KPU telah mengonfirmasi bahwa kabar tentang 7 kontainer berisi surat suara yang telah dicoblos di Pelabuhan Tanjung Priok adalah berita bohong atau hoaks. Namun, di tengah tensi politik yang makin tinggi jelang pemungutan suara di bulan April nanti, isu ini seolah menjadi penegas paradoks demokrasi. Pasalnya, sistem yang bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada orang-orang yang ingin bersaing memperjuangkan kepentingan dan kebaikan bersama tersebut, kini justru diwarnai lebih banyak oleh kebohongan dan kebencian yang meresahkan.
PinterPolitik.com
“War is peace, freedom is slavery, ignorance is strength.”
:: George Orwell, dalam novel ‘Nineteen Eighty Four’ ::
[dropcap]S[/dropcap]eperti diberitakan oleh banyak media, sebelumnya memang beredar kabar terkait keberadaan 7 kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok yang berisi surat suara yang telah tercoblos. Bahkan, beberapa pihak menyebutkan bahwa suara yang tercoblos adalah untuk pasangan nomor urut 01, Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin.
Dengan kata lain, jika kontainer tersebut benar-benar ada, tuduhan kecurangan Pemilu bisa diarahkan pada pasangan petahana tersebut.
Kabar tersebut mendatangkan atensi publik pasca dicuitkan oleh Wasekjen Partai Demokrat, Andi Arief. Dalam cuitan di akun media sosialnya, mantan aktivis 1998 itu meminta agar kabar tentang 7 kontainer tersebut dicek apakah benar atau tidak.
Kebebasan yang dijamin demokrasi memberikan peluang pada lahirnya hoaks, penggunaan segala cara untuk menang, dan lain sebagainya, yang paradoksal dengan tujuan peningkatan kebaikan bagi masyarakat. Share on XTak butuh waktu lama, Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun mengecek informasi tersebut kepada pihak Bea Cukai dan menemukan bahwa berita tersebut tidak benar. Dengan kata lain, kabar terkait adanya 7 kontainer berisi surat suara yang telah tercoblos itu adalah berita bohong atau hoaks.
Lembaga penyelenggara Pemilu itu kemudian menyatakan akan mempolisikan pihak-pihak yang menyebarkan hoaks tersebut. Ketua KPU Arief Budiman menyebutkan bahwa hoaks tersebut bisa dianggap sebagai upaya untuk mendelegitimasi Pemilu 2019.
Secara umum, konteks hoaks 7 kontainer surat suara ini tentu saja menjadi bagian lain dari pertarungan isu yang terjadi jelang Pilpres 2019. Menariknya, alih-alih bicara program, warna utama yang ditampilkan justru adalah pertarungan tentang kebenaran versi siapa yang bisa diterima publik, serta siapa yang memproduksi kebohongan atau hoaks.
Dengan sifat hoaks yang cenderung mendistraksi dan – pada titik tertentu – menyesatkan dan meresahkan, pada akhirnya demokrasi dengan Pilpres 2019 sebagai sarananya, justru menampilkan sebuah paradoks. Ia menjamin kebebasan berpendapat yang bertujuan pada kualitas pemerintahan yang lebih baik, namun pada saat yang sama melahirkan keresahan lewat disinformasi dan hoaks sebagai sisi gelapnya.
Pertanyaannya adalah seberapa besar dampak isu hoaks ini terhadap hasil akhir Pilpres nanti?
Fantasinya kurang liar. Sekalian aja disebarkan 7 kontainer dari China dengan kertas suara yg berlogo palu arit dan ada tulisan: Wahai Komunis se-dunia, bersatulah!”
Kalau ngehoaks jangan tanggung ? https://t.co/uSO1KNhXkH
— Burhan Muhtadi (IG: Burhanuddin Muhtadi) (@BurhanMuhtadi) January 3, 2019
Hoaks dalam 7 Kontainer, Delegitimasi Pemilu
Kisah tentang hoaks atau kabar bohong memang selalu menjadi bagian yang mewarnai perjalanan peradaban manusia. Pertanyaan mengapa hoaks selalu muncul di setiap zamannya, mungkin akan membawa perdebatan pada fakta bahwa manusia menyukai cerita atau story – entah itu true story atau yang sekedar karangan.
Banyak pendapat yang menyebutkan bahwa alasan manusia menyukai cerita adalah karena dianggap sebagai cerminan terhadap persepsi akan dunia. Sementara, secara ilmiah, cerita disukai karena adanya reaksi neurologis antara kisah-kisah itu dengan otak manusia. Alasan terakhir merupakan hasil penelitian beberapa tahun lalu.
Hal itulah yang membuat hoaks sebagai “cerita” – entah yang sekadar bertujuan untuk membuat sensasi seperti yang terjadi dalam kasus Diari Hitler pada tahun 1983, hingga yang menjadi propaganda untuk mendiskreditkan lawan politik dan memenangkan kekuasaan seperti yang telah dilakukan oleh Gaius Julius Caesar terhadap Markus Antonius di era Romawi – mendapatkan tempatnya dalam catatan sejarah, disukai dan diterima oleh masyarakat.
Bahkan, kisah Caesar dan Markus Antonius misalnya, merupakan perwujudan nyata dampak hoaks terhadap kekuasaan – hal yang tentu saja relevan untuk diperbincangkan jelang kontestasi politik Indonesia di tahun ini.
