Site icon PinterPolitik.com

Pandemi, Kegagalan Budi Gunawan?

Kepala BIN Budi Gunawan (Foto: Media Indonesia)

Dalam studinya, Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) menempatkan Badan Intelijen Negara (BIN) dan Kepala BIN Budi Gunawan (BG) sebagai pihak yang paling baik dalam menanggapi pandemi Covid-19. Namun, apabila mengacu pada tugas utama intelijen, mungkinkah BG telah gagal memimpin BIN dalam menjalankan tugasnya?


PinterPolitik.com

“Intelligence is major weapon in war,” – Sun Tzu, ahli perang asal Tiongkok

Ada studi menarik yang dilakukan Lembaga Pemilih Indonesia (LPI). Dalam rilisnya terkait pembantu presiden mana yang paling baik dalam menanggapi pandemi Covid-19, Badan Intelijen Negara (BIN) ditempatkan sebagai pucuk tertinggi. Pun begitu dengan Kepala BIN Budi Gunawan (BG) yang meraih skor 99 dari 100. Ini merupakan skor tertinggi.

Dalam keterangannya, Direktur LPI Boni Hargens menyebut BIN memiliki banyak program dan kegiatan penanganan pandemi yang tidak diketahui banyak orang. Mulai dari kerja sama dengan berbagai pihak eksternal dalam menyediakan rapid test gratis, ketersediaan mobil keliling di sejumlah kota besar, hingga pengadaan posko bantuan di berbagai kota.

Direktur Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menyambut baik studi tersebut. “Dalam hal daya tanggap, Kepala BIN, Panglima TNI, dan Kapolri memang terbaik karena institusi itulah yang paling terdepan dalam mengatasi Covid-19 sejak awal. Menteri lain kebanyakan sibuk dengan kompromi partai,” begitu ujarnya.

Tanggapan baik juga datang dari pakar pertahanan dan keamanan Universitas Indonesia (UI) Kusnanto Anggoro. “Dulu BIN dikritik karena badan intelijen mencampuri urusan kesehatan. Sekarang orang mengerti bahwa pandemi melampaui urusan kesehatan karena sudah menyangkut keamanan dan keselamatan masyarakat dan negara,” begitu tegasnya.

Menariknya, sama dengan Karyono, Kusnanto juga menyinggung soal baiknya koordinasi BIN dengan TNI dan Polri. Ia pun juga meminta menteri-menteri yang lain belajar dari pimpinan ketiga lembaga tersebut.

Baca Juga: Tuah Magis BIN Atasi Covid-19

Namun, pengamat pertahanan dan keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi justru memiliki pandangan yang berbeda.

Tegas Fahmi, “intelijen itu tugasnya mengumpulkan bahan keterangan, melakukan mitigasi dan memberikan analisis ke pembuat kebijakan. Bukan ikut gelar panggung seolah tak mau kalah berperan dengan kementerian dan lembaga lain yang memang sudah semestinya menjadi garda depan penanganan kedaruratan dan penanggulangan pandemi.”

Lantas, jika mengacu pada kredo lembaga telik sandi, apakah BIN, khususnya Budi Gunawan telah berhasil dalam menjalankan tugasnya?

Keluar dari Kegelapan?

Sejak awal, BIN memang terlihat aktif menangani pandemi. Mulai dari pemberian tes swab, prediksi akhir pandemi, hingga kerja sama obat Covid-19.

Sederet usaha ini tampaknya adalah pengejawantahan pernyataan Deputi Bidang Komunikasi dan Informasi BIN, Wawan Purwanto terkait medical intelligence yang berada di bawah naungan lembaga telik sandi tersebut. Tegasnya, medical intelligence ini adalah arahan langsung dari Kepala BIN, Budi Gunawan.

Konsep medical intelligence sendiri bukanlah hal asing. Di Amerika Serikat (AS), misalnya, terdapat National Center for Medical Intelligence (NCMI) yang merupakan komponen dari badan intelijen pemerintah federal, Defense Intelligence Agency (DIA).

Namun, Tangguh Chairil dalam tulisannya Indonesia’s Intelligence Service is Coming Out to Counter COVID-19 melihat ada nuansa perluasan peran terkait respons BIN atas pandemi. Menurutnya, peran BIN adalah melakukan contact tracing untuk melacak penyebaran virus. Ini merupakan bagian dari sistem peringatan dini yang seharusnya dilakukan oleh dinas intelijen.

Namun, BIN justru terlihat meluaskan perannya ke segala sesuatu yang berkaitan dengan pandemi. Pada 13 Maret 2020, BIN mengumumkan ke publik terkait prediksi puncak pandemi pada Mei 2020. Pada 17 April 2020, BIN menyerahkan bantuan alat kesehatan dan obat-obatan ke Satgas Covid-19 dan pemerintah daerah.

Lalu menyiapkan laboratorium mobile rapid test di berbagai kota, penyemprotan disinfektan ke beberapa wilayah, dan mengedukasi masyarakat tentang bahaya Covid-19. Kemudian pada 12 Juni 2020, BIN mengumumkan sedang mengoordinasikan percepatan produksi obat Covid-19.

Baca Juga: Jika Kejagung Dibakar, Di Mana Intelijen?

Menurut Tangguh Chairil, terdapat tiga persoalan terkait perluasan peran tersebut. Pertama, BIN tidak memiliki spesialisasi di bidang epidemiologi dan kesehatan masyarakat. Oleh karenanya, menjadi pertanyaan tersendiri mengapa BIN membuat pemodelan Covid-19 yang merupakan di luar kompetensinya.

