Serangan terorisme dan masih berhembusnya isu SARA di putaran kedua Pilkada DKI, disinyalir akibat berkembangnya paham teologi maut di masyarakat. Sampai kapan ini berlangsung, quo vadis SARA?
PinterPolitik.com
“Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika sesuatu yang dipercayainya itu tidak memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar.” ~ John Gardner
[dropcap size=big]”N[/dropcap]egara tidak boleh kalah!” Itulah pernyataan yang berkali-kali dikatakan oleh mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Syafii Maarif, agar pemerintah tidak lengah dengan semakin maraknya tindakan radikalisme di masyarakat. Salah satunya adalah semakin banyaknya serangan terorisme sekelompok orang yang mengatasnamakan agama.
Kesenjangan yang semakin tajam, membuat masyarakat berserah diri kepada agama, sehingga mereka bergerak memegang agama. Sayangnya, menurut Syafii, mereka justru berpegangan dengan pandangan Arab yang salah atau misguided Arabism. “Mereka menderita, lalu diajak ke Tuhan untuk melindung itu dan berkembang suatu teologi ‘di luar kami salah, di luar kami halal darahnya’,” ujarnya di Jakarta.
Menurut ulama yang akrab disapa Buya Syafii ini, paham yang dianut mereka itu berkembang sebagai ‘Teologi Maut’ di masyarakat. Teologi ini mulai menyebar di masyarakat dan dikhawatirkan dapat menjadi pemicu kehancuran negara, seperti yang terjadi di pelbagai negara Islam di Timur Tengah, seperti Irak, Afganistan, dan Suriah.
#Renungan tentang Pesimisme Teologi Maut. Berani mati, karena tak berani hidup. #BuyaSyafii. pic.twitter.com/R96voHc0ZO
— MAARIF Institute (@maarifinstitute) December 19, 2016
Isu SARA yang mulai mengarah ke paham sektarian, memang semakin terasa sejak memasuki masa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta. Ketika itu, ada pihak yang disinyalir menghembuskan isu SARA guna mengalahkan salah satu calon gubernur (cagub). Akibatnya masyarakat pun terpecah belah, hingga saling tuding dan serang kerap terjadi hanya karena memilih cagub berbeda.
Suasana tegang menjelang Pilkada putaran kedua ini, diakui Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mohamad Sohibul Iman saat mengikuti pertemuan dengan sejumlah tokoh di kediaman Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Acara ini sendiri, menurutnya, juga membahas langkah-langkah untuk mengurangi suasana ‘panas’ menjelang ‘pesta demokrasi’ April lalu.
“Tidak ada dari kita ingin atau terpikirkan tentang sektarianisme atau memecah belah bangsa, yang tidak sesuai dengan falsafah UUD 45, pancasila, dan sebagainya,” kata Prabowo saat jumpa pers seusai acara. “Anda bisa lihat, kita membangun komitmen bahwa Bhineka Tunggal Ika itu harga mati, NKRI itu harga mati.”
Tafsir yang Kebablasan
“Isy kariman au mut syahiidan!” ~ Asma binti Abu Bakar
Hiduplah mulia atau mati syahid! Itulah arti nasihat Asma binti Abu Bakar kepada Ibnu Zubair. Ketika itu, putranya bimbang menghadapi kekejaman Hajajj bin Yusuf as-Saqafi, penguasa yang terkenal kejam dan gemar menumpahkan darah. Nasihat salah satu perempuan yang dimuliakan Rasulullah ini, dapat diterjemahkan sebagai ‘hiduplah di jalan Allah atau memerangi kezaliman walaupun harus kehilangan nyawa’.
Hidup mulia atau mati syahid, kemudian disinyalir diadopsi oleh kelompok militan sebagai slogan pembangkit semangat berjihad. Sayangnya, jihad yang dilakukan tidak sesuai dengan ajaran Allah Swt. “Jihad yang awalnya dimaksudkan bekerja keras, berjuang membela kemanusiaan dan keadilan, malah dipergunakan untuk menghancurkan kemanusiaan dan peradaban. Jadi ndak cocok sama sekali,” kata Buya.
Prof Khalid Abu Fadl, guru besar hukum Islam dari UCLA, Amerika, dalam karyanya, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists, mewanti-wanti kaum muslimin agar waspada terhadap kelompok-kelompok militan yang menafsirkan makna jihad secara serampangan dan tidak sesuai dengan semangat Alquran serta misi otentik Islam sebagai agama kemanusiaan.
“Tidak ada pemahaman tunggal atas suatu teks, … pemaknaan teks bersifat otonom merupakan inti dari kebebasan yang memberi tempat bagi siapa saja untuk bersuara”. ~ Roland Bartes
Menurut Abu Fadl, jihad dalam Islam berorientasi kepada spiritual yang kuat dan etika kerja material yang berorientasi kepada semangat kemanusiaan. Jadi bukan pada tafsiran yang eksklusif dan fatalistik. Sudah saatnya para ulama, intelektual, dan juru dakwah Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah bersatu, bahu-membahu membebaskan umat dari fatalisme keagamaan yang sempit dan parokial.
Penafsiran sebuah teks atau pembacaan atas suatu pesan secara bebas, pernah diungkap oleh Roland Bartes, seorang intelektual yang pernah mengembara dalam alam pemikiran eksistensialis, Marxis, strukturalis, hingga post-strukturalis. Menurutnya, ketika nama pengarang dihapuskan, maka pemaknaan teksnya menjadi bebas.
