Panglima TNI Andika Perkasa mendukung hukuman pidana dalam kasus dugaan korupsi satelit Kementerian Pertahanan (Kemhan). Apakah ini menjadi panggung emas Andika di tengah masa jabatan yang singkat?
“Our great social and political advantage is opportunity.” – George William Curtis, penulis Amerika Serikat
Nama Jenderal TNI Andika Perkasa menjadi salah satu magnet pemberitaan ketika namanya disebut sebagai pengganti Hadi Tjahjanto menjadi Panglima TNI. Saat itu, opini publik terbelah dua antara yang pro dengan yang kontra. Berbagai kritik terlontar, namun yang paling layak untuk diperhitungkan adalah soal masa jabatan.
Pengamat pertahanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, misalnya, menyoroti singkatnya masa bakti Andika yang hanya satu tahun jika ditunjuk sebagai Panglima TNI. Menurutnya, waktu yang singkat tersebut kurang baik untuk organisasi TNI.
Well, terlepas dari pro dan kontra yang ada, saat ini Andika telah menjadi Panglima TNI. Pertanyaan yang menghantui juga tetap sama, apa yang dapat dilakukan Andika dalam waktu satu tahun ini?
Yang lebih menarik lagi adalah, setelah dilantik sebagai Panglima, nama Andika tiba-tiba mencuat sebagai salah satu kandidat di Pilpres 2024. Ia digadang-gadang akan dipasangkan dengan Puan Maharani. Ini telah dibahas rinci dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Andika-Puan, Duet Maut yang Dinanti?. Baru-baru ini, nama Andika juga sempat dimunculkan oleh Partai Golkar sebagai pasangan Airlangga Hartarto. Ya, singkatnya, nama Andika telah menjadi begitu seksi.
Tentu pertanyaannya, jika benar Andika adalah sosok potensial untuk maju di 2024, prestasi apa yang dapat diukirnya sebagai Panglima TNI dengan masa bakti hanya satu tahun? Pertanyaan ini juga menjadi jantung dari artikel PinterPolitik yang berjudul Andika Tidak Harus Jadi Panglima?.
Seolah menjawab, saat ini Andika menampilkan gestur-gestur penting. Salah satu yang paling menarik untuk disorot, mungkin adalah dukungan terhadap kasus dugaan korupsi satelit Kementerian Pertahanan (Kemhan). “Oleh karena itu saya siap mendukung keputusan dari pemerintah untuk melakukan proses hukum ini,” ungkap Andika pada 14 Januari.
Di kesempatan yang berbeda, Menko Polhukam Mahfud MD juga menyebut Menteri Pertahanan (Menhan) dan Panglima TNI mendukung kasus ini untuk dipidanakan. “Menhan Prabowo dan Panglima TNI Andika juga tegas mengatakan bahwa ini harus dipidanakan,” ungkapnya pada 16 Januari.
Lantas, apakah ini dapat menjadi panggung emas bagi Jenderal TNI Andika Perkasa?
Seayun dengan Persepsi Publik
Ada satu faktor sederhana yang membuat ini dapat menjadi panggung emas Andika, yakni persepsi kebencian terhadap korupsi. Thomas Carothers dan Christopher Carothers dalam tulisan The One Thing Modern Voters Hate Most di Foreign Policy, menyebut terdapat tren global di mana korupsi tidak hanya membuat banyak pemimpin tersingkir dari jabatannya, melainkan juga berkontribusi signifikan terhadap kekalahan elektoral dari banyak petahana.
Korupsi disebut telah menjadi isu yang sangat kuat, bahkan mungkin paling kuat, dalam mendorong perubahan politik di dunia saat ini. Masyarakat di seluruh dunia menunjukkan keengganan yang semakin besar dalam melihat perilaku korup dan bentuk-bentuk pemerintahan yang buruk.
Akar ketidaksukaan tersebut dapat kita elaborasi dengan tulisan Rhymer Rigby di Financial Times yang berjudul It’s easy to hate the rich but harder to justify it. Menurut Rigby, terdapat persepsi umum di seluruh dunia, di mana masyarakat – yang umumnya menengah ke bawah – tidak menyukai orang-orang kaya. Dalam berbagai temuan, ketidaksukaan itu disebut bertolak dari persepsi masyarakat yang merasakan ketidaksetaraan sosial-ekonomi.
Orang-orang kaya yang memiliki uang miliaran dolar berada di puncak piramida. Jumlah mereka sedikit tapi memiliki pengaruh yang begitu besar. Kondisi ini timpang dengan masyarakat yang berada di bagian bawah piramida. Kendati jumlahnya jauh lebih banyak, pengaruh yang mereka miliki tidaklah besar.
