Site icon PinterPolitik.com

Papua, Indonesia Darurat Perang Kognitif?

Papua, Indonesia Darurat Perang Kognitif?

Menkominfo Rudiantara dan Menko Polhukam Wiranto. (Foto: Antara/Rosa Panggabean)

Konflik Papua menjadi medan adu narasi antara pemerintah dan kelompok pro-NKRI, dengan kelompok pro-kemerdekaan. Kedua kubu terlihat saling memperebutkan opini serta dukungan masyarakat domestik maupun internasional. Nampaknya kasus ini memperlihatkan adanya dimensi konflik baru yang sebelumnya belum pernah dihadapi oleh pemerintah.


PinterPolitik.com 

Seiring dengan kemajuan teknologi, peperangan yang tadinya hanya terjadi di satu dimensi saja, yaitu di darat, kini perang telah terjadi di 5 dimensi, yaitu darat, laut, udara, luar angkasa dan siber.

Namun, sepertinya dimensi perang tidak berhenti di lima dimensi itu saja, beberapa pihak menilai saat ini muncul dimensi baru alias dimensi keenam, yaitu dimensi kognitif.

Menurut Yuliani Nurani Sujonio, kognitif atau kognisi adalah proses dan kemampuan berpikir seorang individu untuk menghubungkan, menilai dan mempertimbangkan suatu kejadian atau peristiwa.

Menurut Zeng Huafeng dalam artikel yang ditulis oleh Nathan Beauchamp-Mustafaga, kognitif adalah suatu area di mana perasaan, persepsi, pengertian, kepercayaan, nilai-nilai, penalaran, hingga kemampuan untuk mengambil keputusan seorang individu berada.

Kognitif ini, lanjut Huafeng, dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kepemimpinan, moral, kebersamaan, pengalaman, kesadaran situasi, serta opini publik.

Lalu, seperti apa perang di dimensi kognitif ini dilakukan?

Perang Kognitif

Ada yang mengkategorikan perang kognitif sebagai bagian dari perang informasi, ada juga yang tidak. Ada juga yang melihat perang kognitif hanya sebagai sebutan lain bagi perang psikologis.

Terlepas dari permasalahan pemilihan diksi, ketiganya memiliki ciri yang sama, yaitu bagaimana suatu pihak menggunakan informasi untuk mempengaruhi pihak lain.

Kembali ke definisi yang diberikan Sujonio dan Huafeng, perang kognitif memliki perbedaan dengan perang pada umumnya.

Perang kognitif tidak berusaha menyerang atau melemahkan musuh dengan cara menghancurkan infrastruktur ataupun membunuh tentara musuh.

Dimensi perang ini justru menyerang dengan cara membentuk cara berpikir (kognitif) yang menguntungkan bagi satu pihak dan merugikan bagi pihak yang lain.

Mirip seperti tindakan propaganda pada umumnya, dalam perang kognitif seseorang atau suatu kelompok dipengaruhi kognitifnya menggunakan arus informasi dan disinformasi (hoaks) yang disebar melalui media konvensional seperti televisi, radio, dan koran, serta media digital seperti situs daring dan media sosial.

Perbedaan terbesar perang kognitif dengan perang informasi ataupun propaganda adalah perang kognitif lebih bersifat menyeluruh.

Tidak hanya bertujuan untuk mempengaruhi opini seseorang ketika suatu peristiwa itu terjadi, perang kognitif mempengaruhi secara langsung cara berpikir orang tersebut.

Dampaknya adalah di masa depan, mungkin individu atau kelompok tersebut tidak perlu dijadikan target propaganda lagi karena cara pikirnya sudah dipengaruhi sedemikan rupa.

Perang kognitif yang terkait dengan hoaks memiliki dampak yang besar.

Di India misalnya, pada tahun 2013 terjadi bentrokan berdarah antara kelompok Hindu dengan Muslim yang menewaskan 50 orang di Kota Muzaffarnagar.

Setelah diselidiki, ternyata bentrokan terjadi salah satunya karena beredarnya video palsu yang memperlihatkan dua orang pria tewas setelah dikeroyok massa. 

Masih di tahun yang sama, diretasnya Twitter media internasional Associated Press (AP) pada tahun 2013 juga menunjukkan besarnya dampak hoaks terhadap perekonomian.

Ketika itu hacker yang meretas akun Twitter AP juga mengirimkan hoaks bahwa terjadi ledakan bom di Gedung Putih yang melukai Presiden Barack Obama. Hanya dalam waktu 3 menit, hoaks ini menyebabkan nilai pasar saham Amerika Serikat (AS) sempat turun hampir Rp 2 triliun.

Potensi bahaya dan pentingnya perang kognitif ini sudah diakui oleh beberapa negara asing, misalnya AS dan Tiongkok.

Di kedua negara superpower tersebut, perang kognitif sudah menjadi salah satu fokus kebijakan dan masuk ke dalam strategi pertahanan. 

