Site icon PinterPolitik.com

PAN, Partai Akan NU?

PAN, Partai Akan NU?

Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf memberikan pidato di acara Satu Abad Nahdlatul Ulama yang digelar PAN (Foto: iNews Jatim)

Dalam pidatonya di acara Satu Abad Nahdlatul Ulama (NU) yang diselenggarakan Partai Amanat Nasional (PAN), Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf menegaskan bahwa warga NU tidak haram untuk mencoblos PAN. Apakah ini menunjukkan basis massa PAN berpindah dari Muhammadiyah ke NU?


PinterPolitik.com.

“The nature of war is constant change.” – Sun Tzu

Manuver Partai Amanat Nasional (PAN) untuk mendekati Nahdlatul Ulama (NU) sudah tercium lama. Ketua Umum PAN Zulifli Hasan (Zulhas) secara berkala mengunjungi pondok pesantren dan kiai-kiai NU di Jawa Tengah (Jateng) dan Jawa Timur (Jatim). Ketua DPW PAN Jatim Ahmad Rizki Sadig bahkan mengeluarkan tagline “Jawa Timur Basis PAN”.

Manuver lama ini sepertinya mulai terbayar. Ramah tamah PAN ke NU sepertinya berbuah penyambutan. Dalam acara Satu Abad NU yang digelar PAN pada 18 Februari 2023, Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) terlihat memberi dukungan implisit kepada PAN.

“Saya sebagai Ketua Umum PBNU, ya harus katakan bahwa warga NU tidak haram mencoblos PAN. Walaupun tetap saja lah PAN itu tetap menjadi Partai Amanat Nasional dan tidak harus berubah menjadi Partai Akan NU,” ungkap Gus Yahya.

Lantas, apakah pernyataan Gus Yahya menjadi tanda bahwa basis massa PAN berpindah dari Muhammadiyah ke NU?

Pemenangan adalah Adaptasi

Secara cepat, berbagai pihak mungkin akan mengatakan “iya”. Setidaknya ada dua alasan di balik jawaban itu.

Pertama, NU merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia. Pada 25 Oktober 2022, Gus Yahya menyebut jumlah warga NU atau mereka yang mengaku NU separuhnya Muslim di Indonesia. Dengan jumlah penduduk Muslim sebesar 231,06 juta, maka warga NU kira-kira berjumlah 115,53 juta. Ini jelas merupakan angka fantastis.

Bertolak pada sistem one person one vote (satu orang satu suara), NU merupakan simpul suara yang sangat seksi dan wajib didekati.

Kedua, ada kalkulasi bahwa Muhammadiyah yang merupakan basis massa PAN berpindah ke Partai Ummat mengikuti Amien Rais. Seperti yang telah diulas dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Apakah Muhammadiyah Kunci Suara PAN?, PAN tampaknya menyadari bahwa basis suara Muhammadiyah tidak cukup untuk memenangkan pemilu.

Berbagai pihak kemudian melihatnya sebagai jawaban, kenapa PAN mendekati simpul-simpul suara NU, khususnya di Jatim.

Namun, sayangnya, dua alasan itu dapat dibantah secara meyakinkan. Penekanannya dapat diambil dari pernyataan Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) dalam acara Satu Abad NU yang digelar PAN.

“Tadi Mas Najib (Profesor Ahmad Najib Burhani) agak baper karena sekarang PAN kok mendekat ke NU. Memang kalau di Jawa Timur harus begitu Mas Najib. Kalau di Jawa Timur ya PAN adalah Partai Anak Nahdliyin. Kalau di tempat lain Wallahualam. Kalau di Jawa Timur ya harus begitu,” ungkap Gus Ulil.

Apa yang dilakukan PAN sebenarnya bukan berpindah basis massa, melainkan merupakan bagian dari strategi pemenangan yang adaptif. Seperti pernyataan Gus Ulil, dengan Jatim merupakan konsentrasi massa NU, alamiahnya partai politik akan mendekat ke NU di Jatim.

Francis Fukuyama dalam bukunya The Origin of Political Order: From Prehuman Times to the French Revolution, memberi penjabaran menarik. Tidak seperti literatur politik lainnya, Fukuyama membaca politik menggunakan studi biologi evolusioner.

