Pernyataan Pandji Pragiwaksono soal perbandingan elitis FPI dan NU plus Muhammadiyah, seperti yang dapat diprediksi, menuai kontroversi. Lalu, apakah pernyataan Pandji sesungguhnya menemui relevansinya dalam dimensi tertentu?
Isu mengenai aspek keagamaan di Indonesia kembali menampilkan intrik. Hal ini juga seolah mengafirmasi bahwa isu tersebut memang masih merupakan perkara yang cukup sensitif, tidak hanya antar kepercayaan, tetapi juga dalam konteks intra religiositas.
Frasa lelucon yang kerap disebut digandrungi sejumlah warganet yakni “keributan”, berawal dari pernyataan komedian Pandji Pragiwaksono. Sosok yang dikenal sebagai salah satu maestro stand up comedy di Indonesia itu melontarkan pernyataan yang kemudian menuai kontroversi.
Konteksnya sendiri, dalam video yang berjudul “FPI Dibubarin Percuma?” dan diunggah di kanal YouTube miliknya itu Pandji membicarakan bagaimana Front Pembela Islam (FPI) yang disebut punya pengaruh kuat di akar rumput. Dan sesuai tajuk videonya, menjadi sia-sia organisasi kemasyarakatan (ormas) itu dibubarkan.
Sebuah ihwal yang berada dalam payung argumen dan diskursus bahwa akan muncul simpatisan-simpatisan ber-DNA FPI dengan kemasan berbeda, setelah organisasi besutan Habib Rizieq Shihab itu dibubarkan pemerintah.
Kendati begitu, yang lantas menjadi keniscayaan timbulnya polemik ialah, Pandji lebih lanjut menjabarkan kutipan Sosiolog Tamrin Tomagola dengan membandingkan FPI, NU, dan Muhammadiyah. Bahwa ulama-ulama atau tokoh FPI disebut lebih terbuka bagi mereka di akar rumput yang sedang kesulitan.
Sebuah hipotesa yang dinilai menyebabkan terciptanya engagement atau keterikatan tertentu dan membuat sejumlah pihak menjadi pro-FPI, yang sayangnya dibandingkan subjek serupa yang dianggap bertendensi elitis dan tercermin di NU dan Muhammadiyah kini.
Baca juga: Deddy Tepat Libas Ramalan Mbak You?
Meski kemudian sekali lagi menegaskan, dan agaknya ditujukan bagi mereka yang tak menyimaknya secara utuh, bahwa ungkapannya itu berangkat dari pernyataan sang Sosiolog, berbagai kritik nyatanya tak lantas surut.
Akibat dianggap kurang elok, para tokoh NU serta Muhammadiyah, maupun khalayak secara umum cenderung bereaksi minor pada Pandji. Ketua Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Razikin, misalnya, yang menyarankan bahwa sebaiknya Pandji perlu banyak membaca sejarah riwayat ormas NU dan Muhammadiyah di Indonesia, utamanya kontribusi keduanya bagi bangsa.
Sementara dari NU, Ketua Bidang Kajian Strategis Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda (GP) Ansor, Nuruzzaman, menilai bahwa kiai, ulama, serta tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah sampai saat ini tidak ada yang bersikap elitis.
Lebih lanjut Nuruzzaman mengatakan, banyak masyarakat di berbagai penjuru Indonesia yang kehidupannya secara sosial sangat bergantung dan terkoneksi erat dengan para kiai dan tokoh-tokoh NU maupun Muhammadiyah.
Namun yang menarik dan menjadi pertanyaan, kecenderungan apa yang sesungguhnya terjadi sehingga bisa sampai muncul postulat yang tampak diyakini oleh Pandji tersebut?
Pandji Khilaf atau Kuak Realita?
Pada kasus NU-Muhammadiyah yang disebut elitis, Panji mungkin mengalami semacam kekeliruan dalam membandingkan FPI, NU, dan Muhammadiyah tanpa memaknai substansi dan konsekuensi lanjutannya, meskipun pernyataan itu bersumber dari kutipan orang lain.
Kekeliruan yang oleh Rebecca Webber sebut sebagai comparison trap. Istilah Webber tertuang dalam The Comparison Trap, di mana berangkat dari social comparison theory psikolog terkemuka Amerika Serikat (AS) Leon Festinger. Bahwasanya konteks perbandingan dibuat sebagai bagian dari evaluasi personal terhadap konteks tertentu.
Dan target atau objek perbandingan individu, cenderung mengarah pada yang paling dekat serta ingin dikonstruksikan. Atau dengan kata lain, sifatnya menjadi sangat subjektif.
Webber mencontohkan comparison trap di era kekinian dengan bagaimana orang memandang media sosial, yang jamak membandingkan satu dengan lainnya secara parsial dan menjadi tidak komprehensif. Utamanya ketika hanya melihat dari unggahan yang terlihat, walaupun di balik itu belum tentu demikian.
Baca juga: NU Dapat Menag, Muhammadiyah?
Karena walaupun mengutip dari orang lain, Panji ketika memutuskan untuk menyatakannya serta kemudian melakukan perbandingan, kemungkinan telah punya anggapan atau evaluasi tertentu bahwa menurutnya hal itu memiliki nilai tertentu ataupun cukup logis.
Kunci berupa komprehensivitas menjadi sesuatu yang luput, di mana jika berbicara konteks sosial di akar rumput, baik NU maupun Muhammadiyah memiliki riwayat yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan FPI, termasuk yang dilakukan oleh para ulamanya.
Riwayat yang bahkan dapat dengan mudah temui literaturnya oleh siapapun, plus menjadi salah satu latar belakang di balik besar dan berkesinambungannya eksistensi dua organisasi Islam itu.
