HomeNalar PolitikParpol Lawan Mitos “Ekor Jas”?

Parpol Lawan Mitos “Ekor Jas”?

Ramai-ramai parpol memanaskan mesin jelang 2024, pelatihan dan kaderisasi anggota pun digelar. Banyak pihak menilai kaderisasi parpol sebagai upaya melawan fenomena efek ekor jas yang saat ini sedang menjadi hantu bagi partai. Mungkinkah parpol dapat melawan mitos efek ekor jas?


PinterPolitik.com

Jelang Pilpres 2024, banyak  pengamat melihat tahun 2022 akan menjadi awal tahun politik. Waktu dua tahun menuju pemilu dinilai cukup bagi parpol menyiapkan pemenangan di pemilihan legislatif, dan juga upaya mengusung tokoh internal maupun pejabat publik populer di luar partai untuk Pilpres 2024 mulai dipertunjukkan. Tentunya semua itu untuk mendulang suara bagi partai.

Partai-partai politik mulai memanaskan mesin politiknya untuk menyiapkan diri menghadapi Pemilu 2024. Konsolidasi struktural di internal partai pun dilakukan. Sejumlah partai juga mulai menyiapkan perekrutan calon-calon anggota legislatif yang menjadi ujung tombak untuk mendulang suara bagi partai.

Strategi partai melalui kaderisasi juga dijalankan oleh beberapa partai politik. Sebut saja Partai Golkar, melalui Golkar Institute melakukan pelatihan kaderisasi bakal calon legislatif dengan cara workshop dan pendidikan politik. Termasuk juga Partai Demokrat, yang saat ini telah merampungkan 50 persen Musyawarah Daerah untuk seleksi kepemimpinan partai berlambang mercy itu di tiap daerah.

Sedangkan PDIP, menggembleng pengurus melalui sekolah partai milik partai yang dilakukan di berbagai tempat. Harapan terbesarnya, proses ini mampu melahirkan tokoh-tokoh baru dari partai banteng tersebut. Hal serupa juga dilakukan oleh PKB, dengan menghadirkan instruktur senior PKB serta sejumlah pakar untuk calon legislatif dari PKB.

Geliat partai politik dalam memanaskan mesin politik dengan cara melakukan kaderisasi dan pelatihan anggota partai menjadi fenomena yang menarik untuk disorot. Seperti apa sebenarnya kaderisasi di tubuh partai politik?

Upaya Modernisasi Parpol

Jika kita runut dari sejarah partai politik di Indonesia, maka kita akan menemukan cara mengidentifikasi partai politik dengan dua kategori. Pertama, kategori ideologisasi partai politik, partai dapat dibedakan dengan cara melihat ideologi antara satu partai dengan partai lainnya.

Kedua, dengan cara melihat model partai politik, yaitu partai diidentifikasi sebagai partai kader atau sebagai partai massa. Sebagai contoh, pada Pemilu 1955, partai kader biasanya disematkan untuk Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang tidak punya massa banyak tapi memiliki kader yang potensial dalam kabinet, Sjahrir misalnya. Kemudian partai massa kita bisa sematkan kepada Partai Komunisme Indonesia (PKI). Partai ini memiliki sedikit kader yang potensial, tetapi memiliki massa yang banyak di berbagai daerah, khususnya di Jawa.

Dengan berjalanannya waktu, partai politik di Indonesia mulai berubah dari setiap rezim ke rezim lainnya. Sempat berada pada rezim otoriter, partai politik di era Orde Baru tidaklah begitu berkembang diakibatkan fusi partai politik yang membatasi ruang gerak partai itu sendiri.

Baca juga :  Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Saat ini, partai mulai mencari jalan baru dalam merubah dirinya untuk menyesuaikan dengan zaman. Partai politik mulai menjelma menjadi partai politik modern, di mana partai politik ingin berkembang dan berjangka panjang sebagai alat perjuangan masyarakat yang mendukungnya.

Selain itu, partai bertipe elite party, yang secara konvensional masih dianut oleh partai-partai politik kita, memperlihatkan tidak ada demokrasi di dalamnya. Kekuasaan dalam pengambilan kebijakan partai tersentralisasi di tangan tokoh sentral partai, yakni pendiri partai atau ketua umum partai. Tokoh sentral inilah yang sangat dominan dalam menentukan berbagai langkah politik dan kebijakan partai, seperti pengajuan kandidat untuk jabatan politik (legislatif dan eksekutif), penentuan koalisi politik, dan sikap politik partai. Pendek kata, setiap keputusan atau kebijakan partai mesti mendapat ‘restu’ dari tokoh sentral partai.

Alasan modernisasi partai politik sebenarnya sederhana, partai ingin membuat pola baru dalam mempertahankan eksistensinya pada kanca politik, agar partai dapat bertahan secara permanen. Cara ini dianggap efektif karena mampu merubah peran figur yang dominan dalam partai menjadi peran organisasi yang akan jadi lebih dominan. Dalam istilah ilmu politik, perubahan ini disebut dengan perubahan personal appeals menjadi institutional appeals.

Salah satu upaya untuk memodernisasi partai politik, yaitu dengan cara menjalankan fungsi kaderisasi partai politik. Kaderisasi diharapkan akan melahirkan anggota-anggota partai yang potensial untuk menjalankan roda organisasi partai dan juga menjadi calon pejabat publik dalam politik elektoral.

