Walau kerap terlihat merapat ke barisan oposisi, namun PAN mengaku masih belum dapat menentukan siapa capres yang akan diusungnya di Pilpres nanti.
PinterPolitik.com
“Kita selalu berbicara soal prinsip, tapi berperilaku sesuai kepentingan.” ~ Walter Savage Landor
[dropcap]K[/dropcap]etika Joko Widodo sudah mulai membicarakan program kerja yang akan ditawarkan saat kampanye Pemilihan Presiden tahun depan, dengan partai politik pendukungnya. Prabowo Subianto masih dipusingkan dengan sikap parpol pendukungnya yang tetap bersikeras dengan keinginannya masing-masing.
Setelah mendapat dukungan dari Demokrat, jumlah suara yang dibutuhkan Gerindra untuk mengusung Prabowo sebagai calon presiden memang sudah lebih dari cukup. Sehingga mau tak mau, kehadiran partai biru tersebut mengubah posisi tawar yang dimiliki oleh PKS dan PAN dalam koalisi oposisi.
Sebelumnya, PAN yang memiliki jumlah suara parlemen lebih banyak dari PKS memiliki harapan yang lebih besar untuk mendapatkan kursi calon wakil presiden Prabowo, walau PKS menganggap posisi tersebut lebih pantas diberikan ke partainya. Apalagi pada Pilpres 2014 lalu, Hatta Rajasa pun berasal dari PAN.
Namun dengan masuknya Demokrat, harapan Zulkifli Hasan sebagai ketua umum PAN, dalam mendapatkan kursi cawapres pun jadi menipis. Begitu juga dengan PKS, hanya bedanya, PAN saat ini secara de jure sebenarnya masih berada di Koalisi Pemerintah yang seharusnya masih tetap mendukung kekuasaan Jokowi hingga 2019 nanti.
Sy optimis bhw PAN dan PKS jg akan bergabung bersama Partai Gerindra dan Partai Demokrat sbg koalisi. Sebab, ke empat partai ini, sy yakini memiliki pandangan yg sama terhadap persoalan di masyarakat. @ILC_tvOnenews pic.twitter.com/wDk3UoJRyi
— Fadli Zon (@fadlizon) July 31, 2018
Hanya saja, walaupun salah satu kader PAN telah mendapatkan kursi di Kabinet Kerja Jokowi, namun secara de facto, sikap PAN lebih condong sebagai oposisi dibanding anggota koalisi. Sikap PAN yang kerap berseberangan dengan Pemerintah, tapi menerima jatah menteri inilah yang sempat dituding Ali Mochtar Ngabalin sebagai pengkhianat.
Posisi mendua PAN, sebenarnya tak lepas dari keberadaan Amien Rais, ketua dewan kehormatan yang juga pendiri PAN. Sikap PAN yang lebih condong ke Prabowo dan sering berkumpul dengan oposisi, pada akhirnya juga membuat partai berbasis Muhammadiyah ini kerap diabaikan saat parpol pendukung Jokowi berkumpul.
Padahal, Zulkifli sendiri secara tegas mengatakan kalau PAN belum secara resmi mendukung Prabowo. Disinyalir, sikap PAN yang terkesan masih bimbang ini, merupakan manuver Zulkifli yang tak hanya cukup dekat dengan Jokowi, tapi juga berharap ikut dipertimbangkan sebagai cawapresnya.
Harapan besar Zulkifli ini pula yang bisa jadi merupakan ganjalan utama bagi PAN untuk segera mengumumkan dukungannya pada Prabowo. Apalagi saat ini, posisi tawar PAN di koalisi oposisi pun semakin sulit, mengingat langkah Prabowo seperti telah ‘dikunci’ oleh PKS dan juga belakangan oleh Demokrat. Lalu kemana PAN akan berlabuh?
Tarik Menarik Kepentingan Internal
“Orang yang hanya berpikir bagi kepentingan perutnya saja, harga dirinya akan serupa dengan apa yang keluar dari isi perutnya.” ~ Ali Bin Abi Thalib
Sepupu yang juga menantu Nabi Muhammad SAW, Ali Bin Abi Thalib, bagi kaum Muslimin namanya akan selalu dimuliakan. Tak hanya karena masih sedarah dengan Rasullulah, tapi juga berkat jasa-jasanya dalam mendukung dan memajukan Islam. Sehingga, pesan yang diwasiatkan beliau di atas pun harus dijalankan dengan sebaiknya.
Sayangnya walaupun PAN selalu diidentikkan dengan partai yang Islami, tapi seperti juga politikus lainnya, lebih suka mendahulukan kepentingannya sendiri, dibanding bangsa dan negara. Sikap ini terlihat dari bagaimana Amien Rais kerap mementingkan syahwat kebencian pribadinya, meski risikonya dapat menyebabkan perpecahan di masyarakat.
Amien yang juga merupakan Ketua Dewan Pembina Persaudaraan Alumni 212, dikenal sangat rajin menyerang Jokowi. Terutama menjelang kontestasi politik, seperti di Pilkada 2017 dan 2018 lalu. Sikap Amien yang begitu anti-Jokowi ini, mau tak mau berimbas pada posisi PAN yang di bawah kendali Zulkifli memilih bergabung ke Pemerintah.