Terkait dengan konsekuensi dan komprehensivitas pula, mengapa ihwal yang disampaikan Pandji menuai polemik cukup serius, agaknya disebabkan oleh platform penyampaiannya yang mungkin juga kurang tepat.
Dalam A Study on Positive and Negative Effects of Social Media on Society, Waseem Akram mengatakan bahwa dengan begitu besarnya cakupan sorotan pengguna di media sosial, interpretasi kritis atas berbagai konten menjadi tak terhindarkan.
Media sosial, termasuk YouTube tampaknya menjadi kurang tepat menjadi wadah penyampai substansi Pandji itu. Plus, ditambah lagi dengan kemasan konten yang cukup sensitif dan mungkin disampaikan secara kurang proporsional dan komprehensif, ketika Pandji tak menghadirkan sosok atau narasi atau argumen penyeimbang. Mengingat dalam hal ini tak bisa dipungkiri, Pandji juga merupakan tokoh publik.
Apalagi, Akram menambahkan bahwa kekeliruan yang dilakukan di media sosial akan cukup sulit diperbaiki. Variabel itulah yang juga kiranya punya dampak lebih pada efek dari pernyataan yang diutarakan Pandji.
Akan tetapi, menarik pula kiranya untuk membedah lebih dalam esensi dari pernyataan atau rujukan yang tentu tak serta merta tak bermakna khusus, ketika bersumber dari sosok yang mendalami ilmu tertentu dan memiliki kaliber tersendiri seperti Tamrin Tomagola.
Tendensi Elitis, Mungkin Saja?
Harus diakui memang kontribusi secara organisasi dari NU dan Muhammadiyah dalam aspek keagamaan, sosial, budaya, ekonomi, hingga pendidikan di tanah air begitu besar sejak berdirinya kedua organisasi tersebut, dan turut menjadi penyokong eksistensinya hingga kini.
Torehan yang tentu juga berasal dari akumulasi sumbangsih setiap elemen di dalamnya, mulai dari para pengikut, tokoh, ulama, hingga para pimpinannya.
Kendati demikian, tak dapat dipungkiri pula ketika tokoh-tokoh yang erat dengan dua organisasi itu mungkin memberikan impresi maupun preseden tertentu, utamanya ketika telah turun ke gelanggang politik.
Baca juga: Mendikbud Jadi Rebutan NU-Muhammadiyah?
Hal ini dijabarkan dengan cukup mendalam di sebuah publikasi berjudul The Political Decline of Traditional Ulama in Indonesia, yang digubah oleh Greg Fealy dan Robin Bush. Keduanya menjelaskan memang terdapat kecenderungan bahwa persepsi terhadap ulama di organisasi Islam terbesar, khususnya NU, menurun bersamaan dengan kiprah beberapa dari mereka di politik praktis.
Terlebih ketika narasi agama, khususnya Islam, menjadi bagian dalam variabel kontestasi perpolitikan di tanah air. Lantas muncul istilah political power of ulama atau kekuatan politik ulama dari sejumlah tokoh yang selama ini publik kenal berada di tengah konstelasi politik, salah satunya Ma’ruf Amin.
Dengan NU telah menyiratkan keterlibatan politik secara terbuka, salah satunya dengan menyatakan dukungan pada PKB, membuat segala preseden yang muncul sebagai implikasi dari dinamika politik, tampaknya turut tersematkan pada organisasi maupun elemen di dalamnya, termasuk ulama. Tak terkecuali kemungkinan residu negatif.
Fealy dan Bush menambahkan, reaksi balik terhadap aktivisme politik ulama, dengan beberapa responden yang dikaji keduanya, berpendapat bahwa penurunan impresi positif dan peran ulama secara umum dinilai terkait dengan pandangan bahwa ulama harus fokus pada urusan agama, bukan politik.
Di sisi berbeda, hal itu termasuk pula sebagian elemen internal dan ulama itu sendiri yang mungkin masih hidup harmonis berdampingan, utamanya yang berada di daerah yang tak semua sejalan dengan keterlibatan sejawatnya dan organisasi dalam politik praktis.
Hasil kajian yang bisa saja menggambarkan dan bermuara pada impresi elitis yang dimaksudkan oleh Pandji Pragiwaksono.
Meskipun berada dalam frekuensi dan karakteristik organisasi dan sikap politik yang berbeda, tak menutup kemungkinan juga bagi Muhammadiyah dan elemen di dalamnya mendapatkan preseden serupa, meski faktanya tak memiliki ketetapan sikap politik praktis secara organisasi.
Impresi itu agaknya menjadi semakin tak terhindarkan tingkat probabilitasnya, ketika realita yang ada menunjukkan komposisi umat Islam di tanah air juga terdiri dari mereka yang tak terafiliasi dengan NU maupun Muhammadiyah, wa bil khusus kalangan di akar rumput.
Akan tetapi, tentu rangkaian presumsi di atas masih berupa analisa semata. Di balik semua polemik yang muncul atas pernyataan Pandji tampaknya memang ada sebuah nilai pelajaran yang dapat diambil.
Tak lain dan tak bukan ialah untuk dapat se-bijak mungkin dalam mengungkapkan narasi, terutama terkait perihal aspek apapun yang bersinggungan dengan aspek religiositas. Selain kebijaksanaan, komprehensivitas sudut pandang agaknya juga patut dikedepankan, bagi siapapun saat menyampaikan, mencerna, dan menerjemahkan berbagai narasi yang dirasa memiliki tingkat sensitivitas tertentu. (J61)
Baca juga: Kala Deddy Saingi Najwa Shihab
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.