Benarkah Presiden Joko Widodo belum memiliki legitimasi moral sepenuhnya untuk berbicara menolak hukuman mati?
PinterPolitik.com
“May the death penalty, an unworthy punishment still used in some countries, be abolished throughout the world”
-Paus Yohanes Paulus II-
Unjuk prestasi di depan publik seolah menjadi agenda akhir tahun yang penting bagi pemerintah, kali ini dilakukan di sektor diplomasi. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyatakan sebanyak 205 orang WNI di luar negeri diselamatkan dari hukuman mati dalam tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Walaupun tak dipaparkan secara detil oleh Retno, publik dapat membaca bahwa kasus-kasus yang dimaksud adalah terkait Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau buruh migran yang bertempat di Arab Saudi, yang banyak terlibat kasus pembunuhan terhadap majikannya. Motif yang selalu berulang, adalah karena kondisi stres dan depresi TKI akibat perlakuan kasar majikannya, berujung rasa dendam dan ingin membunuh dalam diri mereka.
Terakhir, sehari yang lalu (20/12), Jokowi sendiri sampai meminta bantuan langsung kepada Raja Salman, untuk menyelamatkan TKI yang divonis mati.
TKI Divonis Hukuman Mati, Jokowi Minta Bantuan Raja Salman https://t.co/XGVRO9RBJf
— CNN Indonesia (@CNNIndonesia) December 19, 2017
Dibalik itu semua, sesungguhnya kasus WNI yang terjebak kepemilikan narkoba pun juga banyak. Jumlahnya tak kalah dari vonis mati akibat pembunuhan. Data dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) pada tahun 2015 menyebutkan bahwaterdapat setidaknya 131 WNI yang divonis mati di luar negeri akibat perkara ini. Diduga semakin banyak pula setiap tahunnya.
Dari jumlah WNI sebanyak itu, diduga kuat tidak ada satupun yang mampu diselamatkan oleh pemerintah Indonesia. Padahal, banyak kasus di mana WNI ini juga adalah TKI (biasanya di Malaysia) yang berpendidikan rendah dan ditipu untuk dititipkan barang atau tas dengan iming-iming tertentu. Tanpa mereka sadari, titipan tas itu ternyata berisi narkoba, dan mereka akhirnya ditahan oleh otoritas anti-narkoba di sana.
Jika demikian, lalu mengapa pemerintah tidak bisa menyelamatkan mereka? Apakah nyawa TKI yang dikadali untuk membawa narkoba ‘kurang berharga’ dibandingkan nyawa TKI di Arab Saudi? Bukankah mereka sama-sama terjebak oleh keadaan yang merugikan?
Menghukum Mati di Dalam Negeri
Hukuman mati memiliki defense narrative yang cukup sulit (bila tidak bisa dibilang sangat sulit) di dalam diplomasi dunia modern ini. Sebabnya, sudah terlalu banyak negara yang menghilangkan secara penuh aturan tentang hukuman mati ini. Tercatat, sudah 140 negara di dunia tidak pernah menghukum mati seseorang dalam sepuluh sampai lima belas tahun terakhir karena tak adanya eksekusi mati yang diamanatkan hukum. Sebaliknya, Indonesia menjadi minoritas terkait aturan ini bersama 54 negara lainnya, yang cukup kerap dikecam akibat sikap kekeuh Jokowi akan hukuman mati.
Semangat untuk menghargai nyawa sebagai hak paling mendasar yang melekat pada manusia menjadi landasan penolakan terhadap hukuman mati. Argumen selanjutnya adalah bahwa tak pernah ada bukti hukuman mati bersifat punitif dan cukup untuk mencegah kriminalitas yang sama untuk terjadi di kemudian hari.
Di Indonesia, hukuman mati pun tidak berdampak pada kriminalitas yang ditautkan. Pada zaman Presiden SBY, hukuman mati banyak dilakukan dalam kasus terorisme. Tetapi, nyatanya angka terorisme tidak berkurang akibat eksekusi mati para pemimpinnya. Terorisme justru berkurang akibat adanya program rehabilitasi (deradikalisasi) yang masif.
