Polemik tidak diberikannya ruang bagi umat Muhammadiyah untuk melaksanakan Salat Idulfitri di sejumlah daerah terus diperbincangkan. Bahkan, debat itu melibatkan diskursus toleransi dan intoleransi yang turut “membelah” tokoh Nahdlatul Ulama (NU), yakni Alissa Wahid dan Nadirsyah Hosen. Lalu, mengapa perdebatan itu bisa terjadi? Serta apa yang dapat dimaknai dari polemik tersebut?
Terdapat satu perdebatan menarik saat “lebaran duluan” Muhammadiyah yang diikuti pelarangan Salat Idulfitri bagi umat Muhammadiyah di tempat tertentu di beberapa daerah membuat dua tokoh Nahdlatul Ulama (NU) tampak saling bertolak belakang.
Kedua tokoh itu adalah putri Presiden ke-4 RI Alissa Qotrunnada atau Alissa Wahid dan kiai sekaligus cendekiawan NU Nadirsyah Hosen atau Gus Nadir. Mereka terlibat saling balas pendapat di Twitter kemarin tulat mengenai “tenggang rasa” yang kemudian memantik perhatian masif dari netizen lainnya.
Awalnya, merespons polemik pelarangan atau tak diizinkannya Salat Idulfitri umat Muhammadiyah, Gus Nadir menyebut Hari Raya Lebaran Idulfitri harus mengikuti keputusan pemerintah jika ditinjau dalam Fiqh. Namun, secara aturan bermasyarakat pemerintah disebutnya juga tidak boleh melarang perbedaan hari raya.
Akan tetapi, menurut Gus Nadir, mereka yang “berbeda” harus bertenggang rasa dengan tidak menggunakan fasilitas publik maupun pemerintah untuk Salat Idulfitri.
Bait kicauan Gus Nadir itu lah yang memantik respons Alissa Wahid. Alissa mempertanyakan logika terbalik Gus Nadir bahwa tenggang rasa tidak dapat “ditagih” kepada pihak lain.
“Alih-alih meminta kawan-kawan yang merayakan Idulfitri tanggal 21 April 2023 untuk bertenggang rasa kepada yang mengikuti pemerintah, kita justru harus meminta diri kita bertenggang rasa kepada mereka,” begitu petikan twit Alissa.
Perdebatan pun terjadi saat Gus Nadir membalasnya dengan salah satu risalah “bertenggang rasa” dari sosok bernama Hadratus Syekh dengan melarang perayaan Lebaran yang demonstratif saat berbeda dengan kelompok lainnya.
Alissa pun membalas bahwa yang dilarang adalah takbiran, sebuah hal demonstratif yang bisa ditafsirkan provokatif, bukan berada dalam ranah substansial ibadah Salat Idulfitri.
Balasan itu pun ditutup Alissa dengan ajakan kepada Gus Nadir untuk menghentikan perdebatan yang telah mengundang jutaan impresi pengguna Twitter.
Sebelumnya, lini masa memang telah ramai dengan perdebatan serupa saat kebanyakan mempertanyakan larangan yang cenderung memantik interpretasi tendensius, terutama kepada pemerintah.
Menanggapi polemik tersebut, akhirnya Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas meminta pemerintah daerah tidak melarang dan tetap memberikan fasilitas bagi jamaah Muhammadiyah yang akan menyelenggarakan Salat Idulfitri pada hari Jumat 21 April esok.
Perdebatan seputar tenggang rasa, toleransi, dan intoleransi sendiri agaknya tak pernah absen saat satu kelompok keagamaan memiliki perbedaan dengan kelompok lainnya. Bahkan, kini kembali terjadi di agama yang sama sebagai mayoritas.
Hal itu kemudian memantik satu pertanyaan mendasar, yakni mengapa perdebatan dan penolakan itu bisa terjadi?
Rerpresentasi Paradoks Toleransi?
Salah satu kota yang “melarang” penggunaan fasilitas untuk Salat Idulfitri umat Muhammadiyah adalah Pekalongan.
Meski telah berubah sikap, Wali Kota Pekalongan Afzan Arslan Djunaid sebelumnya tidak memberikan izin penggunaan Lapangan Kota Mataram Kota Pekalongan untuk digunakan sebagai lokasi pelaksanaan Salat Idulfitri.
Sontak, gaung toleransi yang selama ini digemakan Afzan bagi masyarakat Kota Pekalongan pun disebut hanya sebatas slogan dan tak diimplementasikan secara konsisten.
Secara bersamaan, pihak yang menolak pun tak sedikit yang mendapat predikat intoleran, bahkan dari mereka yang Lebaran Idulfitri mengikuti keputusan pemerintah.
Yang menggelitik, satu dari sekian penolakan itu sebenarnya datang berdasarkan penentuan Hari Raya Idulfitri oleh Kementerian Agama (Kemenag) yang saat ini masih belum pasti serta masih sebatas perkiraan akan jatuh pada 22 April 2023.
Selain itu, tak semua kota atau kabupaten terjadi polemik penolakan pemberian izin semacam itu.
Padahal, semestinya kepala daerah dan masyarakatnya dapat berlomba-lomba menjadikan kota maupun kabupatennya sebagai yang paling toleran, sebagaimana eksistensi pemeringkatan SETARA Institute Indeks Kota Toleran (IKT) setiap tahunnya.
Kembali, bukan hanya “tenggang rasa”, perdebatan dan pengalaman getir kolektif masyarakat di masa sebelumnya seolah tak dijadikan pelajaran saat diskursus toleran-intoleran dalam kehidupan sosial-politik dan beragama di Indonesia kembali menyeruak.
