Papa the Series, Episode #1: “Sepucuk surat untuk anakku, dari papa yang lagi sakit…”
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]N[/dropcap]ak, tidak bosan kah kau dan teman-temanmu berdemonstrasi di jalan-jalan menuntut papa-mu ini ditahan KPK? Panas loh kalau siang-siang bolong turun ke jalan. Jakarta ini sudah macet dan belepotan. Kasihan itu pak polisi harus jagain aksi kalian, panas-panasan kan mereka. Belum lagi pengguna jalan yang terganggu aktivitasnya.
Nanti kalau kalian berdemo, Jakarta jadi tambah macet. Demo lagi, tambah macet lagi. Lama-lama ibukota beneran jadi dipindahkan, ke Cikarang – eh maksud papa ke Palangkaraya. Kan repot ngurusnya.
Saking panasnya Jakarta, papa aja yang tiap hari ada di ruangan ber-AC bisa sakit juga loh. Kata dokter, papa kena vertigo, semacam sakit kepala yang bisa bikin dunia serasa berputar-putar. Memang belakangan papa merasakan dunia berputar-putar terus, putarannya itu kayak ngikutin rapat Hak Angket KPK – muter-muter di situ aja. Ups, nggak boleh ngomongin rahasia perusahan.
Itulah nak, bilang pada teman-temanmu, nggak usah demo lagi. Kasihan kan papa jadi makin sakit. Padahal tugas papa kan harus jadi pemimpin perwakilan kalian-kalian juga.
Kalau kalian nggak demo, nama papa kan jadi ga masuk-masuk ke pengadilan. Kalian sih demo-demo terus, jadinya kan papa terbebani pikirannya. Sebenernya sih nggak apa-apa kalau kalian tetap demo, soalnya kalaupun nama papa masuk pengadilan, paling nanti papa kirimin type-x atau apalah namanya itu, tip eks – bukan tip ekstra loh – buat hapus nama papa dari lembaran putusan pengadilan yang dibacakan hakim-hakim.
Nak, papa belakangan ini memang semakin sering sakit kepala, vertigo rasanya semakin menjadi-jadi. Habisnya ini sudah mau masuk 2018, masuk tahun politik. Papa kan jadi tambah sibuk. Apalagi dapil-nya papa di timur sana itu terpencil dan terpinggirkan. Papa kan susah mau safari kalau daerahnya terpencil.
Padahal papa sudah jadi pemimpin dari 1999, tetapi kenapa daerah papa nggak maju-maju juga. Apalagi sekarang papa pimpinan lembaga negara, kan malu kalau disinggung sama kolega: ‘Bos, kok dapil kau nggak maju-maju. Macam mana itu?’ Malu lah pokoknya.
Jadi pejabat itu susah loh, jangan dipikir gampang. Mulai dari bawah perlahan-lahan. Tapi, kalau sudah duduk di posisi yang nyaman – kayak papa sekarang ini – semuanya jadi lebih mudah. Kalau tidak mau diperiksa KPK, tinggal minta teman-teman ngirim surat keberatan aja kan. Beres. Habisnya papa bingung, nama dalam daftar kasus itu segudang banyaknya, tapi kenapa cuma papa aja yang ngotot mau diperiksa. Heran deh papa.
Nak, tidak usah lagi demo-demo. Kasihan nanti kalian sakit kalau kena panas. Biar sakitnya disimpan dalam hati saja, seperti rasa sakit setelah ngelihat APBN kita yang lebih banyak buat bayar utang. Papa sebagai pemimpin kan malu kalau ditanya-tanya mengapa sebagai wakil rakyat tidak mengkritik aksi bayar-bayar bunga utang yang bikin defisit. Habisnya mau gimana, vertigo papa nih bikin susah mendengarkan suara-suara dari bawah.
Itu saja permintaan papa, nak. Jangan demo-demo lagi. Biar kasusnya lama-lama hilang, kayak korupsi yang sudah-sudah. Kalau papamu ini aman, kamu juga aman kan nak.
Sudah dulu ya, papa mau balik ke rumah dinas. Jauh soalnya, kemarin minta apartemen di kompleks kantor nggak dikasih-kasih. Didemo lagi. Jadinya ya terpaksa bolak-balik. Doakan papamu biar cepat sembuh ya, biar bisa kembali memimpin kalian.
Baik-baik selalu ya, ingat jaga kesehatanmu. Jangan ikut-ikut demo lagi, nanti kamu sakit.
Salam sayang,
Papa
(S13)