Berkaca dari situ, seharusnya Jokowi dapat menerapkannya untuk kasus narkoba. Bukannya menggalakkan program rehabilitasi bagi pengguna, Jokowi malah melaksanakan eksekusi mati kepada total 18 orang, tak peduli pimpinan kartel atau kurir yang dijebak. Semua dieksekusi oleh Jokowi selama berhubungan dengan peredaran narkoba. Sementara itu, puluhan lainnya ditolak permohonan grasinya dan masih meringkuk menunggu waktu dieksekusi.
Padahal, logika pasar terus berjalan. Selama pasarnya tidak diatur dan dikondisikan untuk bebas dari narkoba, produsen narkoba tidak akan pernah berhenti berdatangan. Mati satu tumbuh seribu. Dieksekusi satu bos, bos kedua siap ambil alih bisnis. Hal itulah yang tercermin dengan meningkatnya jumlah pengguna narkoba, mencapai 1,5 juta orang pada 2017.
Jokowi memiliki legitimasi politik yang besar untuk menjalankan hukuman mati bagi pengedar narkoba. Setidaknya 86 persen masyarakat setuju untuk menghukum mati pengedar narkoba. Alasannya antara lain agar ada efek jera bagi pengedar lain, maupun karena arahan Al-Quran dan Hadits.
Sayangnya, legitimasi dan keyakinan masyarakat itu tak terbukti. Belum lagi, LSM seperti Amnesty International dan KontraS sepakat, bahwa banyak cacat hukum dalam pemidanaan mati seseorang. Kasus yang menimpa Humprey Ejike Jefferson, WNA Nigeria terdakwa narkoba, yang telah dieksekusi mati namun ditemukan maladministrasi adalah salah satu contohnya.
‘Tekanan’ dalam kepala Jokowi menjadikannya tergesa-gesa untuk menjalankan hukuman mati. Dampaknya, Indonesia tersandra dengan idealismenya sendiri di dunia internasional.
Mengapa Bisa Menyelamatkan di Luar Negeri?
Menurut Kepala Komisioner Komnas HAM Hafid Abbas, pada 2015, ketegasan Indonesia melakukan eksekusi mati di tengah kecaman dunia internasional dapat berdampak buruk bagi Indonesia sendiri. Menurutnya, diplomasi penyelamatan WNI tervonis mati dapat terhambat. Indonesia bisa memiliki daya tawar yang lemah untuk meminta pengampunan hukuman mati ke negara lain.
Dalam sejumlah kasus di Arab Saudi yang terkait dengan pembunuhan oleh TKI, Indonesia terbukti mampu melindungi mereka agar tak dieksekusi mati. Tapi, tak hanya terkait pembunuhan, sekitar 20 persen TKI di Arab Saudi yang bermasalah hukum sesungguhnya berkaitan dengan narkoba. Untuk kasus narkoba ini, jelas Indonesia tidak dapat meminta grasi oleh karena idealisme untuk menghukum pengedar narkoba sekeras-kerasnya.
Begitu juga dengan kasus-kasus TKI di Malaysia. Kita tak banyak mendengar penyelamatan TKI di Malaysia karena memang, mayoritas terpidana mati di sana terkait narkoba. Negara-negara Asia Tenggara memang disebut-sebut memiliki masalah kompleks dalam narkoba. Dan hampir semuanya sepakat untuk melakukan hukuman mati dalam kadar tertentu. Indonesia masuk ke dalam daftar negara-negara tersebut.
Dengan begitu, tekanan dari LSM seperti HRWG atau Imparsial terkait banyaknya WNI di luar negeri yang harus diselamatkan dari kasus narkoba tidak dapat dijawab oleh Jokowi. Sebabnya, Jokowi hanya mengikuti arus pemberantasan narkotika seperti negara-negara Asia umumnya, yakni hanya dengan pemberantasan yang destruktif dan tidak pernah terbukti efektivitasnya.
