Nampaknya bukan hanya Hanum Rais yang berharap popularitas dari film ini. PAN sepertinya juga berharap kecipratan popularitas dan dampak signifikan secara politik
PinterPolitik.com
“Menonton adalah mempercayai, tetapi tak semua yang tampak diperlakukan sama di mata kamera” – Bill Nichols
[dropcap]B[/dropcap]isa dibilang panggung bioskop beberapa hari terakhir ini menjadi arena yang lebih panas dibanding panggung politik. Alasannya tak lain dan tak bukan adalah duel popularitas film yang mengudara di akhir pekan lalu : A Man Called Ahok versus Hanum dan Rangga.
Sebenarnya banyak sineas yang memprotes untuk tak mencampuradukkan film dalam politik. Namun terlalu naif juga jika tak mengira bahwa ada muatan politis dalam dua film tersebut. Terlebih, kini keduanya tengah menjadi perdebatan seru di media sosial menyoal berapa banyak masyarakat yang sudah menghabiskan uang mereka untuk menonton kedua film.
Nuansa politik menjadi semakin kentara ketika muncul instruksi untuk menonton salah satu film dari salah satu partai politik besar di Indonesia. Adalah Partai Amanat Nasional (PAN) yang menyerukan para kadernya untuk menonton film besutan Hanum Salsabiela Rais, yang merupakan putri dari Ketua Dewan Kehormatan PAN, Amien Rais.
Instruksi itu muncul dalam bentuk surat yang disebarkan tanggal 2 November 2018 yang meminta sejumlah kader PAN memfasilitasi nobar di daerah pemilihannya masing-masing pada penayangan perdana 8 November 2018 kemarin.
Lalu bagaimana menjelaskan kait kelindan film dan politik? Mungkinkah Hanum dan Rangga adalah film yang memiliki muatan politik?
Film Dan Propaganda Politik
Bersaingnya film Hanum dan Rangga dengan A Man Called Ahok di bioskop tanah air beberapa hari terakhir memang terasa memantik kembali ingatan publik tentang kaitan film dengan politik. Dalam kadar tertentu, film dapat menjadi alat propaganda politik.
Sebenarnya, film telah lama menjadi ladang subur bagi munculnya pesan pesan secara tersirat maupun tersurat. Hal ini sejalan dengan pendapat James Combs dalam bukunya yang berjudul Film Propaganda and American Politics yang menyebut bahwa propaganda dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk memproduksi dan menyebarkan pesan-pesan yang subur dan sekali ditaburkan, akan bertumbuh dalam budaya yang besar.
Combs juga menyebut kemunculan propaganda “baru” pada abad ke 20 yang memungkinkan organisasi politik untuk mengkomunikasikan pesan yang akan mereka sebarkan guna mengakomodasi agenda-agenda mereka melalui film.
Film kok dijadikan alat political bully. Same on you, dari pihak mana aja. Shame on you. Jauhi film dari kelakuan politik menyebalkanmu lah. Satu film dibuat oleh puluhan, bahkan ratusan orang yang punya pandangan politik beda, atau nggak peduli sama politik seperti kamu. Shame.
— Joko Anwar (@jokoanwar) November 12, 2018
Dalam konteks propaganda melalui film, Indonesia harus banyak belajar dari Amerika Serikat. Secara umum, dalam konteks pembuatan film dan budaya di Amerika, tampak jelas bahwa film-film politik yang sukses adalah film yang mengekspresikan nilai-nilai politik dan sosial Amerika yang mendalam dan tradisional.
Hal itu dapat dilihat dari beberapa bernuansa propagandis seperti Lincoln, Argo, dan Zero Dark Thirty yang semua menyiratkan pesan tentang citra Amerika Serikat sebagai negara yang menjunjung tinggi keadilan.
Ada pula film All the King’s Men yang diangkat berdasarkan novel Robert Penn Warren yang menggambarkan tentang seorang politisi dari Selatan, serta The Last Hurray yang berfokus pada pesan kepemimpinan politik, yang berhasil membanjiri bioskop dan menjadi deretan film propaganda politik paling berpengaruh di Amerika Serikat.
Dalam konteks politik Indonesia, propaganda politik melalui film sebenarnya telah lama menjadi bagian dari praktik kotor sineas Indonesia.
Salah satu yang paling berpengaruh adalah film G 30S/PKI yang merupakan film propaganda rezim Orde Baru. Film tersebut berdampak cukup fundamental terhadap kehidupan sosial politik di Indonesia. Tidak hanya kebencian terhadap PKI dan komunis yang tercipta, namun juga heroisme militer dan Soeharto yang kemudian muncul dan membuat keduanya diuntungkan secara politik.
Wajar jika menjadikan film sebagai media kampanye karena film adalah bentuk seni yang populer serta merupakan medium alami untuk membangun citra politik Share on XJika merujuk pada pemikiran Joseph Goebbels, sang arsitek propaganda Hitler yang telah lama mempercayai sinema tak hanya memiliki fungsi hiburan semata, tetapi juga instrumen yang mampu menggerakkan massa dan berdampak secara politik.
Jika melihat perlombaan rating sekaligus jumlah penonton film Ahok dan Hanum ini, apa sebenarnya pesan politik yang coba disampaikan kepada publik? Mungkinkah agenda political branding menjadi sesuatu yang tak terelakkan dari mengudaranya Hanum dan Rangga?
