Site icon PinterPolitik.com

Palu, Salah Kaprah Hemat Anggaran

Palu, Salah Kaprah Hemat Anggaran

Petugas menyelamatkan seorang perempuan korban tsunami Palu yang terperangkap. Tanpa ada perubahan mindset kebencanaan, Indonesia yang memiliki indeks risiko bencana tinggi akan terus terdampak. (Foto: Republican Times)

Duka di Palu-Donggala adalah peringatan terhadap sistem kebencanaan Indonesia, termasuk dalam hal mekanisme peringatan gempa dan tsunami. Pasalnya dalam World Risk Index, Indonesia masuk dalam kelompok negara yang berisiko tinggi terkena bencana.


PinterPolitik.com

“All earthquakes and disasters are warnings; there’s too much corruption in the world”.

:: Aristoteles (384-322 SM) ::

[dropcap]B[/dropcap]encana alam adalah bagian yang tak terpisahkan dari sejarah peradaban manusia. Tak ada yang bisa mengelak ketika mother earth – bumi yang kita pijak ini, bergejolak dan mencari keseimbangannya.

Tidak orang-orang Yunani Kuno yang mengalami letusan pulau vulkanis Thera – kini bernama pulau Santorini, Yunani – pada 1.600 SM, tidak juga penduduk Sparta yang mengalami gempa bumi pada tahun 464 SM, dan tidak pula Napoleon Bonaparte yang harus kalah perang, disebut-sebut karena letusan Gunung Tambora pada 1815.

Tak ada yang sanggup untuk menahannya, sama seperti warga Palu dan Donggala yang harus kuat menghadapi fakta wilayahnya diguncang gempa dan disapu tsunami.

63 persen masyarakat di daerah yang terkena tsunami tidak mendengar sirene peringatan akibat keterbatasan jumlah alat. Share on X

Bencana alam yang terjadi di wilayah ini memang menjadi berita duka lain yang mengguncang Indonesia. Semua tertegun ketika gempa 7,4 skala richter mengguncang wilayah teluk Sulawesi Tengah tersebut. Guncangan itu menyebabkan tsunami yang tingginya mencapai 6 meter di beberapa titik.

Singkatnya bencana alam ini menelan korban hingga 1.400-an orang. Jumlah korban pun diprediksi masih akan bertambah seiring terus dilakukannya pencarian dan penelusuran oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan tim gabungan.

Terlepas dari kerja BNPB, aparat dan pemerintah yang sedang berupaya menetralisir dampak bencana, nyatanya perdebatan yang muncul ke permukaan beberapa waktu belakangan juga menyinggung persoalan dana, terutama yang berkaitan dengan sistem peringatan gempa dan tsunami. Faktanya BNPB mengakui bahwa sejak 2012 dari total 22 buoy yang dimiliki Indonesia, tak satu pun yang beroperasi.

Buoy – disebut juga dengan deep-ocean assessment and reporting of tsunamis (DART) – adalah pelampung yang diletakan di tengah laut yang berfungsi untuk mendeteksi gelombang pasang dan tsunami.

Hal serupa juga dibenarkan oleh Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang menyebut banyak buoy yang tidak berfungsi lagi dan dijarah oleh nelayan atau oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.

Walaupun beberapa review – misalnya dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) – menyebut seringkali buoy juga tidak bisa sepenuhnya diandalkan, namun keberadaan buoy inilah yang menjadi salah satu alasan Jepang mampu menghadirkan informasi peringatan tsunami saat gempa Tohoku terjadi pada 2011 lalu dan meminimalisir jumlah korban jiwa.

Terlepas dari persoalan-persoalan itu, nyatanya memang sistem peruntukan anggaran bencana di Indonesia yang lebih banyak dialokasikan untuk netralisir pasca bencana tidak lagi sesuai dengan konteks wilayah Indonesia yang rawan bencana. Pertanyaannya tentu saja adalah apakah kita ingin tetap seperti ini?

Pangkas Anggaran, Pangkas Populasi?

