Site icon PinterPolitik.com

Pamer Prestasi, Manuver Preemptive Anies?

Pamer Prestasi, Manuver Preemptive Anies?

Gubernur DKI Jakarta saat menjajal bus TransJakarta (Foto: Tribunews)

Di hadapan Presiden Jokowi, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memamerkan prestasinya yang berhasil membuat Ibu Kota keluar dari daftar 10 besar kota termacet dunia. Apa yang bisa dimaknai dari langkah teranyar Anies ini?


PinterPolitik.com

Tak dapat dipungkiri, sudah sejak lama kemacetan merupakan persoalan yang selalu menjadi fokus para Gubernur DKI Jakarta. Maklum, derasnya arus urbanisasi ke Ibu Kota memang membuat wilayah dengan status daerah khusus tersebut langganan menempati urutan teratas daftar kota termacet di dunia. 

Namun kabar gembira baru-baru ini disampaikan oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.  Saat memberikan sambutan di puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2021, Anies menyebut Jakarta akhirnya berhasil keluar dari daftar 10 kota termacet dunia. 

Eks Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu merujuk pada survei versi TomTom Traffic Index. Dari 416 kota yang diukur pada 2020, DKI Jakarta berada pada peringkat 31. 

Tentu saja pernyataan Anies ini tak disambut baik oleh semua pihak. Lawan-lawan politik Anies dengan cepat menyanggah klaim keberhasilan tersebut. 

Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PDIP Rahmat Handoyo misalnya. Ia menilai wajar saja tingkat kemacetan di DKI Jakarta menurun dikarenakan situasi pandemi Covid-19 yang memaksa mobilitas masyarakat menjadi terbatas.

Terlepas dari segala kontroversi yang ada, yang menjadi menarik untuk didalami adalah momentum Anies ketika menyampaikan prestasinya itu. 

Ia memilih forum peringatan HPN yang digelar di Istana Negara dan dihadiri langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan sejumlah pucuk pimpinan lembaga-lembaga negara. Apalagi informasi mengenai membaiknya tingkat kemacetan Jakarta bukan lah kabar baru karena telah menjadi bahan pemberitaan media-media nasional sejak berminggu-minggu lalu. 

Menyikapi hal ini, apa kira-kira tujuan Anies mengamplifikasikan kembali kabar tersebut di forum yang dihadiri pejabat-pejabat penting pemerintahan? Strategi apa yang tengah dimainkan Anies?

Politik Kemacetan

Beberapa hari sebelum memamerkan prestasinya yang dianggap berhasil memperbaiki tingkat kemacetan di Ibu Kota, Anies juga dikabarkan menjadi salah satu dari 21 Pahlawan Transportasi Dunia versi Transformative Urban Mobility Initiative (TUMI). Posisi Anies bahkan disejajarkan dengan CEO Tesla, Elon Musk. 

Sebelum itu, pada November 2020 Anies, lewat akun Twitter pribadinya juga menyampaikan bahwa Jakarta meraih penghargaan Sustainable Transport Award 2021 dari The Institute for Transportation & Development Policy (ITDP) yang berbasis di New York, Amerika Serikat (AS). 

Penghargaan tersebut bisa dibilang sangat bergengsi dikarenakan DKI Jakarta mampu menyingkirkan kandidat lain dari kota-kota negara maju lainnya. Bahkan DKI Jakarta dinobatkan menjadi kota pertama di Asia Tenggara yang memenangkan penghargaan itu.

Tak dapat dipungkiri, dalam konteks politik, kebijakan terkait mobilitas dan transportasi, terutama yang berkaitan dengan kemacetan, memang punya signifikansinya sendiri. Sektor ini dianggap menjadi salah satu kebijakan yang punya nilai popularitas politik yang cukup tinggi. 

Brian D. Taylor dalam tulisannya yang berjudul The Politics of Congestion Mitigation mengatakan bahwa kebijakan mengenai pengentasan kemacetan merupakan produk dari proses politik yang bertujuan untuk mencapai keberhasilan nyata agar dapat benar-benar dilihat serta dirasakan langsung oleh masyarakat. Namun begitu, Ia ragu kebijakan-kebijakan tersebut benar-benar dapat mengatasi persoalan kemacetan itu sendiri atau tidak. 

Keraguan Taylor tersebut agaknya telah terbukti di Bangkok, Thailand. Meski telah memiliki jaringan Mass Rapid Transit (MRT) sejak dekade 2000-an, namun hal tersebut nyatanya belum berhasil mengentaskan persoalan kemacetan di kota tersebut. 

Jaringan MRT di Bangkok mengular sepanjang 43 kilometer dan terintegrasi dengan 35 stasiun kereta layang. Setiap hari MRT di Bangkok mengangkut 287 ribu orang. Namun penggunaan kendaraan pribadi di kota itu tetap tinggi. Setiap hari sedikitnya ada 1.000 mobil terjual di Bangkok.

Indikasi serupa juga sepertinya terjadi di DKI Jakarta. Ini terbukti jika kita mengacu pada data peningkatan pertumbuhan kendaraan di Ibu Kota pada tahun 2019. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta, pertumbuhan kendaraan naik sebesar 0,7 persen atau sebanyak 77.158 kendaraan dari tahun sebelumnya. 

