Kasus positif Covid-19 di Indonesia telah mencapai angka setengah juta. Penambahan kasus yang tak kunjung melandai kembali menimbulkan pertanyaan terkait penanganan pandemi di Indonesia. Kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat-daerah diduga menjadi salah satu penyebabnya. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Senin, 23 November 2020 Indonesia kembali mencatatkan pencapaian baru dalam penanganan pandemi Covid-19. Ya, setelah kurang lebih sembilan bulan berjalan, jumlah orang yang terjangkit virus bernama ilmiah SARS-CoV-2 tersebut telah mencapai setengah juta jiwa, tepatnya tepatnya 502.110 kasus.
Tak hanya menembus angka 500 ribu, penambahan kasus positif Covid-19 dalam negeri di hari yang sama juga menjadi yang tertinggi di Asia Tenggara. Hingga saat ini, Indonesia memang masih merajai kasus positif tertinggi di kawasan tersebut.
Kendati demikian, pakar epidemiologi dari Griffith University, Dicky Budiman menyebut kasus Covid-19 di Indonesia masih jauh dari puncaknya. Ia bahkan menyebut jumlah kasus positif sebenarnya bisa mencapai tiga kali lipat dari jumlah yang dilaporkan pemerintah.
Hal ini terjadi lantaran kemampuan testing pemerintah yang masih jauh dari harapan. Ia menduga sebenarnya banyak orang yang sudah terinfeksi namun tidak terdeksi. Jika dibiarkan, Ia khawatir hal tersebut akan berdampak pada proses vaksinasi.
Carut marutnya penanganan pandemi ini seolah menjadi problem yang tak kunjung terselesaikan. Meski hampir setahun berjalan, pemerintah terlihat masih gelagapan dalam penanganan pandemi.
Chris Morris dalam tulisannya yang berjudul Governing A Pandemic: Centre-Regional Relations and Indonesia’s COVID-19 Response menilai kegagalan penanganan pandemi di Indonesia salah satunya disebabkan oleh buruknya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.
Ia juga menyebut bahwa kebijakan yang condong memberikan kewenangan lebih besar pada pemerintah pusat turut berkontribusi dalam menghambat penanganan pandemi. Akibatnya dalam sejumlah kesempatan, pemerintah gagal memberikan respons yang cepat.
Tulisan Chris Morris tersebut mau tak mau menyeret penanganan pandemi ini ke ranah diskursus mengenai sentralisasi versus desentralisasi kebijakan. Lantas dalam konteks tersebut, apa sebenarnya yang salah dari sistem pengambilan kebijakan yang diterapkan di Indonesia?
Perdebatan Panjang
Sentralisasi versus desentralisasi merupakan perdebatan panjang yang sudah terjadi jauh sebelum Indonesia memasuki era Reformasi. Perdebatan ini bahkan sampai menumpahkan darah seperti yang terjadi dalam peristiwa pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) pada tahun 1950.
Konflik ini terjadi lantaran adanya perbedaan pendapat terkait sistem pemerintahan yang dianut Indonesia, yang kala itu masih berbentuk negara federal di bawah bendera Republik Indonesia Serikat (RIS). Kelompok yang mendukung sistem pemerintahan tersebut tak setuju dengan golongan republikan yang lebih menginginkan sistem pemerintahan kesatuan atau unitarianisme.
Sejumlah tokoh yang menjadi kunci dari pemberontakan yang terjadi di Bandung, Jawa Barat ini adalah Kapten Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger (KNIL), Raymond Pierre Paul Westerling, dan Sultan Hamid II. Mereka sempat melakukan penyerangan terhadap sidang Dewan Menteri RIS pada 24 Januari 1950, yang disebut-sebut menarget sejumlah menteri RIS, termasuk Menteri Pertahanan kala itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Meski akhirnya pemberontakan itu gagal, RIS dibubarkan, dan Indonesia kembali menganut sistem negara kesatuan, namun wacana mengenai desentralisasi pemerintahan tak begitu saja berhenti diperdebatkan. Di era rezim Orde Lama, wacana desentralisasi kekuasaan lewat otonomi daerah bahkan mengalami progres yang cukup signifikan di akhir masa kepemimpinan Soekarno.
Lewat Maklumat Undang-undang (UU) Nomor 18/1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Soekarno merumuskan tentang tujuan akhir desentralisasi yang mengindikasikan bahwa prinsip dasar otonomi daerah adalah otonomi riil dan seluas-luasnya. Namun sayangnya, Sang Proklamator keburu dilengserkan beberapa minggu setelah beleid tersebut disahkan.
Di masa pemerintahan Orde Baru, Soeharto kemudian menerbitkan UU Nomor 5/1974 untuk mengganti UU 18/1965 yang diterbitkan Presiden Soekarno. Soetandyo Wignjosoebroto dalam bukunya Desentralisasi dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda menyebut selama pemerintahan Orde Baru, proses desentralisasi yang terjadi bersifat semu karena sesungguhhnya ‘otonomi elite pemerintah daerah’ sebenarnya dikontrol elite pemerintah pusat.
