HomeNalar PolitikPAN-Bima Arya, Kuda Hitam di 2024?

PAN-Bima Arya, Kuda Hitam di 2024?

Partai Amanat Nasional (PAN) baru saja memproyeksikan semacam strategi untuk menyongsong kontestasi elektoral potensial seperti Pilkada DKI Jakarta dan Jawa Barat mendatang dengan memunculkan sejumlah nama seperti Bima Arya, hingga Pasha “Ungu”. Lantas, apakah proyeksi itu merupakan batu loncatan menuju klimaks kompetisi level nasional di 2024?


PinterPolitik.com

Geliat partai politik (parpol) di tanah air untuk merumuskan strategi paling jitunya menuju Pemilu dan Pilpres 2024 tampaknya kian jamak terlihat belakangan ini. Terlihat misalnya dari safari Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar Airlangga Hartarto yang disebut telah menemui tiga pimpinan parpol, yakni Ketum Partai Nasdem Surya Paloh, Ketum PPP Suharso Monoarfa, serta Ketum PartaiGerindra Prabowo Subianto.

Meskipun elite partai beringin berulang kali mengklaim tak ada pembicaraan khusus mengenai kontestasi elektoral 2024, hal itu tak lantas menutup berbagai terjemahan yang kadung mengarah pada konteks tersebut.

Tak dapat dipungkiri memang, bertebarannya berbagai hasil survei di awal tahun ini, mulai dari elektabilitas kandidat presiden, elektabilitas parpol, hingga kinerja menteri, membuat gerak gerik sejumlah parpol seketika diinterpretasikan menjurus pada proyeksi pesta demokrasi tiga tahun mendatang.

Meski tampak masih cukup lama, sesungguhnya persiapan dan konsolidasi politik lumrah untuk terjadi dan dilakukan oleh para parpol, bahkan jika telah berlangsung sejak saat ini.

Hasanudin Ali dari Alvara Research Center dalam Jokowi forms broad Indonesia coalition, bringing in rival Prabowo, menyebutkan bahwa sebelum kompetisi politik 2024, kemungkinan besar memang partai-partai koalisi akan berkepentingan untuk mengampanyekan agenda mereka sendiri.

Namun tak hanya parpol koalisi seperti Golkar atau Nasdem dengan agenda konvensinya di tahun 2022, Partai Amanat Nasional (PAN) pun agaknya tak ingin ketinggalan melakukan manuver dan memproyeksikan sejak dini langkah politiknya.

Baca juga: Amien Rais Jatuh, PAN Waspada?

Berbeda dengan interpretasi terhadap Golkar yang dinilai berbicara soal kompetisi 2024, PAN sendiri mengambil ancang-ancang khususnya untuk kontestasi yang lebih spesifik namun cukup “seksi”, yakni Pilkada DKI Jakarta dan Jawa Barat mendatang.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) PAN, Eddy Soeparno mengatakan bahwa partainya memiliki segudang kader andalan yang akan dipersiapkan untuk bertarung dalam sejumlah pemilihan Gubernur, diantaranya di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.

Menarik ketika berbicara konteks DKI Jakarta dan Jawa Barat di mana nama-nama kader PAN boleh jadi cukup dapat bersaing. Nama Wali Kota Bogor Bima Arya misalnya, dinilai cocok ditempatkan di Pilkada DKI jika memang Pilkada berlangsung di tahun 2024.

Sementara untuk Pilkada Jawa Barat, PAN juga disebut menyiapkan amunisi berupa nama tenar seperti Desy Ratnasari yang disebut sebagai tokoh Jawa Barat. Selain itu di tanah pasundan, ada juga opsi Ketua DPW PAN DKI Jakarta Eko Patrio, hingga nama Sigit Purnomo Syamsuddin Said a.k.a Pasha “Ungu” yang punya rekam jejak memimpin Kota Palu.

Lantas pertanyaannya, mengapa PAN mengambil “ancang-ancang” semacam itu sejak saat ini?

Baca juga :  Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Momen Tepat Unjuk Kekuatan?

Sikap dan ancang-ancang yang dilakukan PAN dengan memunculkan sejumlah nama tampak memang cukup beralasan. Mengingat ama-nama yang dimunculkan ke permukaan itu kini tengah memiliki popularitas dan telah memiliki pengalaman politik yang cukup.

Selain itu, PAN juga seolah tengah berupaya memperlihatkan kekuatan tersembunyi yang dimilikinya kini, terutama berbekal nama-nama tenar. Dalam Celebrity Politicians: Popular Culture and Political Representation, John Street mengemukakan istilah celebrity politician atau politisi selebriti yang kian marak dan menjadi sebuah kekuatan politik tersendiri.

Dalam hal ini PAN seolah tengah menunjukkan bahwa mereka saat ini tengah diperkuat oleh kader dengan kaliber yang dikemukakan oleh Street. Dalam jurnalnya itu, Street menyebutkan bahwa terdapat dua varian utama dari fenomena celebrity politician.

Pertama, politisi atau kandidat terpilih yang menggunakan elemen “celebrityhood” yang punya reputasi dan popularitas sebelumnya dan telah memiliki derajat mereka sendiri dalam mewakili suatu kelompok masyarakat tertentu. Karakteristik ini erat dengan kriteria sosok Bima Arya yang menjadi pemimpin daerah cukup prominen, baik di media konvensional maupun media sosial.

Baca juga: Tanpa Amien Rais, Kuatkah PAN?