Kedua, kalaupun BIN memiliki kompetensi membuat pemodelan pandemi, pekerjaan intelijen seharusnya hanya diserahkan kepada presiden sebagai klien tunggal. Pemodelan yang dibuat seharusnya bersifat rahasia dan tidak terbuka untuk umum. Ini jelas bertentangan dengan kredo badan intelijen yang bergerak secara senyap.

Ketiga, menyambung yang kedua, sebagai badan intelijen, sekalipun BIN melakukan tes dan tindakan lainnya di depan umum, BIN tidak boleh secara terbuka menyebutkan perannya dan seharunya menutupi peran tersebut dengan menggunakan nama lembaga lain.

Atas penunjukan eksistensi yang ada, Tangguh Chairil memberikan pertanyaan menarik. “BIN dulu tidak mencari kredit untuk pekerjaannya. Lalu, mengapa BIN keluar dari kegelapan untuk melakukan tugasnya secara terang benderang?”

Telah Gagal?

Pertanyaan tersebut juga menjadi perhatian Khairul Fahmi. Dalam kekhawatirannya, ia mewanti-wanti jangan sampai BIN justru menempatkan dirinya dalam ajang adu kebolehan. Lembaga telik sandi tidak boleh merasa kalah “keren” dengan lembaga lain karena harus bekerja di bawah keheningan.

Irawan Sukarno dalam bukunya Aku “Tiada” Aku Niscaya: Menyingkap Lapis Kabut Intelijen juga menegaskan hal ini.

Dalam bab Membedah Tubuh Intelijen, Irawan menulis, “Apa saja yang dilakukan para intel dan dalam bentuk apa pula aktivitas-aktivitasnya, tidak banyak orang tahu. Sebab memang tak ada intel yang mengaku intel, dan umumnya setiap orang tak pernah tahu jika di antara orang-orang yang hadir di sekelilingnya ada intel di dalamnya.”

Lanjut Irawan, intel diciptakan bukan untuk dipanggungkan, ditepuktangani, diketahui siapa pun, apalagi untuk sebuah popularitas.

Tidak hanya menyalahi kredonya sebagai entitas senyap, seperti yang dicatat Tangguh Chairil, peran-peran terbuka yang dilakukan BIN juga menunjukkan ketidakakuratan. Terkait tes Covid-19, misalnya, BIN tercatat pernah melakukan tes yang tidak akurat.

Lalu yang terpenting, ada kemungkinan BIN tidak memberikan informasi yang akurat kepada presiden selaku klien tunggalnya. Dalam wawancara Presiden Jokowi dengan Najwa Shihab pada 22 April 2020, misalnya, ketika menjawab pertanyaan mengapa pemerintah tidak menerapkan lockdown, sang RI-1 mengklaim tidak ada negara yang berhasil melakukan lockdown.

Padahal, pada saat itu Vietnam mengumumkan keberhasilannya dalam meratakan kurva tanpa satu pun kematian melalui penerapan lockdown. Persoalan ini membuat Tangguh Chairil menyimpulkan, kemungkinan Presiden Jokowi tidak mendapatkan informasi yang akurat dari BIN terkait pandemi Covid-19.

Lalu, apabila kita melihat lonjakan kasus Covid-19 akhir-akhir ini, bukankah itu buntut dari kegagalan pemerintah dalam melakukan pencegahan? Apakah BIN tidak memberikan informasi melalui medical intelligence-nya bahwa varian virus dapat masuk ke Indonesia?

Baca Juga: BIN Disorot, Kendali Jokowi Dipertanyakan?

Erik J. Dahl dalam tulisannya Was the coronavirus outbreak an intelligence failure? menyebutkan bahwa ledakan kasus Covid-19 di AS adalah kegagalan badan intelijen dalam mendeteksi krisis.

Lantas, seperti yang disebutkan Dahl, apakah ledakan Covid-19 di Indonesia adalah kegagalan BIN, khususnya Budi Gunawan sebagai pimpinan lembaga telik sandi?

Terkait pertanyaan ini, sekiranya bijak bagi kita untuk membaca buku mantan Kepala BIN, A.M. Hendropriyono yang berjudul Filsafat Intelijen Negara Republik Indonesia. Dalam bab “Necessitas Ante Rationem Est”, Hendro menegaskan bahwa badan-badan pelaksana intelijen tidak boleh disalahkan begitu saja ketika terjadi bencana atau krisis.

Ini karena intelijen merupakan alat negara yang bertugas untuk mengumpulkan dan memberikan informasi. Oleh karenanya, dipandang berguna atau tidaknya informasi yang diberikan bergantung atas penggunanya, yakni pemerintah.

Tulis Hendro, “Jika kita gagal menggergaji kayu, tidak benar jika kita membanting atau memaki-maki alat gergajinya.”

Nah sekarang pertanyaannya, seperti analogi Hendro, apakah yang salah adalah gergajinya atau justru orang yang menggunakan gergaji?

Jika yang salah adalah gergajinya, maka BIN telah gagal memberikan informasi yang akurat. Namun, jika yang salah adalah pengguna gergaji, maka pemerintah, khususnya Presiden Jokowi sebagai klien tunggal telah gagal dalam mengonversi informasi BIN ke dalam kebijakan yang tepat.

Terkait siapa yang gagal, itu tentunya tergantung atas interpretasi kita masing-masing. Silahkan menentukan. (R53)

Exit mobile version