HomeNalar PolitikParpol Paksa Anak Muda Nyaleg?

Parpol Paksa Anak Muda Nyaleg?

Sejumlah politisi menunjukkan ketertarikannya untuk menaikkan batas minimal usia caleg untuk menjaring lebih banyak anak muda.


PinterPolitik.com

[dropcap]K[/dropcap]atanya, anak muda harus aktif berpolitik. Sayang, anjuran tersebut baru sebatas jargon saja. Anak muda saat ini lebih banyak menjadi penonton dalam kancah politik nasional. Tidak banyak pemuda yang memiliki keberuntungan untuk menduduki jabatan politik.

Ada beragam upaya untuk menarik para pemuda lebih aktif berpolitik. Salah satunya adalah dengan mengatur ulang batas minimal usia pencalonan. Saat ini, muncul wacana untuk menurunkan batas minimal usia pencalonan anggota DPRD melalui Peraturan KPU.

Politikus PKS Mardani Ali Sera merupakan salah satu yang melontarkan wacana tersebut. Menurutnya, persyaratan untuk anggota DPRD Kabupaten/Kota bisa diturunkan menjadi 19 tahun. Usulan tersebut disambut baik oleh Sekjen PSI Raja Juli Antoni. Menurutnya, hal itu merupakan inisiatif yang baik.

Ada banyak negara yang menerapkan batas minimal usia pencalonan pada angka yang amat rendah. Meski begitu, idealkah batas minimal usia yang rendah tersebut? Apakah Indonesia perlu menurunkan batas minimal usia pencalonan hingga serendah mungkin?

Aturan Pembatasan Usia

Syarat minimal pencalonan untuk jabatan publik di Indonesia diatur di dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Di dalam UU tersebut dijelaskan bahwa syarat minimal pencalonan untuk kamar legislatif di Indonesia berada di usia 21 tahun.

Peraturan minimal usia 21 tahun tersebut belaku untuk calon anggota legislatif di seluruh jenjang, mulai dari DPRD Kabupaten/Kota, Provinsi, hingga DPR pusat. Hal serupa berlaku untuk kamar kedua, yaitu DPD yang mensyaratkan usia minimal 21 tahun untuk menjadi senator.

Jika dibandingkan dengan usia memilih, memang terlihat ada jarak antara usia memilih dengan usia dipillih. Masih berasal dari UU yang sama, diatur bahwa minimal untuk dapat memilih dipatok pada usia 17 tahun. Selain itu, dijelaskan juga bahwa seseorang dapat memilih jika sudah atau pernah menikah.

Ada beragam contoh usia minimal pencalonan di seluruh dunia. Beberapa negara menerapkan batas usia yang amat rendah untuk dapat dipilih dalam sebuah jabatan publik. Negara-negara seperti Australia, Inggris, Jerman, atau Belanda misalnya, memberi hak kepada warga untuk dapat dipilih menjadi anggota legislatif saat berusia 18 tahun.

Di Australia dan Belanda, anak muda tidak hanya berpeluang menjadi anggota parlemen saja. Sebagai negara dengan sistem parlementer, anak muda berusia minimal 18 tahun juga berpeluang menjadi Perdana Menteri.

Baca juga :  The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Berlawanan dengan negara-negara tersebut, Amerika Serikat (AS) mematok angka yang cukup tinggi untuk batasan usia minimal calon pejabat publik mereka. Di negeri Paman Sam itu, usia minimal untuk menjadi anggota House of Representatives adalah 25 tahun. Sementara itu, usia minimal untuk menjadi anggota senat adalah 30 tahun.

Anak Muda Belum Cukup Dewasa?

Perdebatan soal batas usia minimal untuk jabatan publik telah ada sejak lama. Di era  Romawi Kuno, ada sebuah aturan hukum, yaitu Lex Villia Annalis yang mengatur batasan usia untuk menjadi seorang senator. Aturan tersebut dibuat untuk mengurangi intensitas dari persaingan politik dan juga korupsi.

Batasan usia tersebut dikemukakan oleh Marcus Tullius Cicero. Menurut Cicero, orang yang lebih tua memiliki pengalaman yang lebih banyak. Orang yang lebih tua lebih mampu mempraktikkan intelektualitasnya dengan lebih kuat karena telah ditempa oleh waktu.

Kemudian, pembatasan usia ini menimbulkan perdebatan panjang di era modern. John Seery dalam bukunya Too Young to Run menilai bahwa pembatasan usia ala Cicero ini akan memunculkan elitisme. Berdasarkan pendapat tersebut, pembatasan usia dapat mengeliminasi anak muda dengan kompetensi demi melanggengkan elit orang tua.

Parpol Paksa Anak Muda Nyaleg?

