HomeNalar PolitikPAN Tolak Usung Airlangga?

PAN Tolak Usung Airlangga?

Ketua DPP PAN Bima Arya mengharapkan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) tidak mengusung capres-cawapres yang survei elektabilitasnya tidak bagus. Apakah ini tanda PAN tidak setuju KIB mengusung Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto?


PinterPolitik.com

Sejauh ini publik diributkan dengan pertanyaan, “siapa yang akan maju di Pilpres 2024?”. Berbagai pihak menanti nama yang akan menggantikan Joko Widodo (Jokowi) sebagai RI-1. 

Namun, di tengah perdebatan itu, pengamat politik M. Qodari memiliki pendapat berbeda yang sangat menarik. Menurutnya, justru tidak tepat membahas siapa yang maju saat ini, yang dibahas seharusnya adalah partai politik mana yang berpotensi berkoalisi. 

Qodari memiliki alasan sederhana atas penekanan itu. Menurutnya, nama atau sosok adalah sesuatu yang tidak pasti. Katakanlah sekarang elektabilitasnya tinggi, mungkin enam bulan lagi akan turun, begitu pula sebaliknya. Sementara, untuk partai politik, perolehan suara mereka itu pasti. Jumlah 128 kursi DPR (22,26 persen) PDIP tidak akan berubah, begitu pula kursi partai lainnya. Dengan demikian, yang jauh lebih penting dibahas adalah koalisi partai politik yang mungkin untuk terbentuk.

Nah, menariknya, sejauh ini sudah ada dua koalisi yang terbentuk. Pertama adalah Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang berisikan Partai Golkar, PAN, dan PPP. Kemudian, yang kedua adalah Koalisi Semut Merah yang beranggotakan PKB dan PKS.

Dari dua koalisi itu, yang lebih menarik dibahas adalah KIB. Alasannya bukan karena perolehan kursinya lebih banyak, melainkan karena aktifnya anggota koalisi dalam memberikan pernyataan. Yang terbaru datang dari PAN, tepatnya Ketua DPP PAN Bima Arya.

Menurut Bima, KIB seharusnya memiliki syarat siapa sosok yang akan diusung sebagai capres-cawapres. Ada tiga kata kunci untuk itu, yakni kualifikasi, akseptabilitas, dan elektabilitas. “Kalau survei jelek buat apa kita usung? Jadi elektabilitas,” ungkapnya pada 14 Juni 2022.

Dengan penekanan Bima pada survei elektabilitas, mungkinkah pernyataan itu merupakan kritik terhadap Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto?

pan tolak airlangga

Sasar Airlangga?

Pilpres 2024 tampaknya akan berbeda bagi Partai Golkar. Jika dua pilpres sebelumnya partai beringin hanya menjadi partai pengusung, di 2024 nanti Golkar ingin kadernya maju sebagai capres. Ya, siapa lagi kalau bukan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. Dalam Munas X Golkar pada 2019, sudah ditetapkan bahwa Airlangga akan diusung sebagai capres.

Namun, sebagaimana diperhatikan, rintangan demi rintangan terus mengikuti upaya itu. Bahkan, internal Golkar sendiri tampaknya tidak solid mendukung Airlangga. Salah satu alasannya adalah elektabilitas yang terpantau stagnan. Meskipun sejumlah survei bulan Mei menunjukkan kenaikan signifikan, konsistensi elektabilitas Airlangga masih di bawah tiga nama tertinggi, yakni Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan.

Baca juga :  Connie: From Russia with Love

Atas fakta ini, bukan tidak mungkin pernyataan Bima Arya adalah kritik halus kepada Airlangga. Pasalnya, berbagai pengamat politik, misalnya Ujang Komarudin dari Universitas Al Azhar Indonesia, menilai KIB dibuat sebagai bahtera pencapresan Airlangga. 

Lanjut Ujang, berdasarkan modal politik (political capital), yakni perolehan suara dan kekuatan kapital, Airlangga yang paling berpeluang sebagai capres dari ketiga ketua umum partai koalisi.

Nah, pernyataan terbaru Bima Arya tampaknya merupakan bentuk penolakan halus PAN atas derasnya isu pencalonan Airlangga. Ini adalah bentuk doublespeak atau pernyataan ganda. Eric Schwartzman dalam tulisannya Why Doublespeak is Dangerous, dengan mengutip ahli bahasa William Lutz, menjelaskan politisi melakukan doublespeak agar tidak terjadi ketegangan terbuka.

Tentu sulit membayangkan Bima akan menyebut nama spesifik dalam pernyataannya. Itu akan menimbulkan reaksi keras dari politisi dan partai lainnya. Konteks penggunaan doublespeak ini juga erat kaitannya dengan budaya politik Jawa di Indonesia.

