Dalam uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test), Kapolri Listyo Sigit menyebut akan mengaktifkan kembali Pam Swakarsa. Dengan melekatnya kenangan buruk Pam Swarkasa di era Orde Baru, tepatkah Kapolri Listyo Sigit menghidupkannya?
Pada awal April 2020, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) memutuskan untuk membebaskan 30 ribu narapidana dewasa dan anak yang tidak terkait dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012. Setidaknya pembebasan tersebut memiliki dua alasan.
Pertama, untuk mencegah penularan Covid-19 karena lembaga pemasyarakatan (lapas) mengalami overcrowding atau kelebihan kapasitas. Kedua, agar dapat menghemat anggaran kebutuhan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) sebesar Rp 260 miliar.
Namun, seperti yang diketahui, pembebasan narapidana melalui hak asimilasi menuai kritik, baik sebelum dan sesudah kebijakan. Pasalnya, ternyata banyak mantan narapidana yang kembali melakukan kejahatan dan meringkuk di balik jeruji besi.
Di luar persoalan kebijakan yang dinilai tidak tepat, saat itu terdapat interpretasi menarik, khususnya terkait jumlah narapidana yang dibebaskan. Pasalnya, pembebasan narapidana tersebut terlihat sangat ‘tanggung’.
Pertama, jika ingin mengatasi kelebihan kapasitas, jumlah narapidana yang seharusnya dibebaskan adalah 130.109. Ini merujuk pada keterangan Menkumham Yasonna Laoly pada Desember 2018, yang menyebut penghuni lapas mencapai 256.273, padahal kapasitas hunian hanya mencapai 126.164 narapidana (256.273 – 126.164 = 130.109).
Kedua, jika benar-benar ingin berhemat, maka pembebasan 130.109 narapidana dapat menghemat anggaran sebesar Rp 1,1 triliun (Rp 260 miliar : 30.000 x 130.109 = Rp 1,1 triliun).
Atas keganjilan angka tersebut, saat itu ada interpretasi yang menyebut narapidana yang dibebaskan untuk membentuk Pasukan Pengamanan Masyarakat (Pam) Swakarsa.
Interpretasi itu merujuk pada pernyataan mantan Kepala Staf Kostrad TNI Mayjen (Purn.) Kivlan Zen yang menyebut mengumpulkan setidaknya 30 ribu orang untuk membentuk Pam Swakarsa pada tahun 1998 lalu.
Baca Juga: Lingkaran Pam Swakarsa Komjen Listyo
Menariknya, jumlah angka yang disebutkan Kivlan sama dengan jumlah narapidana yang dibebaskan. Namun tentunya, sulit mengonfirmasi kebenaran angka yang disebutkan Kivlan tersebut. Interpterasi itu sendiri juga terbukti salah.
Nah, isu Pam Swakarsa kembali terangkat saat ini setelah Kapolri Listyo Sigit Prabowo mewacanakan akan menghidupkannya ketika menjalani uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di Komisi III DPR pada 20 Januari. Lantas, ke manakah arah wacana Pam Swakarsa ini?
Ranah Abu-abu yang Berbahaya
Sebenarnya, bukanlah Kapolri Listyo Sigit yang pertama kali mewacanakan Pam Swakarsa. Pasalnya, pada 5 Agustus 2020, Kapolri sebelumnya, Idham Azis telah menerbitkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pasukan Pengamanan Masyarakat (PAM) Swakarsa.
Artinya, wacana yang disebutkan oleh Listyo Sigit pada dasarnya telah memiliki legal standing. Apalagi, Pam Swakarsa juga sebenarnya telah tertuang dalam Pasal 3 huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Nasional yang menjelaskan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa dapat membantu fungsi kepolisian.
Namun, seperti dalam penekanan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Rusdi Hartono pada 26 Januari 2021, Pam Swakarsa yang akan diaktifkan Kapolri Listyo Sigit berbeda dengan Pam Swakarsa yang dibentuk pada tahun 1998.
Menurutnya, Pam Swakarsa adalah bentuk pengamanan yang dilakukan oleh pengembangan fungsi kepolisian, dan dibentuk atas dasar kemauan, kesadaran, serta kepentingan masyarakat. Dalam segala aktivitas dan operasionalnya, Pam Swakarsa senantiasa dikoordinasikan dan diawasi oleh kepolisian.
Pada 17 September 2019, Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Awi Setiyono juga menegaskan bahwa Pam Swakarsa yang dibentuk tidak berkaitan dengan Orde Baru. Pembentukannya karena kepolisian memang kekurangan tenaga atau SDM. Jumlah aparat kepolisian sendiri memang diketahui tidak ideal dengan rasio 1:750 atau satu personel menjaga 750 penduduk. Itu jauh dari rasio ideal 1:250.
Kendati terlihat memiliki argumentasi yang kuat, pakar isu militer dan keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi memiliki pandangan yang menarik untuk direnungkan. Tegasnya, kendati Polri menyebut operasional Pam Swakarsa dikontrol dan diawasi, ruang lingkup dan wewenang dari Pam Swakarsa sendiri berada di ranah abu-abu.