Hanum & Rangga, Keuntungan Politik PAN
Dalam konteks film Hanum dan Rangga, upaya propaganda melalui film nampaknya memang menjadi ikhtiar political branding sosok Hanum Salsabiela Rais. Betapa tidak, tahun depan, putri Ketua Dewan Kehormatan PAN ini akan memperebutkan kursi DPRD Yogyakarta. Terlebih, ketiga saudaranya yang lain juga menjadi calon legislatif yang diusung oleh PAN.
Selain itu, jika melihat instruksi DPP PAN menyoal nonton bareng film Hanum dan Rangga, nampaknya bukan hanya Hanum yang berharap popularitas dari film ini. PAN sepertinya juga berharap kecipratan popularitas dan dampak signifikan secara politik.
Tentu argumen tersebut bukan tanpa alasan. Jika merujuk pada posisi PAN sebagai partai yang berkaitan erat dengan tokoh pendirinya yaitu Amien Rais, tentu upaya tersebut menjadi hal yang wajar.
Seperti yang telah banyak diberitakan media mainstream, instruksi kepada kader PAN itu muncul dari Sekjen Eddy Soeparno dan Wakil Ketua Umum Viva Yoya Mauladi melalui surat bernomor PAN/WKU-SJ/172/XI/2018.
Setelah keliling Pasar Anyar, agenda berlanjut dengan Nobar Film Hanum & Rangga bersama konstituen di Bogor.
Ini merupakan bagian dari rangkaian Nobar yang digelar kader PAN dari Pulau Sumatera, Jawa dan Sulawesi. Seru pastinya, emak-emak kalau diajak nonton ya pasti terdePAN. pic.twitter.com/eJsKtzMqSe
— M Eddy Soeparno (@eddy_soeparno) November 9, 2018
Di surat itu disebutkan dengan terang alasan pengerahan kader menonton film itu. Dengan adanya kalimat “Karya dari putri saudaraku M. Amien Rais (Ketua Dewan Kehormatan DPP PAN).”
Film ini juga diklaim memberi dampak memperkaya wawasan kebangsaan, sehingga semua kader PAN wajib menjadi koordinator dan memfasilitasi nonton bareng. Setiap koordinator bahkan diinstruksikan untuk memesan satu atau dua studio Bioskop XXI di seluruh Indonesia.
Artinya, bisa jadi terdapat kelindan yang kuat antara posisi Hanum sebagai anak dari Amien Rais sekaligus kader partai berlambang matahari tersebut dan seruan nonton bareng yang di instruksikan PAN.
Selain instruksi pada kader, lembaga pendidikan pun tak lepas dari bidikan marketing. Adalah Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) yang melalui rektornya juga mengerahkan mahasiswa dan pegawai kampusnya untuk menonton film ini.
Seruan ini bermula dari surat yang dikirimkan Hanum Rais kepada Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Sofyan Anif pada 24 Oktober 2018 yang lalu.
Sebenarnya, seperti diansir The Huffington Post, di negara demokrasi seperti Amerika Serikat, adalah hal yang wajar jika menjadikan film sebagai media kampanye karena film adalah bentuk seni yang populer serta merupakan medium alami untuk membangun citra politik.
Namun, jika bertanya seberapa efektif dampak dari politik film di Indonesia, setidaknya ada tiga hal yang harus menjadi perhatian sineas maupun politisi ketika ingin menjadikan film sebagai alat politik.
Soe Hok Gie difilmkan, lama setelah ia pergi.
Begitulah tokoh.— Rocky Gerung (@rockygerung) November 13, 2018
Pertama, selama ini, bisokop masih menjadi panggung eksklusif bagi masyarakat Indonesia di mana kemegahan layar perak ini hanya bisa dinikmati oleh segelintir masyarakat saja, utamanya yang tinggal di perkotaan. Selain itu, terkadang tiket bioskop yang mahal menjadi pertimbangan ekonomi tersendiri bagi masyarakat.
Kedua, tentu kreativitas penyampaian pesan dalam film juga menjadi pertaruhan di mana impresi penonton juga pasti akan bergantung pada kualitas film yang dibuat.
Yang ketiga, propaganda melalui film di Indonesia, terlepas filmnya berkualitas atau tidak, hanya akan berhasil melalui adanya kekuatan yang memaksa atau koersif. Hal ini terkait dengan langkah pemerintah Orde Baru yang melakukan banyak cara agar film G 30S/PKI dapat ditonton oleh banyak orang.
Jika menyebut bahwa film Hanum dan Rangga memiliki agenda pesan politik sepertinya memang benar. Namun, pesan yang dimaksud boleh jadi bukanlah propaganda sebesar yang terjadi pada film G 30 S/PKI. Meski begitu, sulit untuk tidak melihat adanya pesan dari film ini yang sesuai dengan agenda politik PAN. Hal ini sejalan dengan pendapat Combs bahwa film dapat menjadi alat organisasi politik untuk mengakomodasi agenda politik mereka.
Pertanyaan sebenarnya adalah, seefektif apa film Hanum dan Rangga untuk mendongkrak PAN dalam perolehan suara di Pemilu 2019 nanti. Sebuah pertanyaan yang perlu dibuktikan baik di kursi bioskop maupun di bilik suara. (M39)