Dalam World Risk Index tahun 2016 yang menunjukkan seberapa besar risiko sebuah negara mengalami bencana alam, Indonesia nyatanya berada pada level “tinggi”. Indeks ini dikeluarkan oleh United Nations University Institute for Environment and Human Security (UNU-EHS) dan diterbitkan oleh Alliance Development Works/Bündnis Entwicklung Hilft (BEH) serta menjadi patokan seberapa berbahayanya kondisi geografis dan geologis sebuah negara.

Dalam pemeringkatan “semakin kecil semakin aman”, Indonesia ada di peringkat 136 dengan nilai 10,24 persen, terpaut 19 tingkat dari Jepang di posisi 155 dengan 12,99 persen – angka yang membuat Negeri Sakura itu mendapatkan status risiko “sangat tinggi”.

Artinya, sebenarnya Indonesia masuk dalam kategori yang seharusnya sangat konsen ketika berbicara tentang bencana alam. Kondisi wilayah yang berada pada jalur gunung api – ring of fire – memang membuat bencana alam seperti letusan gunung api dan gempa bumi bukanlah hal yang asing.

Pada tahun 2016 Indonesia bahkan ada di peringkat 4 sebagai negara dengan bencana alam terbanyak – hanya kalah dari Tiongkok, Amerika Serikat dan India. Skala bencana terbesarnya pun adalah yang bertipe geofisik, seperti gempa bumi, tsunami, gunung berapi hingga tanah longsor.  Ini berarti persoalan bencana alam tidak lagi bisa dipandang sebagai hal yang remeh-temeh.

Persoalannya adalah logika menghadapi bencana di Indonesia seringkali salah kaprah. Pasalnya pengambilan kebijakan terkait anggaran misalnya, justru difokuskan ketika bencana sudah terjadi dan dampaknya sudah sangat parah. Padahal, untuk negara dengan indeks risiko bencana yang tinggi, sistem pencegahan dampak bencana sebetulnya harus diprioritaskan.

Marvin Phaup dan Charlotte Kirschner dalam tulisannya di OECD Journal on Budgeting menyebutkan bahwa the good times atau masa-masa ketika bencana tidak terjadi adalah masa yang paling tepat untuk memikirkan bagaimana mengurangi efek bencana. Negara harus menganggarkan porsi tertentu bukan hanya sebagai cadangan perbaikan kerusakan akibat bencana saja, namun juga untuk mencegah efek bencana dan jatuhnya korban jiwa.

Pengadaan teknologi, katakanlah seperti buoy untuk mendeteksi tsunami, atau yang sejenisnya, tentu saja sangat dibutuhkan dalam konteks ini. Hal yang memprihatinkan adalah bahwa untuk negara dengan indeks risiko tinggi seperti Indonesia, tak ada lagi buoy tsunami yang berfungsi sejak 2012 lalu.

Padahal sistem ini disebut-sebut sebagai yang punya akurasi dalam mendeteksi tsunami, sekalipun beberapa sumber dari BMKG yang dihubungi PinterPolitik menyebutkan bahwa buoy bukan satu-satunya alat pendeteksi gempa dan tsunami.

Meski demikian, harus diakui sistem ini adalah salah satu yang mengurangi dampak dan korban jiwa dalam kasus tsunami Tohoku, Jepang pada 2011 lalu. Jepang sendiri menghabiskan anggaran hingga US$ 1 miliar atau Rp 14 triliun untuk membangun sistem peringatan gempa dan tsunami.

Bandingkan dengan Indonesia, yang bahkan untuk anggaran BMKG dan BNPB saja harus terus dipotong setiap tahunnya. Untuk tahun 2018 misalnya, BMKG mengusulkan anggaran Rp 2,6 triliun, namun yang dikabulkan DPR dan pemerintah hanya Rp 1,7 triliun.

Sama halnya dengan BNPB yang walaupun memiliki dana cadangan – dipakai saat terjadi bencana – yang mencapai Rp 4 triliun, namun anggaran tahunannya pun dipangkas dari Rp 1,2 triliun menjadi Rp 748 miliar untuk tahun yang sama. Padahal tahun ini tercatat dua bencana mayor telah terjadi, mulai dari gempa Lombok, hingga yang terbaru di Palu dan Donggala.

