Kondisi Papua tengah memanas usai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua menembak 8 pekerja PT Palapa Ring Timur Telematika (PPT) di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Papua. Apakah situasi ini menjadi backlash bagi Panglima TNI Andika Perkasa yang disebut dapat membawa perubahan di Papua? Apakah ini menjadi batu ganjalan Andika untuk mendapat tiket di Pilpres 2024?
Ketika melakukan fit and proper test calon Panglima TNI pada 6 November 2021 di Komisi I DPR RI, Jenderal Andika Perkasa menyebut akan mengubah pendekatan ketika ditanya soal isu Papua. Ungkapnya, aparat TNI akan menggunakan pendekatan humanis, pendekatan lunak, dan tidak lagi menggunakan pendekatan perang.
Tampaknya mengutip Sun Tzu dalam The Art of War, Andika menyebut, pada prinsipnya, bagaimana memenangkan pertempuran tanpa peperangan. TNI akan lebih mengedepankan komunikasi, merebut hati masyarakat, serta menyelesaikan konflik dengan memanfaatkan operasi pembinaan teritorial.
Atas jawaban-jawaban yang disampaikan, berbagai pihak menaruh harapan ke pundak Andika. Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin, misalnya, menyebut pandangan Andika sesuai dan akan berdampak positif pada menyelesaikan konflik di Papua.
“Ini sebuah sinar, menurut hemat saya, yang mulai terang. Kita dorong saja bersama-sama, dari publik, dari masyarakat untuk terus membangun kepercayaan seperti ini untuk menciptakan Papua yang damai bermartabat dan sejahtera,” ungkapnya pada 2 Desember 2021.
Berdasarkan informasi yang penulis himpun, harapan besar pada penanganan konflik di Papua merupakan salah satu alasan utama didorong dan terpilihnya Andika menjadi Panglima TNI.
Lantas, jika benar demikian, dengan konflik di Papua yang saat ini memanas, apakah harapan itu terlalu besar untuk Andika?
Kemudian, dengan beredarnya isu Andika akan maju di Pilpres 2024, apakah isu Papua yang tidak terselesaikan menjadi ganjalan Andika untuk mendapatkan tiket?
Pundak Andika Terlalu Berat
Terkait konflik Papua, pengamat pertahanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, memiliki pandangan penting yang harus menjadi catatan. Menurutnya, dengan masa bakti sekitar satu tahun sebagai Panglima TNI, tidak mungkin Andika dapat menyelesaikan konflik Papua.
Menurut Fahmi, Papua adalah konflik panjang multi-aspek. Ini bukan masalah sederhana seperti mengubah pendekatan dari keras ke lunak, melainkan menyelesaikan masalah ketidakpercayaan masyarakat Papua yang telah mengakar kuat kepada pemerintah dan aparat bersenjata.
Lanjutnya, terdapat ketidakpercayaan antara kedua belah pihak, baik masyarakat Papua, khususnya yang ingin merdeka, maupun pemerintah. Ini kemudian membuat kedua pihak sulit melakukan dialog, menemukan titik temu, hingga mencapai kata damai.
Nah, apa yang dijelaskan Fahmi adalah apa yang disebut dengan social trap atau jebakan sosial. Social trap adalah situasi sulitnya terjadi kerja sama karena pihak-pihak yang berkonflik merasa pihak lain pasti akan mengkhianati perjanjian. Istilah ini sendiri banyak dirujuk pada John Platt dalam tulisannya Social Traps pada tahun 1973.
Menurut dosen filsafat politik Universitas Indonesia (UI) Donny Gahral Adian dalam disertasinya Rasionalitas Kerjasama: Kajian Filsafat terhadap Dilema Narapidana dalam Teori Permainan, jebakan sosial adalah akar mengapa konflik masyarakat menjadi sangat sulit diselesaikan.
Dengan demikian, seperti pernyataan Fahmi, untuk menyelesaikan masalah Papua, social trap yang telah terjadi selama bertahun-tahun harus diselesaikan terlebih dahulu. Tentunya, sebelum membangun kepercayaan di masyarakat Papua, pemerintah terlebih dahulu harus membangun kepercayaan dalam dirinya. Tidak boleh ada prasangka bahwa masalah Papua harus diselesaikan dengan pendekatan keras.
Terkait pendekatan lunak yang perlu dilakukan, Johny Blades dalam tulisannya West Papua: The Issue That Won’t Go Away for Melanesia memberikan saran menarik. Menurutnya, konflik di Papua muncul dari adanya alienasi penduduk asli dari lingkungan dan sumber daya mereka sendiri. Oleh karenanya, pendekatan politis non-kekerasan akan lebih efektif untuk menyelesaikan perseteruan.