Membahas politik tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa manusia adalah aktor biologis. Sekelumit kebiasaannya (behavior) merupakan proses adaptasi terhadap lingkungan yang terus berubah, khususnya tantangan. Pun demikian pada konteks organisasi seperti partai politik.

James N. Rosenau dalam penelitiannya Foreign Policy as Adaptive Behavior: Some Preliminary Notes for a Theoretical Model, menyebut, sama seperti manusia, organisasi juga beradaptasi dengan perubahan di lingkungannya.

Aktor-aktor biologis yang menjalankan partai politik akan bersifat adaptif dengan merumuskan strategi pemenangan untuk menjawab tantangan yang ada. Selain untuk bertahan hidup, adaptasi ini juga untuk meningkatkan kesejahteraan hidup.

Pada konteks PAN, dengan tantangan untuk lolos ke Parlemen, mereka tentu harus bersikap adaptif alias menyesuaikan langkahnya dengan karakter pemilih di setiap daerah. Kembali mengutip Gus Ulil, dengan Jatim merupakan konsentrasi massa NU, dorongan hasrat bertahan hidup (survival) akan membuat setiap aktor politik dan partai politik untuk mendekat ke NU.

Konteks ini persis seperti adagium, “semut pasti mendekati gula”. NU di Jatim adalah gula. Karena jumlahnya banyak dan rasanya begitu manis, semut-semut politik pasti akan mendekat dengan sendirinya.

Bukan Salah Satu, Tapi Keduanya

Selain menguak pemenangan kampanye sebagai strategi adaptif, persoalan lain yang perlu diungkit adalah dilema palsu (false dilemma). Sedikit intermeso, dilema palsu adalah kesesatan bernalar (fallacy) ketika diyakini hanya terdapat dua pilihan, padahal terdapat pilihan alternatif atau pilihan ketiga di luar sana.

Melihat pembahasan umum, seolah ada asumsi atau pemikiran bahwa PAN harus memilih antara Muhammadiyah atau NU. Ini tentu bertolak dari fakta sejarah dan relasi panjang PAN dengan Muhammadiyah.

Pertanyaannya begini, bagaimana jika tidak harus memilih salah satu? Alih-alih harus memilih antara Muhammadiyah atau NU, bagaimana jika keduanya?

Meskipun PAN diidentikkan dengan Muhammadiyah, itu tidak membuatnya tidak dapat dekat dengan identitas lain seperti NU.

Poin ini juga disampaikan Zulhas dalam pidatonya di acara Satu Abad NU yang digelar PAN. Sudah lama Menteri Perdagangan (Mendag) itu ingin mendudukkan bersama NU dan Muhamamdiyah. Keduanya adalah orang tua bangsa yang memiliki sejarah dan jasa yang besar.

Lalu, kenapa terdapat asumsi umum yang terjebak pada dilema palsu tersebut?

Nassim Nicholas Taleb dalam bukunya The Black Swan: The Impact of the Highly Improbable, memaparkan fenomena menarik soal bagaimana kebanyakan dari kita memilah informasi yang kita anggap relevan. Taleb menyebutnya dengan “yang relevan adalah yang sensasional”.

Dalam berbagai kasus, khususnya kehidupan sehari-hari, kita tidak memilah “informasi yang relevan” seperti pendekatan ilmiah yang rigid, melainkan mengandalkan selera. Terlebih lagi, dengan banjirnya informasi di era digital, ini membuat banyak dari kita hanya memilih informasi-informasi yang sensasional.

Konteks ini persis seperti penjelasan Daniel Kahneman dalam buku Thinking, Fast and Slow. Dalam kehidupan sehari-hari, alamiahnya kita menggunakan System 1 yang bersifat instingtif, daripada System 2 yang merupakan proses berpikir mendalam.

Banyak dari kita sepertinya menyukai informasi-informasi sensasional seperti “PAN mendekati NU” atau “PAN berpindah haluan basis massa dari Muhammadiyah ke NU”. Padahal, jika melihatnya secara holistik, ini hanyalah strategi pemenangan yang memang seharusnya dilakukan.

Well, sebagai penutup kita dapat membuat satu kesimpulan yang meyakinkan. PAN bukan sedang mendekat ke NU atau mengganti basis massa, melainkan kebetulan mayoritas pemilih di Jatim adalah warga NU. Seperti kata Gus Yahya, PAN tidak harus menjadi “Partai Akan NU”. (R53)

Exit mobile version