Militer AS sudah memasukkan dimensi dan perang kognitif kedalam doktrin ataupun strategi peperangannya untuk tahun 2025-2040.

Untuk Tiongkok, militernya – People’s Liberation Army (PLA) – telah mengembangkan konsep bernama cognitive domain operations untuk mempelajari lebih lanjut dimensi dan operasi-operasi dalam perang kognitif.

Ketidaksiapan Indonesia

Sejauh ini perang kognitif yang terbesar yang nampaknya dihadapi oleh pemerintah adalah konflik Papua.

Pada tahun 2017, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengatakan akan melakukan perang opini terhadap pemberitaan negatif dari dalam maupun luar negeri.

Pernyataan ini dikeluarkan terkait adanya peristiwa penyanderaan 1.300 warga di Desa Banti dan Kimbely, Timika, Papua, yang menurut pemerintah dilakukan oleh OPM.

Namun, peristiwa penyanderaan ini dibantah oleh OPM yang mengatakan bahwa justru warga ketakutan dengan adanya kehadiran TNI-Polri.

Skenario yang sama terjadi lagi pada beberapa minggu ke belakang, di mana Papua kembali bergejolak sejak adanya kasus rasisme terhadap mahasiswa asal Papua di Surabaya.

Dalam perang kognitif  ini, pemerintah beradu narasi dengan kelompok pro-kemerdekaan Papua yang utamanya diwakili oleh OPM dan aktivis-aktivis pro-kemerdekaan.

Kelompok pro-kemerdekaan mengklaim bahwa sebagian besar masyarakat Papua ingin memisahkan diri dari Papua serta menuduh pemerintah pusat melakukan berbagai diskriminasi, pelanggaran HAM, bahkan genosida terhadap orang asli Papua.

Kelompok ini juga menuduh bahwa pembatasan internet dan pengiriman pasukan TNI-Polri ke Papua adalah bentuk intimidasi terhadap suara masyarakat Papua.

Klaim-klaim ini tentunya dibantah oleh pemerintah.

Pemerintah mengklaim bahwa mereka sudah serius dalam membangun Papua dan terus mengusut dugaan kasus pelanggaran HAM yang melibatkan aparat keamanan.

Pemerintah juga mengatakan bahwa pembatasan internet dan pengerahan pasukan tambahan ke Papua justru untuk menjaga kondusivitas keamanan di Papua.

Menurut Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO), untuk menghadapi hoaks diperlukan adanya kontra narasi dan narasi alternatif. 

Kedua bentuk narasi ini diperlukan untuk melawan, mendiskreditkan, serta merebut ruang publik dari narasi-narasi negatif.

Jika berkaca pada cara menangani konflik Papua, pemerintah Indonesia nampaknya belum siap dalam menghadapi perang kognitif melalui hoaks.

Pemerintah terlihat masih memiliki kelemahan dalam memberikan kontra narasi untuk melawan narasi kelompok pro-kemerdekaan.

Seharusnya pemerintah menciptakan dan menyebarkan kontra narasi yang membuat masyarakat Papua ingin tetap mempertahankan wilayahnya sebagai bagian dari NKRI. Atau setidaknya, ada narasi untuk meredam gelombang demonstrasi dan kerusuhan yang terjadi di Papua.

Namun, beberapa narasi yang dikeluarkan pejabat-pejabat negara justru dinilai beberapa pihak malah memperkeruh suasana.

Kepala Staf Presiden Moeldoko misalnya, merespons protes pembatasan internet dengan pernyataan bahwa dahulu masyarakat “juga bisa hidup” walau tidak ada internet.

Kemudian ada Menko Polhukam Wiranto yang mengeluarkan pernyataan bahwa diumumkan atau tidaknya jumlah korban di Papua “terserah” pemerintah.

Kemudian ada juga pernyataan Kabid Humas Polda Jatim yang meminta agar pelemparan karung berisi ular ke asrama mahasiswa tidak diberitakan oleh wartawan.

Tidak berhenti di situ, pemerintah malah terindikasi dan dituduh menjadi pihak yang menyebarkan hoaks seputar konflik Papua.

Jika kondisi ini dibiarkan, bisa jadi jika di masa depan Papua akan kembali bergejolak. Masyarakat akan lebih mudah percaya kepada hoaks karena kognisinya yang sudah terbiasa.

Perang kognitif dalam hal hoaks memang selalu menjadi masalah. Hal ini tidak lepas dari kondisi masyarakat Indonesia itu sendiri yang masih mudah percaya terhadap hoaks akibat literasi digitial yang rendah.

Dengan potensi kerusakan yang begitu besar serta kondisi pemerintah dan masyarakatnya yang sama-sama belum siap menghadapi perang kognitif, nampaknya tidak berlebihan kalau Indonesia saat ini disebut berada dalam kondisi “darurat perang kognitif”. (F51)

Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version