Burhanuddin Muhtadi dalam bukunya Perang Bintang Konstelasi dan Prediksi Pemilu dan Pilpres, mengatakan, manajemen kelembagaan partai politik secara internal strukturan melihat kaderisasi sebagai instrumen penting partai politik untuk melahirkan pejabat publik dari internal.

Alasan utamanya, fungsi kaderisasi akan mencegah fenomena baru yang muncul dalam perpolitikan kita hari-hari ini, yaitu deparpolisasi. Fenomena deparpolisasi secara sederhana adalah upaya masyarakat yang ingin lepas dari partai politik, tentunya dikarenakan kesan partai politik buruk di mata publik.

Fenomena deparpolisasi ini juga yang menjelaskan munculnya fenomena-fenomena pejabat publik yang hadir dan tidak berafiliasi dari sebuah partai politik. Fenomena ini menarik, karena masyarakat justru merespons positif tokoh non-partai ini, karena dianggap lebih bersih dan tidak terkontaminasi dengan asosiasi buruk yang telah hinggap pada partai politik.

Di sisi lain, fenomena popularitas pejabat publik non-partai ini menjadi permasalahan baru yang sejauh ini dianggap menghantui partai politik. Pejabat publik yang populer dianggap menjadi magnet politik, sehingga partai seolah harus mengikuti tren popularitas pejabat publik itu agar mendapatkan efek yang sama. Gejala ini kita sebut dengan coattail effect atau efek ekor jas. Lantas, masih adakah  gejala efek ekor jas pada politik elektoral saat ini?

Baca juga :  Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Ilusi Efek Ekor Jas

Djayadi Hanan dalam tulisannya Efek Ekor Jas, mengatakan kajian ilmiah mengenai efek ekor jas umumnya didasarkan pada penelitian pemilu serentak dalam sistem presidensial dua partai seperti di Amerika Serikat (AS). Kesimpulan umumnya, terdapat hubungan yang positif antara kekuatan elektoral seorang calon presiden dan partai yang mengusungnya. Artinya, seorang calon presiden atau presiden yang populer dengan tingkat elektabilitas yang tinggi akan memberikan keuntungan positif secara elektoral kepada partai yang mengusungnya sebagai calon.

Gejala efek ekor jas, melahirkan fenomena yang terkesan permanen dalam perjalanan politik elektoral kita saat ini. Banyak partai politik dihipnotis oleh tokoh politik altenatif non-partai  yang membuka ruang agar dipinang oleh partai politik, karena modal politik populernya.

Berbeda dengan AS, di Indonesia awalnya banyak peneliti dan pengamat yang melihat fenomena efek ekor jas juga hadir karena munculnya Jokowi effect saat pencalonan Jokowi di periode pertama. Tapi saat ini, dengan berbagai upaya ilmuwan politik  melihat terdapat indikasi baru yang berbeda.

Ramlan Surbakti dalam tulisannya Efek Ekor Jas yang Tak Berpengaruh, mengatakan, ternyata efek ekor jas yang selama ini manjadi momok menakutkan partai tidak berpengaruh secara signifikan. Diduga terdapat dua faktor penyebab. Pertama, sistem pemilu proporsional terbuka yang berpusat pada calon (candidate-centered) yang digunakan untuk memilih anggota DPR.

Kedua, partai politik peserta pemilu tidak berperan sebagai peserta pemilu dalam arti melakukan kampanye pemilu untuk menyampaikan rencana kebijakan publik yang akan diperjuangkan, dan melakukan kampanye pemilu untuk mendukung pasangan capres dan cawapres yang diusulkan.

Tesis Surbakti mengandaikan bahwa partai politik harus berbenah untuk melahirkan kader potensial yang dapat mendorong dari dalam agar partai mampu berkompetisi secara kompetitif tanpa tepengaruh efek ekor jas. Argumentasi Surbakti tegas membantah bahwa efek ekor jas itu permanen. Dengan kata lain efek ekor jas bisa berubah dan hanya bersifat sementara, bahkan juga ilusif.

Oleh karenanya, apa yang dilakukan oleh partai politik saat ini, yaitu fokus dalam melaksanakan kaderisasi anggota secara masif perlu diapresisasi. Harapannya, dengan terbentukya kaderisasi partai, maka manajemen kepartaian akan berubah dan memodernisasi partai politik. (I76)


spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Punya Pasukan Spartan?

“Kenapa nama Spartan? Kita pakai karena kata Spartan lebih bertenaga daripada relawan, tak kenal henti pada loyalitas pada kesetiaan, yakin penuh percaya diri,” –...

Eks-Gerindra Pakai Siasat Mourinho?

“Nah, apa jadinya kalau Gerindra masuk sebagai penentu kebijakan. Sedang jiwa saya yang bagian dari masyarakat selalu bersuara apa yang jadi masalah di masyarakat,”...

PDIP Setengah Hati Maafkan PSI?

“Sudah pasti diterima karena kita sebagai sesama anak bangsa tentu latihan pertama, berterima kasih, latihan kedua, meminta maaf. Kalau itu dilaksanakan, ya pasti oke,”...