Pertama, karena masyarakat Papua secara etnis adalah kerabat warga negara-negara Melanesia, Indonesia bisa melakukan pendekatan ke negara-negara, seperti Fiji, Vanuatu, dan Kepulauan Solomon. Menurut Blades, jika berhasil dibujuk, negara-negara tersebut dapat menjadi mediator netral dalam proses dialog.
Kedua, Indonesia dapat melakukan pendekatan komersial dengan wilayah Melanesia. Contohnya, karena negara-negara Melanesia adalah pecinta sepak bola, Indonesia bisa menjadikan tim Persipura Jayapura sebagai pembuka gerbang komersil, di mana tim sepak bola itu bisa bermain di acara olahraga negara-negara Melanesia.
Masyarakat Papua juga dikenal sangat menyukai sepak bola. Oleh karenanya, pemerintah dapat memanfaatkan itu dengan melakukan diplomasi sepak bola. Pamela Del Mundo dalam tulisannya Soccer as a Conflict Resolution Tool, menyebut sepak bola adalah alat yang dapat digunakan untuk menyatukan kelompok dan individu yang beragam. Sepak bola dapat berfungsi sebagai sarana terapi trauma akibat kekerasan.
Fokus pada Isu Populis?
Kembali pada poin Khairul Fahmi, sekalipun saran-saran Johny Blades dilakukan, dengan masa bakti sebagai Panglima TNI sekitar 10 bulan lagi, social trap yang sudah mengakar sekiranya belum dapat diangkat.
Butuh pendekatan lunak selama bertahun-tahun untuk memupuk kembali ketidakpercayaan yang telah meluas. Seperti pernyataan ilmuwan politik Bo Rothstein, kepercayaan adalah barang mewah yang sulit untuk didapatkan.
Oleh karenanya, menurut Fahmi, Jenderal Andika Perkasa sebaiknya fokus pada kebijakan-kebijakan populis, alih-alih berjanji menyelesaikan masalah Papua yang tidak mungkin selesai dalam waktu satu tahun. Masalahnya, jika benar-benar berkeinginan maju di Pilpres 2024, isu Papua dapat menjadi ganjalan bagi Andika. Misalnya akan terdengar kritik, “Papua saja tidak bisa diurus, bagaimana dengan Indonesia?”
Merujuk pada gestur-gestur yang ada, Fahmi melihat berbagai kebijakan Andika sudah tepat. Yang terbaru, Andika mengubah ketentuan penahanan prajurit pelanggar hukum disiplin militer, dari penahanan di satuan menjadi di penjara militer.
Fahmi menyambut positif kebijakan tersebut. Menurutnya, itu adalah upaya dalam meningkatkan kepatuhan hukum dan kedisiplinan prajurit, yang memang menjadi salah satu agenda prioritas Andika. Kendati demikian, Fahmi tetap memberi catatan kritis agar terobosan ini diikuti oleh dukungan anggaran, sumber daya manusia, serta sarana dan prasarana yang memadai bagi Puspom TNI di setiap matra.
”Penting untuk diantisipasi agar jangan sampai perubahan itu hanya akan memindah praktik buruk yang kerap terjadi sebelumnya di lingkungan satuan ke lingkungan POM TNI,” ungkap Fahmi.
Selain terobosan ini, Andika juga terlihat memberi perhatian pada berbagai kasus korupsi. Beberapa waktu yang lalu misalnya, Andika memberikan dukungan terhadap pemidanaan korupsi satelit Kementerian Pertahanan yang disebut mencapai Rp 800 miliar.
Ada pula dukungan penuh kepada Kejaksaan Agung dalam mengusut berbagai kasus dugaan korupsi di tubuh TNI, seperti Dana Tabungan Wajib Perumahan Angkatan Darat (TWP AD) tahun 2013 sampai dengan tahun 2020.
“Kami akan all out mendukung, termasuk proses hukum koneksitas yang sedang berlangsung. Kita akan all out, jadi Bapak Jaksa Agung yakin bahwa kita mendukung apapun yang beliau minta, kita siap mendukung apapun yang diperlukan mulai dari menghadirkan saksi, barang bukti, dan lain sebagainya,” ungkap Andika pada 14 Januari.
Sekalipun tidak diniatkan untuk mendulang simpati publik, gestur-gestur tersebut dengan sendirinya akan disambut positif oleh masyarakat. Ini dapat dikatakan sebagai kebijakan-kebijakan cetar yang akan memberi citra baik bagi Andika.
Dengan fokus pada kebijakan-kebijakan populis seperti itu, masa bakti hanya satu tahun tampaknya bukan ganjalan bagi Andika untuk meletakkan legacy politiknya sebagai Panglima TNI. Jika nantinya benar-benar maju di Pilpres 2024, ini jelas dapat menjadi modal yang berharga.
Well, kita lihat saja bagaimana kelanjutan karier Andika. (R53)