Baca Juga: Listyo Sigit, Pilihan Cerdas Jokowi?
Sebagai contoh, katakanlah terdapat organisasi P yang menjadi Pam Swakarsa. Pada kasus terburuknya, organisasi P tersebut dapat merasa memiliki legitimasi hukum dan moral untuk menegakkan hukum.
Alhasil, aksi seperti sweeping ataupun penutupan tempat hiburan malam, mungkin saja nantinya terjadi. Menurut Fahmi, hal-hal semacam itu sebenarnya sudah sering terlihat di tengah masyarakat.
Poin Menarik dari Yakuza
Menanggapi hal tersebut, Fahmi mengeluarkan perbandingan menarik dengan memberi contoh Yakuza di Jepang. Menurutnya, kendati Yakuza secara alamiah adalah organisasi kejahatan, namun pemerintah Jepang mampu menemukan titik keseimbangan yang membuat Yakuza dapat menjadi semacam agen keamanan nasional.
Jake Adelstein dalam tulisannya Japan’s Yakuza aren’t Disappearing. They’re Getting Smarter juga memberikan pandangan yang sama dengan Fahmi. Menurutnya, dalam kurun waktu yang lama, tujuan pemerintah Jepang bukanlah menghapus Yakuza, melainkan menjaga sekitar 22 kelompok kejahatan terorganisir tersebut berada di bawah kendali dan tidak terlihat.
Tegasnya, Yakuza bukanlah perkumpulan rahasia, dan tidak dilarang oleh pemerintah. Bahkan, kita dapat menemukan alamat masing-masing markas kelompok tersebut di situs Badan Kepolisian Nasional Jepang. Para Yakuza memiliki kantor, kartu nama, dan juga lambang perusahaan. Mereka diatur dengan baik.
Menurut Fahmi, di satu sisi memang harus diakui bahwa Yakuza adalah organisasi kejahatan yang tentunya tidak dapat dibenarkan tindak tanduknya. Akan tetapi, kemampuan pemerintah Jepang dalam mengontrol Yakuza sekiranya adalah sesuatu yang patut dicontoh oleh Polri jika nantinya Pam Swakarsa benar-benar diaktualisasi.
Lanjut Fahmi, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, maka perlu terdapat aturan hukum yang jelas untuk membatasi sejauh mana kewenangan dari Pam Swakarsa. Fahmi misalnya merekomendasikan adanya Undang-Undang tentang Industri Keamanan.
Pasalnya, seperti yang diketahui, Pam Swakarsa di tahun 1998 justru dimanfaatkan untuk meredam suara demonstrasi, khususnya para mahasiswa. Kasarnya, mereka adalah tukang pukul.
Backlash Memori Kolektif?
Di sini, menjadi pertanyaan tersendiri, mengapa PAM Swakarsa tetap ingin dihidupkan, padahal memori kolektif 1998 masih hangat di ingatan publik. Pun begitu dengan mereka yang sekadar mengetahuinya melalui berbagai pustaka dan berita.
Pasalnya, kendatipun Pam Swakarsa yang nantinya terbentuk akan berbeda dengan Pam Swakarsa di 1998, memori kolektif yang ada dapat menciptakan backlash untuk kepolisian ataupun pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) sendiri.
Henry L. Roediger dan K. Andrew DeSoto dalam tulisannya The Power of Collective Memory: What do large groups of people remember—and forget? menyebutkan bahwa memori kolektif, khususnya yang buruk, dapat memengaruhi masyarakat dalam melihat realitas kekinian.
Memori kolektif terkait Century of Humiliation (Abad Penghinaan), misalnya, disebut memengaruhi ambisi Tiongkok untuk menjadi negara hegemon dan berani melawan dominasi Amerika Serikat (AS). Abad Penghinaan sendiri terjadi pada tahun 1839-1949 ketika Tiongkok menjadi ‘mainan’ bagi kekuatan-kekuatan Barat dan Jepang.
Baca Juga: Saatnya Jokowi Belajar dari Majapahit?
Ada pula kasus 9/11 di AS yang membuat negara-negara Barat, khususnya negara Paman Sam memiliki ketakukan yang berlebihan terhadap Islam karena dinilai sebagai agama teroris. Sampai saat ini, Islamofobia masih menjadi diskursus hangat internasional.
Singkatnya, memori kolektif tentang Pam Swakarsa dapat membuat citra Polri semakin menurun di tengah masyarakat. Terlebih lagi, Kapolri Listyo Sigit yang menginisiasinya dapat pula membuat Presiden Jokowi terkena imbasnya.
Pasalnya, mantan Wali Kota Solo tersebut disebut memiliki kedekatan emosional dengan Listyo Sigit yang pernah menjadi ajudannya pada tahun 2014-2016. Oleh karenanya, dapat saja dipahami publik bahwa pembentukan Pam Swakarsa mendapatkan restu dari Presiden. Alhasil, memori kolektif yang buruk tentang Pam Swakarsa juga dapat menurunkan citra Presiden Jokowi nantinya.
Pada akhirnya, kita hanya dapat menanti bagaimana kelanjutan pengaktifan kembali Pam Swakarsa ini. Mari menanti. (R53)