Meski persentasenya tak terlalu besar, namun tetap saja kenaikan ini patut dipertanyakan, sebab di tahun itu pemerintah telah meluncurkan MRT dan Light Rail Transit (LRT). 

Anies Belajar dari Jokowi?

Bicara soal MRT, patut diduga kuat Presiden Jokowi juga sempat memanfaatkan moda transportasi tersebut untuk meningkatkan posisi politiknya. Ini dapat dibaca dari pernyataannya pada Februari 2019 silam ketika tengah berkampanye untuk kembali memenangkan kursi Presiden di Pemilu 2019. 

Saat itu Ia menceritakan bahwa dirinya yang dulu masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta menghadapi dilema ketika harus memutuskan mengeksekusi proyek MRT. Jokowi menyebut, proyek MRT sudah direncanakan di Pemprov DKI selama 26 tahun, tetapi tak kunjung dieksekusi lantaran terlalu lama menghitung untung-ruginya. 

Eks Wali Kota Solo itu kemudian mengaku memutuskan untuk memulai proyek MRT karena mempertimbangkan kerugian akibat kemacetan di Ibu Kota yang mencapai Rp100 triliun setiap tahunnya. Namun begitu, Ia menegaskan bahwa MRT bukan lah sebuah hitung-hitungan untung-rugi, melainkan sebuah keputusan politik yang diambilnya dengan berbagai risiko. 

Tak hanya itu, gelagat bahwa Jokowi memang memanfaatkan MRT untuk mendulang dukungan politik juga terlihat dari manuvernya yang disebut-sebut sudah enam kali berkunjung selama proyek tersebut masih dalam tahap pembangunan. Alhasil, ketika akhirnya diresmikan pada Mei 2019 lalu, sejumlah analis dan pengamat pun menilai hal tersebut turut menaikkan elektabilitas Jokowi kala itu. 

Berkaca dari keberhasilan Jokowi dalam memanfaatkan kebijakan di bidang pengentasan kemacetan untuk keuntungan politik, maka bukan tidak mungkin bahwa Anies kini menggunakan pola yang sama untuk memperkuat posisi politiknya. Momentum berbagai penghargaan dan pengakuan dari lembaga-lembaga internasional, sedikit banyak dapat berkontribusi pada citra politiknya. 

Namun selain di bidang transportasi, Anies baru-baru ini juga kembali membanggakan kinerjanya di bidang penanganan banjir. Ketika mengunjungi kawasan Cipinang Melayu beberapa waktu lalu, Ia menyebut bahwa kawasan itu akhirnya bebas dari genangan setelah sekian tahun menjadi langganan banjir di kala musim penghujan tiba. 

Namun yang jadi pertanyaan, mengapa kemudian manuver membanggakan prestasi ala Anies ini bertubi-tubi dilakukannya dalam waktu yang berdekatan? Apa yang ingin Ia capai dari gelagat tersebut?

Langkah Preemptive Anies?

Manuver-manuver teranyar Anies ini agaknya bisa kita lihat dari kacamata konsep politik preemptive. Michael J. Steudeman dalam Entelechy and Irony in Political Time: The Preemptive Rhetoric menjabarkan konsep politik preemptive sebagai manuver untuk mendisrupsi situasi politik yang ada.

Politik preemptive terjadi ketika para aktor berdialektika pada momen yang lebih awal, untuk menciptakan nada yang paling bergema bagi komitmen politik dan ideologis mereka. Namun di titik ini apa kira-kira situasi politik yang ingin diantisipasi Anies?

Mengingat diskursus yang terjadi belakangan ini, tentu sangat sulit untuk tak mengait-ngaitkan strategi Anies ini dengan dinamika wacana revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atau UU Pemilu. 

Sebab, ada yang menyebutkan bahwa dorongan untuk menggelar Pilkada Serentak di 2024 juga bertujuan untuk menghentikan momen politik Anies. 

Yang jelas, hingga hari ini, DPR sendiri belum mencapai kesepakatan terkait hal tersebut. Fraksi-fraksi di Parlemen masih terbelah antara mendukung revisi, yang berarti menormalisasi penyelenggaran Pilkada ke tahun 2022-2023, atau tak melakukan revisi yang berarti tetap pada ketentuan Pilkada Serentak pada 2024. 

Oleh karena masih alotnya pembahasan tersebut, maka Anies memang masih memiliki kesempatan untuk melakukan perlawanan secara tersirat. Dengan bertubi-tubi membanggakan pencapaian-pencapaiannya, Ia bisa saja membangun narasi bahwa dirinya merupakan kepala daerah yang berprestasi. 

Jika nantinya Pilkada dilaksanakan pada 2024, narasi tersebut tentunya sangat berguna untuk menunjang elektabilitas Anies. Pun begitu untuk menarik partai politik agar mau mengusungnya kelak. Pada akhirnya, yang tahu maksud sebenarnya dari manuver-manuver pamer prestasi ala Anies ini hanyalah pihak terkait sendiri. Kita nikmati saja suguhan orkestra politik ini. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya (F63)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version