Menurut Aris Huang dalam tulisannya Jokowi-Prabowo political reconciliation as Javanese strategy, dominasi Jawa di Indonesia telah membentuk lanskap politik di Tanah Air. Dalam bukunya Buku Putih: Kronik Daulat Rakyat vs Daulat Parpol, Fahri Hamzah juga menyebutkan bahwa relasi masyarakat dengan pemimpin dalam falsafah Jawa berbeda dengan nilai-nilai kepemimpinan dalam demokrasi ala Barat.

Dalam masyarakat Jawa, rakyat dilarang memikirkan moralitas penguasa apalagi sampai mempertanyakannya, karena itu dianggap tidak etis. Meskipun terkesan anti-kritik, konsep kepemimpinan itu pada dasarnya bertujuan untuk menghindari konflik dan menjaga harmoni. 

Implementasinya, politisi kerap menggunakan bahasa halus, simbolis, dan bercabang. Mereka menghindari bahasa denotatif yang mudah ditafsirkan sebagai sikap keras dan kurang elitis. 

Bima Arya Tidak Paham?

Setelah membahas pernyataan Bima Arya yang kemungkinan menyasar Airlangga, dan sekaligus sebagai simbol ketidaksetujuan PAN, sekarang kita akan membahas persoalan yang jauh lebih menarik. Selaku lulusan doktor ilmu politik dari Australian National University dan merupakan politisi senior, cukup ganjil sebenarnya melihat Bima justru menitikberatkan perhatian pada elektabilitas.

Dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Operasi Intelijen di Balik Pilpres 2024, telah dibahas bahwa persepsi-persepsi politik, seperti popularitas dan elektabilitas sebenarnya adalah buah dari strategi pemenangan. Itu adalah operasi penggalangan intelijen yang disebut dengan cipta kondisi.

Baca juga :  Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?
siapa pengganti airlangga ed. 1

Sebagai bukti empiris, kita akan melihat kasus-kasus elektabilitas sosok yang dapat didongkrak dalam waktu yang terbilang cepat oleh tim pemenangan. Rahmat Sahid dalam bukunya Puan Maharani Matang dalam Kerja Keras Politik menjelaskan perjalanan Ganjar Pranowo di Pemilihan Gubernur Jawa Tengah (Pilgub Jateng) 2013. 

Pada bab Strategi Jitu di Injury Time, mengutip artikel Kompas pada 27 Mei 2013 yang berjudul Mesin Partai Berjalan Efektif, Sahid mengajukan pertanyaan, “apakah faktor mesin partai, ataukah karena figur Ganjar begitu menjual yang memberi kemenangan?”

Jika mengatakan figur yang menjual, ini patut dipertanyakan. Pasalnya, sebagai petahana, dalam survei yang rilis Oktober 2012, popularitas Bibit Waluyo sebesar 77 persen, Ganjar jauh tertinggal dengan hanya 6,3 persen.

Pada bab Hasil Survei, bertolak dari survei itu, keputusan PDIP memberikan rekomendasi kepada Ganjar mendapat banyak cibiran. Bahkan, ada media menyebut PDIP “bunuh diri” karena tidak mencalonkan Wakil Gubernur Jateng Rustriningsih yang memiliki popularitas sebesar 40,6 persen.

Menariknya, hanya dalam waktu kurang lebih tujuh bulan, tim pemenangan berhasil membuat Ganjar menjadi begitu dikenal masyarakat Jawa Tengah, hingga akhirnya keluar sebagai pemenang. Bukti lainnya, ketika Bibit Waluyo diusung PDIP pada Pilgub Jateng 2008, elektabilitasnya juga rendah, hanya sekitar 3 persen. Mesin partai kemudian bergerak sehingga akhirnya Bibit menjadi Gubernur Jateng.

Nah, kembali pada pertanyaan Sahid, apakah kemenangan Ganjar dan Bibit adalah karena figurnya, atau efektifnya mesin pemenangan partai? 

Pada Pilpres 2019, faktanya elektabilitas bukan menjadi perhitungan kunci pemilihan kandidat. Terpilihnya Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno sebagai cawapres di akhir waktu menunjukkan kalkulasi lain. Nama Ma’ruf bahkan tidak muncul di survei elektabilitas, tetapi terpilih menggantikan Mahfud MD menjadi pasangan Jokowi.

Sebagai penutup, ada dua hal yang dapat disimpulkan. Pertama, kuat dugaan pernyataan Bima Arya merupakan simbol penolakan PAN atas pencalonan Airlangga Hartarto sebagai capres KIB. Kedua, Bima tampaknya terjebak pada simulakra politik, hingga menilai elektabilitas yang merupakan operasi cipta kondisi sebagai fakta politik yang menjadi variabel kunci. 

Mengulang pernyataan Qodari, elektabilitas adalah sesuatu yang tidak pasti, ia bisa naik dan juga bisa turun. (R53)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...