“I told her that she looked good when I thought that she looked like a blimp.”- Melissa Hogenboom, Editor BBC Reel
Pinterpolitik.com
[dropcap]C[/dropcap]alon wakil presiden nomor urut satu Ma’ruf Amin bertemu Relawan Nusantara (RelaNu) sehari yang lalu. RelaNu merupakan barisan pendukung Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu.
Barisan relawan Ahok ini sebelumnya kaget dengan pemilihan Ma’ruf sebagai cawapres pendamping Joko Widodo (Jokowi). Apalagi diketahui bahwa Ma’ruf adalah tokoh yang memberikan fatwa bahwa Ahok melakukan penistaan agama. Kondisi ini membuat relawan Ahok terbelah. Ada yang mendukung Ma’ruf karena melihat sosok Jokowi, namun tidak sedikit pula yang menolak karena figur sang kiai yang dinilai konservatif.
Para pelaku paltering memposisikan dirinya sebagai pihak yang berlaku jujur. Dengan memberikan keterangan atau fakta yang lain, pelaku paltering, dalam hal ini politikus, telah menghindar dari sebuah kebohongan secara langsung. Share on XPertemuan itu merupakan bentuk penggalangan dukungan jelang kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, juga untuk mengklarifikasi beberapa hal. Salah satu hal yang diklarifikasi pada pertemuan itu adalah terkait dengan fatwa pelarangan mengucapkan Selamat Natal kepada umat kristiani. Hal ini disampaikan oleh Nusron Wahid, inisiator RelaNu.
Bukan rahasia lagi bahwa Ma’ruf adalah tokoh Islam yang cenderung konservatif. Selama ini, ia kerap mengeluarkan fatwa atau sikap yang dinilai menimbulkan friksi dengan kelompok beragama dan kelompok minoritas lainnya.
Terkait fatwa pelarangan mengucapkan Selamat Natal, Ma’ruf membantah dengan tegas hal tersebut. Ia menyebutkan bahwa dirinya tidak menerbitkan fatwa ucapan Selamat Natal, namun ia membenarkan pelarangan untuk mengikuti Misa Natal.
Pada titik ini, sebagai politisi cum cawapres, Ma’ruf tentu paham untuk membangun citra yang positif. Dengan meluruskan terkait fatwa natal tersebut, Ma’ruf sedang memainkan peran politis dengan meminggirkan kesan konservatifnya.
Ma’ruf dalam konteks itu tidak salah dengan mempertegas posisinya terkait fatwa natal, namun dari sana juga timbul pertanyaan dan kesan seolah ia sedang memposisikan dirinya sebagai tokoh yang moderat.
Paradoks ini menarik untuk dicermati. Pertanyaannya adalah apakah gaya komunikasi Ma’ruf tersebut adalah bentuk dari paltering atau mempermainkan kebenaran seperti yang menjangkiti politikus pada umumnya?
Citra Intoleran Telah Melekat
Ma’ruf dikenal sebagai ulama yang konservatif. Sebagai ulama sekaligus politikus, Ma’ruf sudah makan asam garam sejak dekade 60’an. Kiai berlatar belakang Nadlatul Ulama (NU) sekaligus cucu imam Masjidil Haram ini sudah malang melintang di DPRD, DPR RI, anggota Dewan Pertimbangan Presiden, hingga menahkodai Majelis Ulama Indonesia (MUI). Keberhasilan dirinya maju sebagai cawapres menggenapi jabatan dalam tipologi kekuasaan.
Dalam sebuah tulisan di New Mandala, Greg Fealy menyebut Ma’ruf sebagai ulama paling powerful di negeri ini. Hal itu bisa dilihat dari dua jabatan terakhir Ma’ruf, yakni Rais Aam NU dan Ketua MUI. Sementara itu, peneliti Human Rights Watch Andreas Harsono menyebut Ma’ruf sebagai politikus paling berpengaruh sejak zaman Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Sayangnya, julukan Ma’ruf tersebut bertendensi negatif. Naiknya Ma’ruf dalam ring satu kekuasaan bisa menjadi pukulan bagi kelompok minoritas dan masa depan demokrasi. Politik identitas Indonesia sekarang berada di persimpangan jalan: antara Islam yang berpikiran terbuka sesuai dengan modernisasi dan Islam yang berpikiran sempit atau eksklusif. Percampuran agama dan politik akan tumbuh lebih kuat pada waktu mendatang.
Dengan jabatan politis yang cenderung tidak diperhatikan publik, Ma’ruf adalah arsitek beberapa kebijakan yang intoleran terhadap penganut agama maupun kelompok minoritas lainnya di tanah air.
Ma’ruf terlibat dalam penyusunan rancangan yang disebut Peraturan Bersama tentang pendirian rumah ibadah dan forum kerukunan umat beragama. Beleid tersebut disetujui Presiden SBY pada tahun 2006. Dampak adanya kebijakan tersebut adalah penghalangan ibadah jemaat GKI Yasmin, hingga penyerangan terhadap penganut Ahmadiyah di berbagai wilayah.
Ma’ruf juga memiliki sikap yang tegas terhadap kelompok LGBT. Dalam fatwanya Ma’ruf menyebut jika perilaku LGBT diharamkan dan merupakan suatu bentuk kejahatan. Ia juga mendukung pemidanaan terhadap kelompok tersebut.