BNPB sendiri menyebut butuh dana hingga Rp 15 triliun untuk persoalan bencana di Indonesia setiap tahunnya. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho menyebut hal ini sebagai ironi. Di satu sisi bencana semakin meningkat, namun alokasi dana ternyata justru berkurang.

Pernyataan Sutopo ini beralasan, mengingat sebuah penelitian menyebut 63 persen masyarakat di daerah yang terkena tsunami tidak mendengar sirene peringatan akibat keterbatasan jumlah alat. Selain itu, perlu ada sosialisasi dan pendidikan terhadap masyarakat Indonesia bagaimana bersikap saat terjadi bencana seperti tsunami.

Penelitian yang sama menyebut 75 persen masyarakat terpaksa menyelamatkan diri dengan menggunakan kendaraan – hal yang justru menimbulkan kemacetan dan hambatan untuk mengungsi.

Artinya, anggaran persoalan kebencanaan tidak bisa lagi dikebiri setiap tahunnya. DPR pun tidak bisa menyalahkan BMKG atau BNPB atas berjatuhannya banyak korban atau tentang peringatan tsunami yang dikeluarkan karena faktanya memang niatan dalam kebijakan anggaran untuk bencana tidak terlihat.

Politik Anggaran, Logika Bencana Yang Salah

Belum lagi bicara tentang kompleksitas mitigasi bencana yang merupakan proses komprehensif untuk mengurangi dampak bencana, yang seharusnya punya porsi yang sangat besar di negara-negara yang rawan bencana, terutama Indonesia.

Mitigasi bencana sendiri telah diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penaggulangan Bencana. Proses ini tentu saja membutuhkan anggaran dan jumlahnya tidak sedikit, bukan hanya untuk mengurangi dampak bencana, tetapi juga mengubah mindset masyarakat terhadap bencana alam.

Kita tentu melihat bagaimana aksi penjarahan – terhadap barang-barang bukan makanan – yang akhirnya ramai terjadi di Palu yang diakibatkan oleh mindset terhadap bencana itu sendiri. Hal ini nyatanya sulit ditemui di negara-negara yang punya mekanisme penanganan bencana yang baik, katakanlah seperti Jepang.

Mungkin banyak pihak yang akan berargumen bahwa tidak layak untuk berkaca pada negara seperti Jepang yang nota bene adalah negara yang jauh lebih maju dan dalam konteks bencana pun berisiko lebih tinggi dari Indonesia.

Namun, jika logika penanganan dan sikap terhadap bencana yang seperti sekarang ini tetap dipertahankan, maka pemangkasan anggaran katakanlah terhadap BMKG dan BNPB pada akhirnya memang bertujuan untuk memangkas populasi – pernyataan yang tentu saja ekstrem, tetapi demikianlah yang terjadi.

Dengan kondisi geografis dan geologis Indonesia yang rawan bencana, Indonesia memang butuh rencana besar dalam konteks pencegahan masifnya dampak bencana. Dalam konteks politik Indonesia, politik anggaran pun seharusnya mendukung tujuan tersebut.

Barry Anderson dalam presentasinya untuk OECD menyebutkan bahwa salah satu alasan mengapa pemerintah seringkali tidak menganggarkan dana yang sesuai untuk bencana adalah karena sifat bencana yang tidak bisa diprediksi. Ada keraguan untuk menganggarkan dana yang peruntukannya hanya untuk kondisi yang sesekali terjadi.

Namun, dengan kondisi Indonesia yang semakin sering dilanda bencana seperti ini, apakah masih pantas untuk tetap berpikir demikian? Tanpa adanya kesadaran dari pemangku kepentingan, sangat mungkin setiap tahunnya kita akan terus menyaksikan bencana dengan korban yang tidak sedikit terjadi di mana-mana.

Pada akhirnya, mungkin benar kata Aristoteles di awal tulisan ini, bahwa gempa bumi dan bencana alam memang jadi peringatan bahwa di negeri ini banyak korupsi.  Yang jelas, whatever it is, money matters. (S13)

Exit mobile version