sejauh ini, nampak ada dua kutub utama yaitu kubu petahana yang digawangi Joko Widodo (Jokowi) dan kubu oposisi yang kemungkinan masih dimotori Prabowo Subianto.

Berlabuhnya Cendana ke salah satu kubu tentu dapat menjadi darah baru bagi siapapun yang mereka pilih. Sebagaimana disebut sebelumnya, sebagai oligark, partai ini memiliki kekuatan modal dan koneksi yang mumpuni. Bukan tidak mungkin mereka dapat menjadi penentu kemenangan kubu yang dipilih.

Jika mengikuti jalur yang sudah ada, Prabowo mungkin jadi yang paling rasional dipilih oleh Berkarya dan Cendana. Bagaimanapun, Prabowo memang memiliki kedekatan khusus dengan keluarga tersebut karena dibesarkan oleh Soeharto. Secara khusus, ia juga pernah menjadi suami Titiek, pentolan utama Berkarya yang juga putri Soeharto. Meski telah berpisah, keduanya sempat terlihat mesra kala Prabowo bertarung di Pilpres 2014.

Pilihan tersebut tampak paling mungkin juga karena Tommy belakangan banyak melontarkan kritik pada pemerintahan Jokowi. Ia kerap membanding-bandingkan pemerintahan tersebut dengan kepemimpinan ayahnya. Di mata Tommy, ayahnya lebih piawai memimpin ketimbang mantan Wali Kota Solo tersebut.

Meski begitu, tetap tidak ada yang tidak mungkin. Beberapa waktu lalu misalnya, Tutut pernah melontarkan dukungannya kepada Jokowi. Meski tidak eksplisit, mantan Menteri Sosial tersebut mengaku mendukung siapapun yang bekerja demi bangsa saat ditanya soal kepemimpinan Jokowi. Hal ini membuat peluang merapatnya Berkarya dan Cendana ke Jokowi masih tetap ada.

Terlepas dari segala kontroversinya, siapa tahu, apa yang dilakukan Tommy saat ini adalah untuk menebus dosa bapaknya, atau ingin melanjutkan perjuangan bapaknya yang masih tertunda. Ya, siapa tahu.

Yang jelas, dinasti politik memang sukar untuk dihilangkan, tapi yang perlu rakyat lakukan saat ini adalah rakyat harus berfungsi sebagai anjing penjaga, sehingga kontrol rakyat atas para perilaku elit politik makin kuat, dengan begitu elit tak bisa berbuat seenaknya.

Terakhir, semoga Tommy dan keluarga, betul-betul punya niat yang baik untuk mengubah bangsa ini. (A34)

Exit mobile version