Pada titik tersebut, perdebatan tentang hoaks 7 kontainer surat suara mendapatkan tempatnya dalam persaingan perebutan kekuasaan dalam tajuk Pilpres 2019. Sebenarnya, sadar atau tidak, isu 7 kontainer surat suara ini memiliki dampak yang besar, terutama karena polarisasi yang terjadi di masyarakat dan sasarannya yang mendelegitimasi Pemilu.
Dengan hanya ada dua pasang kandidat yang bertarung – Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno – ketika suatu isu menyerang salah satu kubu, maka kubu lain secara tidak langsung akan dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap isu tersebut. Hal ini tentu berbahaya sebab sering kali yang sesungguhnya terjadi tidaklah selalu demikian dan serangan-serangan politik yang ada justru datang dari pihak-pihak lain yang ingin mengacaukan kontestasi politik yang sehat.
Hoaks 7 kontainer berisi surat suara yang tercoblos untuk pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin ini pun menjadi salah satu bagian dari serangan tersebut. Ketika isu ini dikonfirmasi sebagai hoaks, maka dengan sendirinya kubu Prabowo-Sandi dianggap sebagai pihak yang menkonstruksi isu tersebut dan sangat mungkin mendapatkan persepsi negatif dari publik. Apalagi, isu ini menjadi ramai setelah dicuitkan oleh Andi Arief yang merupakan bagian dari tim pemenangan Prabowo-Sandi.
Padahal, belum tentu hoaks tersebut dikonstruksi oleh dua kubu kandidat yang bertarung dalam Pilpres. Hal ini bisa dilihat pada Pilpres Amerika Serikat (AS) 2016, di mana tidak sedikit isu saling serang, vandalisme alat peraga kampanye, hingga hoaks justru dilakukan oleh mereka-mereka yang tidak memilih salah satu dari dua pasangan yang bertarung.
Selain itu, kasus 7 kontainer surat suara ini juga bertujuan untuk mendelegitimasi Pemilu karena berhubungan dengan penyelenggara Pemilu – dalam hal ini KPU. Christopher Buskirk dalam tulisannya di The New York Times menyebutkan bahwa delegitimasi Pemilu adalah hal yang berbahaya untuk sebuah negara.
Ia menyinggung kasus dugaan keterlibatan Rusia dalam Pilpres AS 2016 yang kemudian menjadi dasar Partai Demokrat berusaha mendelegitimasi pemerintahan Donald Trump. Kesan yang timbul adalah bahwa hasil Pilpres tersebut tidak sah karena pelanggaran dalam penyelenggaraan Pemilu.
Konteks isu delegitimasi yang demikian memang bisa dilihat dalam hoaks 7 kontainer surat suara tersebut, di mana KPU sebagai penyelenggara Pemilu adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap keberadaan surat suara. Wacana delegitimasi Pemilu ini akan berbahaya karena bisa berdampak pada penolakan terhadap hasil pemungutan suara pada April mendatang.
Paradoks Demokrasi
Kasus 7 kontainer surat suara ini juga menggambarkan paradoks dalam demokrasi. Di satu sisi, demokrasi menjamin kebebasan bagi setiap individu untuk berekspresi dan mengungkapkan pilihan politiknya dengan berbagai saluran yang ada dengan tujuan agar pemerintahan yang tercipta bisa mewakili kepentingan banyak orang. Demokrasi juga memberikan jaminan bahwa proses politik bertujuan untuk membawa kebaikan yang terus meningkat.
Namun, ruang-ruang kebebasan yang dijamin itu pada akhirnya memberikan peluang pada lahirnya hoaks, penggunaan segala cara untuk menang, dan lain sebagainya, yang tentu saja paradoksal dengan tujuan peningkatan kebaikan bagi masyarakat.
Padahal dia tahu kalo KPU belum cetak Surat suara !? , apa motifnya ? Salah satu nya adalah agitasi ?
— Bravo Sierra (@forbenedicto) January 3, 2019
Hal ini salah satunya ditulis oleh Chris Herrera dari Montclair State University. Ia menyebutkan bahwa demokrasi bukan saja menimbulkan banyak masalah, tetapi menjadi masalah itu sendiri.
Demokrasi misalnya mendorong meritokrasi dan kesempatan yang sama bagi semua orang untuk menjadi pemimpin tanpa memandang latar belakangnya, namun juga pada saat yang sama membangkitkan arus politik mayoritas yang justru tidak menjamin “kesempatan yang sama” tersebut kepada kelompok-kelompok minoritas.
Dalam hoaks 7 kontainer surat suara itu, konteks paradoks itu tampak dalam hal kebebasan tersebut. Demokrasi menjamin kebebasan, namun melahirkan ruang-ruang yang justru memberikan kesempatan pada hal-hal yang bertentangan dengan tujuan terciptanya kebaikan bagi masyarakat banyak.
Pada akhirnya, besar harapan kandidat-kandidat yang bertarung tidak lagi menggunakan isu-isu yang mengancam legitimasi Pilpres sebagai alat memenangkan pertarungan politik. Sebab, kualitas Pilpres di tahun ini akan tergambar dari wacana yang dibangun, dan jika isinya hanya penuh hoaks, kebencian serta keributan, maka kita memang bernegara dalam sebuah paradoks. (S13)