Sekarang coba bayangkan, jika terdapat ketidaksukaan umum terhadap orang kaya, maka apa yang terjadi terhadap mereka yang kaya dari perilaku korupsi? Tentu mudah ditebak, persepsi ketidaksukaan tersebut akan semakin menebal dan mengental. Akan muncul narasi tambahan, seperti keadilan, penegakan hukum, demokrasi, dan seterusnya.
Nah, mengacu pada dugaan korupsi satelit Kemhan yang disebut mencapai Rp 800 miliar, ini dapat menjadi kapitalisasi isu yang bagus untuk Andika. Bahkan, sekalipun Andika tidak meniatkannya demikian, dukungan terhadap penyelidikan kasus ini sudah cukup membuatnya mendapat persepsi baik dari publik.
Apalagi, tidak hanya korupsi satelit Kemhan, Andika juga akan mendukung penuh Kejaksaan Agung dalam mengusut berbagai kasus dugaan korupsi di tubuh TNI, seperti Dana Tabungan Wajib Perumahan Angkatan Darat (TWP AD) tahun 2013 sampai dengan tahun 2020.
“Kami akan all out mendukung, termasuk proses hukum koneksitas yang sedang berlangsung. Kita akan all out, jadi Bapak Jaksa Agung yakin bahwa kita mendukung apapun yang beliau minta, kita siap mendukung apapun yang diperlukan mulai dari menghadirkan saksi, barang bukti, dan lain sebagainya,” ungkap Andika pada 14 Januari.
Dapat Buat Perbedaan?
Di titik ini, mungkin dapat dikatakan ini adalah panggung emas, yang jika dikelola dengan baik akan memberikan citra dan modal bagus, jika benar-benar berlaga di 2024. Namun, ada satu catatan penting, mampukah Andika membuat perbedaan dengan Panglima TNI sebelumnya?
Pasalnya, sebelum Andika, ada nama Gatot Nurmantyo yang bahkan menunjukkan gestur politik secara kentara sewaktu menjabat Panglima TNI. Ini misalnya diungkap John McBeth dalam tulisannya Military Ambitions Shake Indonesia’s Politics di Asia Times.
Menurutnya, Gatot adalah satu-satunya Panglima TNI setelah reformasi yang secara terang-terangan menunjukkan ambisi politiknya saat masih menjabat. Secara spesifik, McBeth juga menyebut Gatot secara terbuka mendekati kelompok-kelompok agama dengan harapan meningkatkan keterpilihannya.
Menariknya, McBeth juga membandingkan Gatot dengan Moeldoko. Indonesianis asal Selandia Baru ini juga melihat Moeldoko memiliki ambisi yang sama sebelum pensiun pada Juli 2015.
Selain faktor syahwat kekuasaan yang sudah terlihat sejak masih menjabat sebagai Panglima TNI, Gatot juga terlihat menempatkan dirinya sebagai tokoh oposisi, seperti bergabung dengan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), dan kerap memainkan isu PKI untuk menarik perhatian.
Dalam tulisannya, McBeth melampirkan pernyataan dari analis militer Barat, yang tampaknya menjadi jawaban mengapa Gatot kerap memainkan isu PKI. “He doesn’t have much in the way of personal charisma and he doesn’t have much political acumen [Dia (Gatot) tidak memiliki karisma personal dan kecerdasan politik yang besar].”
Lanjutnya, “He would be no competition for Widodo, so I can’t see any other party picking him as a presidential or vice-presidential candidate [Dia tidak akan menjadi pesaing Jokowi, jadi saya tidak bisa melihat partai lain memilihnya sebagai calon presiden atau wakil presiden].”
Jika analisis tersebut tepat, maka dapat dikatakan, kerapnya isu PKI dimainkan karena Gatot kurang memiliki kecakapan dalam memainkan dan membuat narasi politik. Oleh karenanya, dipilih isu PKI yang telah ada dan mudah mendapat atensi publik.
Bertolak dari kasus Gatot, Andika perlu belajar dan berinovasi agar dapat mengelola narasi dengan baik dan rapi. Sejauh ini, tren narasi Andika terlihat positif. Tidak terjadi tumpang tindih maupun isu yang sekiranya bukan domain Panglima TNI. Jika diteruskan, dan Andika tidak mendapat gejolak atau kasus negatif, masa bakti satu tahun ini tampaknya dapat memberikan modal penting bagi Andika.
Well, sebagai penutup, anasir-anasir yang menyebut Andika akan maju di 2024, entah itu dengan siapa, masih sebatas spekulasi dan dugaan. Yang jelas, saat ini sang jenderal perlu menampilkan kepemimpinan hebat agar tercatat sebagai Panglima TNI yang luar biasa. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.