Sementara sebagai ketua umum, Zulkifli sepertinya lebih suka bersikap pragmatis dengan membawa partainya ke kubu Jokowi demi mendapatkan jatah ‘logistik’ dari Pemerintah. Buktinya, setelah bergabung PAN berhasil mendapatkan satu kursi menteri. Meski begitu, Zulkifli tak dapat memerintahkan Amien untuk berhenti menentang Jokowi.
Posisi Zulkifli ini, bila merujuk pada teori dominasi sosial yang dikemas oleh Felicia Pratto, Jim Sidanius, dan Shana Levin, dalam buku Social Dominance Theory and The Dynamics of Intergroup Relation, merupakan sikap dominasi Amien terhadap kepengurusan partainya yang selalu ia anggap sebagai bawahan atau sub-ordinat semata.
Sebagai pendiri partai, Amien sepertinya tidak mempedulikan struktur hirarki kepengurusan PAN. Oleh karena itu, ia akan bisa berbuat ‘seenaknya’ tanpa seizin Zulkifli yang tak lain juga merupakan besan keluarganya. Akibatnya, dalam tubuh PAN sebenarnya tengah terjadi tarik menarik kepentingan elit partai.
Akibat adanya kekuasaan di luar struktur tersebut, bisa saja di dalam PAN sebenarnya tengah terjadi konflik terselubung antara kepentingan Zulkifli sebagai nakhoda partai, dengan Amien sebagai “pemilik” partai. Akibatnya, perbedaan kepentingan elit partai ini pun membuat proses penentuan koalisi menjadi terhambat.
Fakta adanya konflik terselubung ini, diakui sendiri oleh Wakil Ketua Umum PAN, Bara Hasibuan yang mengatakan kalau PAN masih sulit menentukan dukungan karena masih ada perdebatan mengenai apakah antara mendukung Prabowo atau Jokowi. Meski Amien legowo tak mendapat kursi cawapres dari koalisi oposisi, tapi tidak begitu bagi Zulkifli.
Terjebak Posisi “No Man’s Land”
“Setiap orang ingin makan di meja pemerintahan, tapi tak seorang pun yang ingin mencuci piringnya.” ~ Werner Finck
Perkataan komedian asal Jerman di atas, sepertinya sangat menggambarkan posisi PAN. Pada Pilpres 2014 lalu, PAN tidak bergabung di koalisi Jokowi. Namun ketika Jokowi berkuasa, PAN mendekat dan dengan santainya mendapatkan “kue” kekuasaan tanpa ikut membantu membela Pemerintahan. Sebaliknya, malah menjelek-jelekkan Jokowi.
Sikap PAN yang seakan tak mau rugi ini, memang pada akhirnya tak lepas dari keputusan para elit politiknya. Sistem demokrasi elitis yang menurut Joseph Schumpeter lebih mengutamakan pengambilan keputusan melalui elit atau pemimpinnya, memang sangat mampu menciptakan ketidakselarasan di dalam tubuh partai.
Tapi bagaimana kalau yang tidak selaras adalah para pemimpinnya sendiri? Baik Amien maupun Zulkifli, sama-sama memiliki kekuasaan untuk menentukan arah dukungan partai. Bila Amien lebih menekankan pada ideologi, Zulkifli lebih memikirkan cara bertahan partai bila berada di luar kekuasaan. Dua hal yang sama-sama penting.
Akibatnya, PAN pun mengalami kebuntuan dalam menentukan sikap dan tetap bertahan di posisi mendua, yaitu tetap berada di pemerintahan tapi juga merapat ke oposisi. Posisi PAN yang berada di antara dua kekuatan yang berseberangan ini, merujuk perkataan pecatur Rusia Vladimir Kramnik, merupakan posisi no man’s land.
Istilah yang kerap digunakan dalam permainan catur, tapi pertama kali digunakan pada Perang Dunia I ini, awalnya diartikan sebagai posisi kosong di antara dua pilihan yang bertolak belakang. Sedang pada kasus PAN, partai yang berdiri paska reformasi ini tengah terjepit di antara dua pilihan yang saling berseberangan.
Menurut Kramnik, posisi ini umumnya juga digunakan apabila pemain tengah merasa ragu atau takut akibat situasi yang tidak pasti. Dalam perang, posisi no man’s land kerap dilakukan ketika tengah terjadi perebutan kepentingan, atau akibat tidak merasa memiliki tempat di masing-masing wilayah yang berseberangan tersebut.
Terkait sikap PAN yang masih berada di no man’s land ini, bila disimpulkan kalau Zulkifli kemungkinan besar takut salah langkah atau merasa tidak memiliki posisi tawar yang menguntungkan di kedua kubu. Terlebih dengan masuknya Demokrat ke kubu Prabowo, bisa dipastikan ambisi Zulkifli untuk dipinang Prabowo semakin kecil.
Sementara di kubu pendukung Jokowi, citra PAN sudah terlanjur buruk. Padahal bila dilihat dari prediksi kemenangannya, lebih besar dibanding oposisi. Nah, sekarang pilihannya tinggal apakah PAN akan mendukung sikap ideologi pendirinya, atau berharap pada kubu yang cenderung lebih besar meraih kekuasaan?
Seperti kata Sastrawan asal Inggris di awal tulisan, banyak orang bicara tentang prinsip tapi kelakuannya disesuaikan dengan kepentingan. (R24)