Kedua, adalah aktor selebriti — yang benar-benar merupakan bintang budaya populer atau artis— di mana memiliki modal dan menggunakan popularitas mereka untuk tujuan politik maupun elektoral. Yang mana karakteristik ini erat dengan nama tenar di PAN seperti Desy Ratnasari, Eko Patrio, maupun Pasha.

Dari sisi momentum sendiri agaknya cukup tepat untuk PAN ketika nama-nama yang diajukan itu sudah ditempa dan melalui proses konkret sejumlah jabatan politik seperti wali kota, wakil wali kota, hingga anggota parlemen. Ditambah dengan predikat cukup baik tanpa banyak diiringi tendensi minor seperti kontroversi yang berlebihan ataupun kasus korupsi.

Kecenderungan yang cukup positif itu juga pernah diperlihatkan ketika menengok celebrity politician di kancah politik Amerika Serikat (AS), terdapat nama Arnold Schwarzenegger. Pemeran franchise film Terminator itu sempat menjabat sebagai penasihat bagi presiden dan Gubernur California, sebelum berhasil naik ke tampuk Gubernur negara bagian yang sama di tahun 2003.

Lalu, apakah proyeksi sejumlah nama dan ancang-ancang yang cukup positif itu hanya sebatas tujuan politik PAN di level daerah saja?

DKI Jakarta adalah Kunci?

Sebagai parpol yang lahir di era transisi reformasi, PAN menjadi partai yang kerap mengalami pasang surut baik, dari sisi internal partai maupun dari sisi suara di pemilu legislatif.

Dalam Parties and Factions in Indonesia, Ulla Fionna dan Dirk Tomsa menyebut PAN di awal pembentukannya menjadi partai yang mengandalkan aktor reformis-Islamis seperti Amien Rais serta didukung oleh organisasi massa Islam, yakni Muhammadiyah.

Namun lambat laun, haluan partai sedikit bergeser menjadi lebih terbuka ketika pucuk pimpinan partai bergeser kepada Soetrisno Bachir, Hatta Rajasa, hingga Zulkifli Hasan saat ini.

Baca juga :  Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Baca juga: Amien Rais Tiru Ambisi Mahathir?

Dirk Tomsa dalam tulisannya yang berjudul Party Politics and Democratization in Indonesia menyebut, terdapat perseteruan sengit yang terjadi di internal PAN antara pihak yang memiliki orientasi yang lebih pluralistik dan pihak yang lebih cenderung pada identitas Islam yang lugas, di mana pada akhirnya kubu pluralistik – yang mendamaikan cita-cita agama dan oportunisme politik – keluar sebagai pemenang.

Bahkan saat PAN seolah mengalami krisis laten parpol di Indonesia, yakni minimnya kader prominen dan punya elektabilitas. Strategi menciptakan politisi selebriti kemudian digalakkan di era kepemimpinan Zulhas, sebagai sebuah investasi politik yang kini mulai terlihat hasilnya dari signifikansi ancang-ancang yang telah dijelaskan sebelumnya.

Sayangnya, bergabungnya para artis secara masif itu, kurang efektif untuk mengerek suara PAN untuk bersaing di level nasional. Bahkan, PAN hanya menduduki posisi ke delapan di Pileg 2019, peringkat terburuk sejak Pemilu 1999.

Apalagi belakangan, meski cenderung ke pemerintah, PAN seolah tanpa arah di kancah politik dan pemerintahan tanah air. Selain karena tidak dirangkul ke dalam kabinet, kemungkinan juga dikarenakan suaranya yang mungkin dinilai kurang signifikan.

Akan tetapi, jika memang berhasil mengusung nama-nama kadernya seperti yang telah diproyeksikan, popularitas PAN berpotensi meningkat dan bisa saja dapat sangat menguntungkan di Pileg 2024 dan koalisi Pilpres 2024.

Terlebih jika menengok potensi Bima Arya di Pilkada DKI Jakarta yang tampak sangat menarik dan cukup potensial. Bahkan Eddy pun mengatakan bahwa Bima merupakan kader terbaik PAN saat ini dengan kinerja dan sejumlah prestasinya.

Di kontestasi elektoral Jakarta tahun 2019 sendiri, PAN berhasil menorehkan prestasi saat berhasil meraih sembilan kursi di DPRD, naik drastis dari pemilu 2014 yang hanya meraih dua kursi.

Artinya, memang terdapat momentum tepat ketika memproyeksikan sang Wali Kota Bogor di Jakarta dengan signifikansi problematika yang hampir serupa, plus perolehan suara dengan segmen tertentu di Ibu Kota yang mana PAN tampak sedang jumawa.

Tendensi Jakarta-sentris pun tak dapat dielakkan sebagai wilayah strategis secara politik bagi pihak manapun yang memiliki potensi. Sosok Bima Arya juga dapat menjadi kunci bagi PAN untuk berkoalisi dengan parpol besar di kontestasi elektoral DKI Jakarta, plus sebagai batu loncatan dan penjajakan koalisi baru di level nasional yang bisa saja membuat daya tawar partai besutan Zulkifli Hasan itu meningkat.

Namun di atas semua itu, manuver apa pun dari berbagai parpol saat ini dalam menyongsong pesta demokrasi berikutnya, diharapkan tetap tak membuat para kadernya yang tengah mengampu jabatan hasil amanat rakyat menjadi abai dalam menjalankan tugasnya. (J61)

Baca juga: Pandemi Kuak Kegagalan Otonomi Daerah?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?