Tentu saja Jokowi ‘hanya’ mampu menyelamatkan sejumlah 205 orang yang disinyalir TKI pelaku pembunuhan di Arab Saudi, karena dia tidak bisa menyelamatkan WNI terpidana mati narkoba di negara lain. Padahal, sebesar 70 persen WNI terpidana mati adalah terkait narkoba.
Kalau terus begini, Indonesia akan terus berada pada lingkaran hukuman mati yang terbukti kontra-produktif. Terlebih lagi, di dunia internasional, khususnya di negara-negara Barat, sikap keras Indonesia terhadap gembong narkoba tidak disukai oleh mereka. Ada cara-cara yang sudah terbukti lebih efektif diterapkan di Eropa, seperti edukasi dan legalisasi secara parsial – walaupun untuk hal terakhir akan sangat sulit terjadi di Indonesia.
Walaupun demikian, pencapaian Indonesia yang mampu terus menyelamatkan WNI patut diapresiasi. Memang benar menyelamatkan TKI tidak akan menyelesaikan masalah TKI itu sendiri. Ini seolah menjadi respon tanpa membenahi sistem.Sama seperti saat menghadapi narkoba ala Jokowi, Hanya respon-respon saja tanpa membenahi sistem.
Dikritik Sekaligus Dipuji
Publik, mau bagaimanapun, memiliki tingkat persetujuan yang tinggi akan hukuman mati bagi kriminal luar biasa seperti bandar narkoba atau teroris (atau mungkin koruptor). Berdalih dengan persetujuan publik dan (mungkin) menunjukkan citra sebagai negara yang kuat, Jokowi akan terus menegakkan hukuman mati dalam derajat tertentu. Terbukti, KUHP 2018 tetap mencantumkan hukuman mati sekalipun telah dibuat mekanisme-mekanisme kompromi lainnya.
Karenanya, kembali ke awal, pernyataan Menteri Retno harus disikapi secara hati-hati. Ucapannya bisa jadi adalah tabir kepalsuan, tatkala masalah sebenarnya dalam kasus TKI adalah sistemnya yang buruk, yang memungkinkan banyak penipuan dan pembiaran terhadap majikan-majikan yang kejam.
Jangan sampai publik terjebak melihat penyelamatan WNI tervonis mati oleh Jokowi dan melupakan bahwa faktanya masih banyak juga persoalan lain yang belum tersentuh. Hal ini juga kontras dengan sikap di dalam negeri, di mana Jokowi memainkan kartu defensif dengan tanpa ampun melaksanakan hukuman mati bagi pengedar narkoba. Dengan sikapnya, Jokowi menunjukkan dirinya kembali menjadi nasionalis-protektif, yang sekali lagi, tak pernah terbukti efektif dalam kasus narkoba sejak tahun 2004.
Jokowi jauh dari sosok ‘humanis-internasionalis’ yang mungkin saja ingin ia tunjukkan dalam sikap agresif melawan hukuman mati. Jokowi tidak memiliki sikap yang jelas tentang hukuman mati. Mungkin yang dia tahu hanya ‘sing penting yaiku aku nylametake bangsaku saka obatan.’ Tanpa berpikir rasionalisasi kebijakannya sampai tahap praktis. Lupa (atau mungkin tak acuh) dengan manusia-manusia warga negara Indonesia yang juga banyak bingung dan terjebak dalam pusaran narkoba di luar negeri.
Tapi tentu, bagi Anda nasionalis-protektif, capaian Jokowi dari sisi diplomasi ini adalah hal yang positif. Bisa menghukum mati dan mendapat sorotan negatif dunia, tapi malah berhasil menyelamatkan begitu banyak WNI dari hukuman mati. (R17)