Permasalahan Papua bukanlah semata-mata konflik antara TNI dengan kelompok separatis, tapi juga hubungan diplomasi Indonesia di kawasan Pasifik.
PinterPolitik.com
“Kebutuhan terbesar sistem internasional kontemporer adalah konsep ketertiban yang disepakati bersama.” ~ Henry A. Kissinger
Berita duka kembali datang dari Papua. Dua anggota TNI kembali gugur setelah dihadang oleh Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKB). Peristiwa ini terjadi pada Minggu (19/8) lalu, saat tengah melakukan aksi sosial dalam rangka merayakan Hari Kemerdekaan di Desa Tingginambut, Puncak Jaya, Papua.
Gugurnya Letda Inf. Amran Blegur dan Pratu Fredi, menambah panjang daftar nama anggota TNI yang kehilangan nyawa saat bertugas di pulau yang masuk ke Indonesia pada tahun 1956 itu. Sejauh ini, Kapolri maupun Panglima Kodam XVIII Cendrawasih masih mengusut dan mengejar para pelaku yang kerap bersembunyi di hutan.
Insiden baku tembak yang terjadi di Papua, memang bukan berita baru bagi masyarakat. Ada begitu banyak persoalan dan kepentingan yang berkelindan di wilayah tersebut. Salah satu yang kerap menjadi perdebatan adalah persoalan pembangunan yang belum merata di wilayah pulau terbesar dan terletak paling timur ini.
Oleh karena itulah, sulit bagi Pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan Papua melalui pendekatan hard power. Apalagi isu kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua kerap mencoreng wajah ibu pertiwi di dunia internasional, ditambah media-media asing yang lebih suka mengekspos kekerasan yang dilakukan TNI dibanding penyerangan yang dilakukan gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) maupun KKB.
Walau demikian, beberapa tahun belakangan ini, pergerakan dan aktivitas OPM serta KKB semakin menurun seiring masuknya pembangunan infrastruktur di sejumlah wilayah Papua – baik di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) maupun Jokowi. Namun bukan berarti isu Papua Merdeka juga akan lenyap begitu saja.
Dalam tulisan yang termuat dalam situs The Diplomat, berjudul What Drives Indonesia’s Pacific Island Strategy? Grant Wyeth menyatakan kalau perdamaian di Papua sebenarnya tak lepas dari pengaruh himpunan negara-negara yang terletak di Kawasan Melanesia, seperti Fiji, Kep. Solomon, dan Vanuatu.
Sebenarnya apa hubungan Papua dengan negara-negara Pasifik tersebut?
Konflik Papua dan Kompleksitasnya
“Hubungan internasional sedikit lebih mirip dengan sekelompok mafia.” ~ Noam Chomsky
Setelah Timor Timur memerdekakan diri menjadi Timor Leste dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) memutuskan untuk bergabung dengan Indonesia paska Nangroe Aceh Darussalam mendapat status Daerah Otonomi Khusus, OPM menjadi satu-satunya ‘duri dalam daging’ pemerintah yang hingga kini masih belum ditemukan penyelesaiannya.
Di setiap benturan yang terjadi antara TNI dengan OPM maupun KKB, permasalahannya tak sesederhana yang diperkirakan masyarakat selama ini. Ada begitu banyak alasan mengapa OPM dan KKB dapat tetap bertahan dengan persenjataan lengkap, sebab disinyalir ada kepentingan dan campur tangan asing yang bermain di belakangnya.
Tak dipungkiri, banyak pihak yang memang menginginkan “tanah surga” tersebut lepas dari tangan Indonesia. Selain AS dan Australia, menurut Wyeth, negara-negara di Melanesia, yaitu Papua Nugini, Fiji, Kepulauan Solomon, Vanuatu, dan Kaledonia Baru yang tergabung dalam Melanesian Spearhead Group (MSG), diduga juga ikut terlibat.
Dugaan ini juga diperkuat dengan kabar tengah dipertimbangkannya Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat atau United Liberation Movement for West Papua (ULWP) untuk bergabung dalam MSG. Apalagi pelopor MSG adalah Vanuatu, negara yang paling gigih menuding Indonesia sebagai penjajah bangsa Melanesia.
Separatis di dunia maya mulai menebar #Hoax ttg dukungan negara #Melanesia thd #ULMWP #WestPapua. Ini faktanya, seluruh anggota KTT MSG ke-21 mengenakan kalung tanda pengenal yg tidak ada pada foto yg disebarkan akun @FreeWestPapua https://t.co/avHFYZJQyL
— Papua Satu (@papua_satu) February 14, 2018
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki setidaknya lima provinsi yang penduduknya mayoritas beretnis Melanesia. Istilah ini sendiri berasal dari penjelajah Eropa, sebab dalam bahasa Yunani, Melanesia berarti bangsa kulit hitam. Sedang nama Papua yang warganya 90 persen beretnis Melanesia, diberikan oleh para penjajah Portugis.