Indonesia baru mulai menerapkan otonomi daerah yang sesungguhnya pasca jatuhnya rezim Orde Baru. Lewat UU Nomor 22/1999, pemerintahan B.J. Habibie kala itu berusaha membenahi hubungan pusat dan daerah dengan memberikan kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
Penerapan otonomi tersebut kemudian dikukuhkan dalam amendemen kedua UUD 1945 setahun setelahnya, khususnya dalam pasal 18 butir ke (5) yang menyebut bahwa pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat
Seiring berjalannya waktu, UU yang terkait otonomi daerah beberapa kali mengalami revisi. Yang terbaru, diatur dalam UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menegaskan bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah, tanggung jawab tertinggi dari penyelenggaraan pemerintahan tetap berada di tangan pemerintah pusat. Oleh karena itu, pemerintah pusat akan selalu melakukan supervisi, monitoring, kontrol, dan pemberdayaan agar daerah dapat menjalankan otonominya secara optimal.
Kendati demikian, hingga hari ini diskursus mengenai sentralistik versus desentralisasi masih tetap diperdebatkan. Hal ini tak bisa dilepaskan dari fakta bahwa otonomi daerah yang telah dijalankan selama ini belum berhasil mencapai tujuan yang diharapkan, yakni membawa kesejahteraan bagi masyarakat.
Butuh Keseimbangan?
Kembali ke konteks penanganan pandemi, Charles Hankla dalam tulisannya di The Conversation menyebutkan bahwa tipologi pemerintahan tak bisa dijadikan acuan tunggal untuk memetakan keberhasilan atau kegagalan dalam menangani pandemi Covid-19. Baik kebijakan yang sentralistik maupun desetralistik sama-sama punya kelebihannya masing-masing.
Ini dikarenakan pandemi adalah contoh area kebijakan yang tak mengenal batas-batas wilayah. Siapa saja dan di mana saja dapat tertular penyakit. Misalnya, seorang warga negara dapat terinfeksi di kota atau negara bagian dengan aturan jarak sosial yang lemah dan menularkan penyakit saat bepergian ke kota atau negara bagian lain.
Namun demikian, Hankla juga tetap tidak menyangkal pentingnya peran pemerintah daerah dalam penanganan pandemi. Hal ini lantaran pemerintah daerah dinilai punya pemahaman yang lebih untuk mengenali kebijakan yang cocok diterapkan di daerahnya.
Untuk itu Ia menyebut penanganan pandemi yang baik adalah kebijakan yang berusaha menemukan keseimbangan antara kekuasaan pemerintah pusat dengan mereka yang berada di tingkat negara bagian dan lokal – pemerintahan daerah.
Lantas sekarang pertanyaannya, apakah Indonesia sudah mencapai keseimbangan tersebut?
Perlu Grand Design?
Dengan mengetahui sejarah perdebatan antara konsep sentralisasi dan desentralisasi akan memudahkan kita untuk memahami mengapa implementasi otonomi daerah, termasuk dalam konteks penanganan pandemi belum berjalan optimal.
Kendati perlu diakui bahwa kebijakan pemerintah selama ini berada di tengah-tengah antara konsep sentralistik dan desentralistik, namun kenyataan kebijakan tersebut agaknya tidak memiliki guideline atau grand design yang jelas.
Ini terbukti dari seringnya kegagalan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam penanganan pandemi seperti dalam kasus miskomunikasi antara Pemerintah Provinsi Bali dan pemerintah pusat terkait kondisi pasien positif yang meninggal dunia.
Selain dalam konteks koordinasi, absennya grand design dalam tata kelola penanganan pandemi juga bisa dilihat dari ketidakjelasan dalam pembagian kewenangan antara pusat dan daerah.
Morris menyebut pemerintah pusat kerap memanfaatkan perbedaan kapasitas antar pemerintah daerah sebagai alasan untuk mempertahankan otoritas tertinggi di sejumlah kebijakan, misalnya terkait izin penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), di mana daerah harus mendapatkan persetujuan pemerintah pusat untuk menerapkannya. Padahal dalam beberapa kesempatan, pemerintah daerah, misalnya Pemprov DKI Jakarta dinilai lebih proaktif dan responsif dari pada pemerintah pusat.
Sementara di persoalan lain yang lebih sistemik dan fundamental, misalnya terkait wacana pembukaan kembali sekolah pada Januari 2021 mendatang, pemerintah pusat justru terkesan ‘lempar handuk’ dengan membebankan kewenangan itu sepenuhnya kepada pemerintah daerah.
Berangkat dari sini, maka dapat dikatakan bahwa penyebab utama belum optimalnya penanganan pandemi yang dilakukan pemerintah bukanlah soal keseimbangan dalam pembagian wewenang antara pusat dan daerah, melainkan lebih kepada tak adanya guideline atau grand design yang jelas yang mengatur pembagian wewenang tersebut. Ini kiranya juga bisa menjelaskan mengapa koordinasi antara pusat dan daerah kerap menemui kendala.
Bagaimana pun sekelumit ulasan tersebut merupakan analisis teoretis yang masih bisa diperdebatkan lebih lanjut. Sebab pandemi Covid-19 merupakan krisis multisektor yang membutuhkan penanganan komprehensif dan menyeluruh. Kendati begitu, setidaknya bisa disepakati bahwa koordinasi, serta pembagian kewenangan yang jelas dan terukur antara pemerintah pusat dan daerah adalah salah satu kunci untuk mewujudkan penanganan pandemi yang optimal. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.