Adanya peraturan tersebut seolah memunculkan klasifikasi warga negara. Warga negara kelas satu adalah warga negara yang sudah bisa mencalonkan diri untuk jabatan publik, sementara di bawahnya ada warga negara yang tidak bisa. Terlihat ada pembedaan hak terhadap warga berdasarkan usia mereka.

Kondisi tersebut tergolong membingungkan jika melihat batas usia untuk hal-hal lain. Di Indonesia misalnya, masyarakat sudah boleh memilih pada usia 17 tahun, serta sudah boleh menikah di usia 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Meski hak-hak tersebut sudah diberikan di usia yang lebih muda, nyatanya, seseorang masih dianggap belum cukup dewasa untuk menjadi seorang pejabat publik.

John Rawls, seorang pemikir terkemuka dalam teori keadilan memiliki pandangan terhadap pembatasan tersebut. Menurutnya,  kesempatan untuk dapat melaju sebagai pejabat publik adalah kebebasan dasar yang harus dimiliki oleh semua orang. Meski begitu, ia juga menambahkan bahwa batasan usia dapat diterima dengan syarat tidak ada prinsip-prinsip dasar dari kesetaraan hak.

Jika melihat teori representasi milik Hanna Pitkin, batasan usia yang ada saat ini tidak menggambarkan representasi dari masyarakat yang boleh memilih. Oleh karena itu, idealnya batasan usia masyarakat untuk dipilih dibuat mendekati dengan batasan usia memilih.

Hal ini senada dengan pendapat Robert Dahl. Menurutnya, proses demokrasi seharusnya berlaku universal kepada seluruh orang dewasa. Jika seseorang sudah dianggap cukup dewasa untuk memilih, maka seharusnya ia juga sudah dianggap dewasa untuk dipilih.

Baca juga :  Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Jika merujuk pada UU yang berlaku, maka batasan usia yang dimaksud adalah 17 tahun. Meski begitu, usia ini umumnya masih menjadi usia tahun terakhir masa sekolah. Hal ini bertentangan dengan persyaratan lain berupa pendidikan yang minimal harus SMA atau sederajat untuk menjadi anggota legislatif. Untuk itu, agar lebih aman, batas usia 18 tahun dapat menjadi pilihan. Batasan usia tersebut sama dengan banyak negara di dunia seperti Inggris, Australia, Jerman, dan Belanda.

Asal Anak Muda?

Meski menurunkan batas usia dipilih adalah hal yang ideal, hal ini tidak dapat dilakukan secara serta-merta. Ada alasan mengapa masyarakat Romawi Kuno melakukan batasan terhadap usia orang yang dapat memegang jabatan publik. Kala itu, ada keanehan dalam penunjukkan orang yang mengisi jabatan politik senior tertentu.

Oleh karena itu, pada tataran ideal, memberikan kesempatan kepada anak muda harus tetap memenuhi prinsip-prinsip meritokrasi. Prinsip ini memiliki akar filsafat yang kuat terutama terkait dengan Konfusianisme.

Konfusianisme sangat memperhatikan aspek kepentingan masyarakat luas dalam menentukan pejabat publik. Hal ini membuat prinsip meritokrasi menjadi amat penting dalam tradisi filsafat timur ini. Pejabat yang tidak memenuhi unsur merit dianggap akan mengganggu kepentingan masyarakat luas. Berdasarkan prinsip ini, maka anak muda yang menjadi pejabat publik tidak bisa asal muda.

Hal senada diungkapkan oleh Niccolo Machiavelli. Machiavelli cenderung tidak mempersoalkan batasan usia dalam penentuan jabatan publik. Meritokrasi menjadi unsur yang lebih penting dalam penentuan seorang pejabat.

Anak muda yang dipilih dan dicalonkan idealnya tidak hanya maju semata-mata karena ia muda. Ada banyak syarat lain yang harus ia penuhi sebelum dapat merengkuh jabatan publik. Unsur merit atau kepantasan harus benar-benar dikuasai sebelum menjadi pejabat publik.

Pemilihan anak muda idealnya tidak dimaksudkan untuk melanggengkan kekuasaan parpol semata. Jika memaksakan anak muda tanpa memandang unsur kecakapannya, maka anak muda tersebut hanya akan menjadi lumbung suara saja yang dimanfaatkan oleh parpol.

Hal ini membuat prinsip keadilan yang dikemukakan oleh Rawls menjadi tercederai. Terbukanya jabatan publik untuk anak muda tidak lain hanya menjadi cara untuk menimbulkan oligarki parpol. Padahal, hal inilah yang ingin dilawan oleh Rawls.

Oleh karena itu, jika benar-benar ingin menurunkan batas minimal usia untuk menjadi caleg, baik parpol atau kandidat tidak bisa berlaku sembarangan. Kepentingan masyarakat luas menghendaki anak muda yang kompeten ketimbang sekadar muda. Dengan begitu, aspek keadilan ala Rawls dan juga meritokrasi dapat dipenuhi secara bersamaan.(H33)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...