Adanya kesamaan ras inilah yang membuat Vanuatu begitu ngotot memperjuangkan kemerdekaan Papua. Dalam sejarahnya, negara yang terletak di sebelah timur Australia ini memang memiliki ambisi mewujudkan impian bapak bangsanya, Water Lini, untuk menyatukan bangsa Melanesia dalam konsep negara “Melanesia Socialism”.
Untuk merealisasikan harapannya, Lini menggandeng musisi Papua yang menjadi salah satu tokoh OPM di Vanuatu, Andy Ayemiseba, pada 1983. Sejak itulah, perjuangan Vanuatu untuk ‘membebaskan’ Papua terus berlanjut. Untunglah, Februari lalu, Indonesia mampu mencegah masuknya ULWP menjadi anggota MSG.
Salah satu alasan Indonesia berhasil menang saat bertarung di KTT ke-21 MSG, adalah karena permintaan ULWP tersebut tidak sesuai dengan hukum internasional yang berlaku. Fakta ini diamini pakar hubungan internasional, Hans Kelsen. Menurutnya, dalam suatu negara tidak harus didasarkan pada adanya persamaan ras, rumpun, atau bangsa tertentu.
Diplomasi Geopolitik Belum Usai
“Anda tak bisa bernegosiasi dengan orang yang mengatakan miliknya adalah kepunyaannya, sementara milik Anda dapat dinegosiasikan.” ~ John F. Kennedy
Sebagai negara kepulauan yang besar, Indonesia tak hanya memiliki wilayah, suku, dan jumlah penduduk yang banyak, tapi juga setumpuk permasalahan internal. Akibatnya, pemerintah kerap tidak memberi porsi besar pada kebijakan politik internasional dan lebih menitikberatkan pada hubungan perdagangan dan perekonomian semata.
Sikap yang lebih mementingkan dalam negeri ini, menurut Prof. Ariel Heryanto dari Monash University, membuat Indonesia sulit ditempatkan sebagai negara besar dengan pengaruh kuat secara internasional. Fakta ini juga terlihat dari data baru Lowy Institute, di mana Indonesia tidak memiliki program bantuan resmi di kawasan Pasifik.
Padahal keberadaan bantuan resmi, merupakan penanda utama adanya proyeksi kekuasaan. Terlebih, Indonesia berambisi menjadi pemimpin di kawasan Indo-Pasifik. Selama ini, bantuan yang disediakan pemerintah lebih bersifat ad hoc dan hanya berdasarkan pada perhitungan politik saat itu, bukan struktur kebijakan yang koheren.
Bantuan dana sebagai penanda kekuasaan ini, kerap disebut sebagai Checkbook Diplomacy. Kebijakan diplomasi jenis ini pada dasarnya menggunakan bantuan ekonomi serta investasi yang disertai dengan pemberian pengaruh, terkait pencapaian kepentingan nasional masing-masing negara pemberi bantuan.
— Law&Justice (@lawjusticeco) August 21, 2018
Berdasarkan data Lowy Institute pula, pengaruh Indonesia di kawasan Pasifik menjadi tidak menyolok karena negara-negara di kawasan Pasifik, seperti Melanesia dan Mikronesia sudah lebih dahulu tersentuh dengan program-program bantuan resmi dan permanen, dari negara-negara besar seperti AS, Australia, serta Tiongkok.
Bukan hal mengejutkan melihat Vanuatu begitu berani mengungkapkan dukungannya pada OPM secara terbuka. Sebagai negara tetangga terdekat, hubungan Vanuatu dan Australia dapat dikatakan cukup erat, mengingat posisi Vanuatu sangat penting dan strategis, terutama saat kawasan Pasifik tengah dibayang-bayangi kekuatan Tiongkok.
Meski begitu, diplomasi yang dilakukan cukup intensif oleh Kementerian Luar Negeri di era SBY yang diteruskan di pemerintahan Jokowi ini, terbilang cukup menggembirakan. Dari negara-negara di Pasifik, baik Mikronesia dan Fiji sudah mulai membuka hubungan diplomatik dan mengakui Papua masuk dalam kedaulatan Indonesia.
Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, mungkin itulah yang harus ditekankan dalam berdiplomasi di kawasan Pasifik. Walau hubungan Vanuatu dengan Indonesia sudah mulai terbuka, namun dukungan negara tersebut pada kemerdekaan Papua masih menjadi pekerjaan rumah bagi siapa pun yang akan menjadi pemimpin negeri ini nantinya. Sebab bila tidak, entah berapa banyak lagi nyawa yang harus hilang di tanah Papua. (R24)