Sayangnya, polemik pelarangan Salat Idulfitri umat Muhammadiyah seakan kembali menunjukkan bahwa intoleransi masih menjadi persoalan alot di negara +62.
“Logika terbalik” dari permintaan tenggang rasa Gus Nadir yang dikritik Alissa, seolah juga menguak bahwa selama ini terdapat paradoks tersendiri dalam memahami dan mengaktualisasikannya, termasuk konteks toleransi.
Paling tidak, paradoks tersebut telah menjadi persoalan yang eksis sebelum dan menjelang pertengahan abad ke-20. Filsuf Karl Popper kemudian menganalisisnya dalam bingkai sebuah konsep masyhur yang disebut sebagai paradox of tolerance atau paradoks toleransi.
Dalam buku yang dipublikasikan pada tahun 1945 berjudul The Open Society and Its Enemies, Popper mengatakan untuk menjaga masyarakat yang toleran diperlukan sikap intoleran kolektif terhadap intoleransi.
Di samping itu, Popper menyatakan toleransi yang tak terbatas dapat memicu hilangnya toleransi itu sendiri.
Artinya, jika toleransi juga diberikan kepada kaum intoleran, Popper menyebut bahwa masyarakat yang toleran akan hancur bersama toleransi.
Hal itu dikarenakan, aktivitas kelompok intoleran yang dibiarkan bebas pada akhirnya dapat menerabas nilai-nilai toleransi dalam konteks dan momentum apa pun.
Paradoks toleransi Popper itu kemudian bermuara pada tiga esensi yang setidaknya dapat meminimalisir antitesis toleransi.
Pertama, memperbesar kelompok-kelompok masyarakat toleran. Kedua, membuka ruang-ruang yang lebih inklusif dengan keberagaman dan identitas. Ketiga, mempersempit kesempatan bagi kelompok-kelompok intoleran untuk memanfaatkan keadaan bagi kepentingannya sendiri.
Satu hal menarik yang menjadi kabar baik, perubahan sikap pelarangan Salat Idulfitri umat Muhammadiyah seolah menggambarkan bahwa fenomena the power of netizen Indonesia telah menjadi esensi yang telah diambil dari konsep paradoks toleransi Popper.
Jalan tengah, yakni memulai toleransi dari diri/kelompok sendiri menjadi inti sari penting dari kesepahaman positif publik Tanah Air yang muncul di lini masa dalam merespons perdebatan tersebut.
Sementara itu, dalam dimensi yang berbeda, kejanggalan agaknya muncul saat terdapat kepala daerah yang melakukan penolakan dengan tendensi intoleran semacam itu.
Padahal, sikap yang lebih akomodatif akan sangat menguntungkan bagi mereka secara politik. Benarkah demikian?
Alat Politik Konstruktif?
Ya, keengganan memberikan izin oleh beberapa pihak terhadap ibadah Salat Idulfitri umat Muhammadiyah kiranya memang mengherankan.
Terlebih, restu akhir kebanyakan diputuskan oleh kepala daerah yang notabene merupakan aktor politik dan dipilih karena sebuah proses politik, yakni andil konstituen masyarakat luas. Termasuk dari umat Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam tertua dan terbesar di negeri ini.
Di titik ini, terlepas dari apa sebab utamanya, yang jelas politik rekognisi atau pengakuan tampaknya terabaikan.
Charles Taylor dalam The Politics of Recognition menyebut bahwa mengekspos rekognisi eksistensi individu atau kelompok dengan identitas tertentu adalah hal vital dan mendasar bagi kebutuhan manusia.
Hal itu kemudian telah bertransformasi sebagai sebuah tuntutan dalam kehidupan sosial dan politik kontemporer.
Bahkan, rekognisi juga memiliki sejarah panjang sebagai salah satu kekuatan pendorong di belakang berbagai gerakan nasionalis dalam politik di berbagai negara.
Dan, tuntutan itu lantas mengemuka dalam berbagai praktik dalam politik untuk merangkul kelompok minoritas atau subaltern, yang merefleksikan tiga karakter sekaligus, yakni politik multikulturalisme, politik equal dignity atau persamaan martabat, dan politik universalisme.
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan Partai Demokrat menjadi aktor yang telah membuktikan bahwa rekognisi terhadap kalangan minoritas dapat berkontribusi positif secara elektoral.
Biden dan Demokrat menuai buah manis saat pengakuan bertransformasi menjadi apresiasi, simpati, dan dukungan dari kelompok-kelompok itu. Pada akhirnya, keuntungan elektoral diraih keduanya saat Pilpres AS 2020 lalu dibayangi isu identitas seperti rasialisme.
Jika pemahaman bahwa rekognisi terhadap minoritas pun menjadi determinan dalam dinamika dan proses politik dengan mengacu pada analisis Taylor tersebut, maka rekognisi terhadap kelompok dengan massa besar pun semestinya wajib dikelola dengan baik oleh para aktor politik.
Bukan tidak mungkin, impresi polemik semacam ini akan berpengaruh secara elektoral jelang pesta demokrasi 2024. Tidak hanya bagi aktor kepala daerah, melainkan bisa saja berimplikasi pada kesan partai politik (parpol) asal mereka.
Kembali, satu hal yang menjadi hikmah dan catatan penting di balik polemik izin Salat Idulfitri umat Muhammadiyah adalah bagaimana setiap individu dan kelompok dapat mengaktualisasikan toleransi dari diri sendiri terhadap pihak lainnya.
Bukan dengan menagih toleransi, merasa eksklusif, serta meminta kelompok lain dengan keyakinannya bertenggang rasa. Tak lain, demi kehidupan yang kondusif antarumat beragama di Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. (J61)