Begitu pun yang dilakukan oleh kelompok radikalis tersebut, mereka menggunakan ayat-ayat dalam kitab suci secara bebas, tanpa memahami esensi dan historikal dibalik kalimat-kalimat yang terkandung di dalamnya. Sehingga pada akhirnya, mereka hanya mengikuti apa yang tertulis dengan cara penafsiran yang tidak komprehensif, padahal sebenarnya, ia berhadapan dengan teks yang memiliki multitafsir.
Penyerangan Mapolres Banyumas, Tetangga Pelaku: Dia Terobsesi ISIS https://t.co/kYcTEaHsjH pic.twitter.com/LAC2p5hGdc
— detikcom (@detikcom) 11 April 2017
Mengenal Teologi Maut
“Jangan rusak martabat bangsa. Lebih baik duduk bersama selesaikan masalah dalam negeri. Kenyataannya, agama selalu dipakai pihak tertentu untuk merusak bangsa.” ~ Alm. KH Hasyim Muzadi
Buya Safii menganggap, jihad yang ada sekarang hanya perwujudan dari teologi maut, yaitu mengajarkan orang untuk ‘berani mati tapi tidak berani hidup’. Jauh sekali bila harus disandingkan dengan apa yang dimaksud Asma binti Abu Bakar. Teologi ini, muncul karena kesenjangan di masyarakat semakin tajam, baik dari banyaknya korupsi, maraknya pengunaan narkoba, hingga kemiskinan.
Oleh karena itu, Buya meminta pemerintah dan masyarakat untuk mengantisipasi doktrin ini dengan Pancasila. Masyarakat Indonesia yang memegang teguh Pancasila, terangnya, akan mampu menangkal pengaruh ajaran tersebut. “Orang yang punya idealisme nggak bisa ditipu oleh topeng itu,” tegas Buya yang mencontohkan negara yang memakai topeng adalah Suriah ISIS.
Guru besar Universitas Negeri Yogyakarta itu juga menilai, penanganan teroris masih berada di hilir. “Jika ada kejadian baru ditindak pelakunya,” katanya. Ia juga menyayangkan, pemerintah belum mengacu pembangunan yang berkeadilan. Itu sebabnya ideologi yang datang dari luar negeri mudah masuk. “Belum lagi ditambah dengan pemahaman agama yang salah,” katanya.
Oleh karena itu, ia menekankan kembali bagaimana peran Pancasila di masyarakat. Menurut Buya Syafii, teologi ini bisa hilang apabila masyarakat berpegang teguh pada Pancasila. Ia pun meminta kepada aparat penegak hukum untuk menindak tegas segala upaya dari oknum-oknum yang ingin mengubah pandangan negara, menghancurkan Pancasila, dan merusak publik.
Membumikan Kembali Pancasila
Mengenai isu SARA yang membuat ricuh menjelang dan selama Pilkada DKI Jakarta, menurut Prabowo, memang ada pihak-pihak yang sengaja mengembuskannya. Menurutnya, isu itu sengaja digulirkan untuk meretakkan persatuan dan keutuhan bangsa. “Yang menimbulkan isu SARA ya ada pihak-pihak tertentu saya kira,” ujarnya, tanpa menjelaskan lebih jauh tentang pihak-pihak tertentu yang dia maksud.
Pernyataan itu dia sampaikan ketika menanggapi isu SARA yang marak saat Pilkada berlangsung, di Jakarta. Ia yakin, Indonesia akan menjadi negara yang kuat, adil, dan makmur. Namun, semua itu hanya bisa dicapai jika semua rakyat Indonesia menjunjung tinggi Pancasila dalam kehidupan bernegara. “Ini adalah cita-cita yang harus kita perjuangkan sampai tetes darah terakhir,” tegasnya.
Sejak dilengserkannya Orde Baru, penerapan nilai-nilai Pancasila diakui banyak pihak mengalami kemunduran. Berbagai upaya pengerdilan Pancasila mulai banyak terjadi, padahal itu juga berarti mengecilkan perjanjian luhur bangsa Indonesia. kondisi ini juga dirasakan oleh Ketua PBNU Robikin Emhas.
“Bahwa di atas segala-galanya, memang syariat Islam di Indonesia telah berabad-abad dilaksanakan secara konsekuen oleh rakyat Indonesia, sehingga ia bukan hanya sumber hukum, malahan telah menjadi kenyataan di dalam kehidupan rakyat Indonesia sehari-hari dan telah menjadi adat yang mendarah daging.” ~ KH. Ahmad Dahlan
Semakin meluasnya gerakan kelompok radikal, baik dari jumlah dan sebaran wilayah teror, jika tidak ditangani dengan baik akan mengancam toleransi di Indonesia. “Kami dengar BNPT punya program deradikalisasi, itu saja tidak cukup. Seluruh komponen masyarakat apalagi pemerintah harus lebih serius, termasuk membumikan Pancasila,”.
Membumikan kembali Pancasila, lanjutnya, adalah dengan mentransformasikan kelima sila ke dalam kebijakan-kebijakan politik pemerintah. Sayangnya, hingga saat ini pun masyarakat belum mempraktekkan nilai-nilai Pancasila di kehidupan sehari-hari, begitu juga pada pemimpin negara, sehingga implementasinya masih bertentangan.
Robikin melihat, salah satu ciri kelompok yang menentang Pancasila, adalah menyatakan kebenaran hanya dimiliki oleh kelompoknya, sementara kelompok lain dianggap salah. “Harus diwaspadai karena claim of truth itu merupakan bibit yang subur. Mereka tidak lagi mengenal toleransi, tidak lagi mengakui keragaman. Maka claim of truth itu harus dihilangkan,” jelasnya. Bagaimana menurutmu? (Berbagai sumber/R24)