Tak lengkap berbicara kontroversi Ma’ruf tanpa membahas perannya yang mengantarkan Ahok ke penjara. Ma’ruf ketika itu bersaksi di persidangan sebagai saksi ahli yang memberatkan posisi Ahok. Selain itu Ma’ruf adalah tokoh yang memberikan fatwa Ahok sebagai penista agama.
Gelombang unjuk rasa mendorong Ahok agar segera diadili memang semakin besar setelah keluarnya fatwa itu. Maka lahirlah aksi demonstrasi berjilid-jilid. Aksi tersebut membuat kegaduhan secara nasional. Namun Ma’ruf menolak jika fatwa MUI menimbulkan kegaduhan, malah ia menyebut ucapan Ahok-lah yang memicu hal tersebut.
Kasus Ahok nyatanya telah meningkatkan intoleransi agama di Indonesia. Sebuah survei di tahun 2017 yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menemukan bahwa 49,1 persen responden menentang pemimpin non-muslim di pemerintahan. Angka ini naik tajam dari 32,4 persen dalam survei di tahun 2010 dengan penelitian serupa.
Seni Paltering Ma’ruf
Sudah jadi rahasia umum jika politikus suka berbohong. Tapi kondisi ini bisa direka sedemikian rupa sehingga kebohongan tersebut nampak sebagai sebuah kebenaran. Mengelabui orang lain dengan menyatakan hal yang benar bagi sebagian orang adalah seni dalam politik. Todd Rogers, peneliti perilaku dari Harvard Kennedy School menyebut fenomena ini sebagai paltering atau mempermainkan kebenaran.
Paltering dalam politik menjadi taktik komunikasi yang sangat umum. Bahkan para politikus cenderung meyakini bahwa hal itu lebih etis daripada terang-terangan berbohong. Meskipun begitu, individu atau kelompok, dalam hal ini konstituen, tidak bisa membedakan antara sedang dibohongi atau sedang dipermainkan. Selain itu sulit juga mengetahui mana fakta yang menyimpang saat orang mendengar hal yang kedengarannya benar.
Dengan berkata jujur di fakta yang lain, mereka bisa lari dari tuntutan menjawab sebuah pertanyaan. Mereka bahkan bisa mengatakan sesuatu itu benar padahal itu tidak. Rogers bahkan menyebut politikus dan koleganya kemudian berusaha menggali lebih jauh.
Kondisi inilah yang sedang dilakukan oleh Ma’ruf Amin ketika berjumpa dengan RelaNu. Menyebut bahwa dirinya tidak mengeluarkan fatwa haram mengucapkan selamat natal adalah bagian dari paltering Ma’ruf.
Dalam satu konteks, pernyataannya Ma’ruf bisa dibenarkan. Namun hal itu seperti menggeser pernyataan sang kiai yang sebenarnya. Pernyataan Ma’ruf yang menegaskan bahwa dirinya tidak pernah mengeluarkan fatwa haram mengucapkan selamat natal adalah bagian dari pembentukan persepsi bahwa dirinya adalah ulama yang moderat.
Pernyataan Ma’ruf ini adalah sebuah realitas mempermainkan kebenaran yang biasa terjadi dalam ranah politik nasional. Tentu saja perilaku Ma’ruf ini untuk menggaet kelompok pemilih yang sebelumnya cenderung bertolak belakang dengan dirinya.
Mengganggu Elektabilitas?
Ma’ruf sejauh ini dikenal sebagai ulama-politis yang konservatif dengan indikator-indikator intolerannya. Di kalangan pemilih yang cenderung pluralis seperti barisan relawan Ahok, Ma’ruf coba membangun citra moderat. Dalam hal ini, ia sedang mempermainkan kebenaran dengan cara memberikan sebuah fakta dalam rangka menyembunyikan fakta (kebenaran) lainnya. Itulah paltering.
Para pelaku paltering memposisikan dirinya sebagai pihak yang berlaku jujur. Dengan memberikan keterangan atau fakta yang lain, pelaku paltering, dalam hal ini politikus, telah menghindar dari sebuah kebohongan secara langsung.
Perilaku paltering yang dilakukan oleh Ma’ruf bisa dipahami dalam konteks dirinya sebagai politikus yang sedang bertarung dalam kontestasi Pilpres 2019. Pencitraan diri dengan gaya komunikasi yang persuasif diperlukan untuk meningkatkan popularitas di kalangan yang selama ini tidak dekat dengan dirinya.
Sejauh Ma’ruf bisa memainkan kalimat dengan pendekatan persuasif serta meyakinkan konstituen, maka hal itu bisa berdampak baik di kalangan kelompok yang sejauh ini cukup bimbang menentukan pilihan pada Pilpres 2019, misalnya seperti pendukung Ahok yang tidak suka Prabowo.
Meskipun demikian, nampaknya usaha paltering Ma’ruf tidak akan terlalu berpengaruh kepada kelompok-kelompok minoritas yang selama ini seolah menjadi “musuh” bagi dirinya. Mereka tetap akan menganggap Ma’ruf sebagai sosok yang menciderai demokrasi. (A37)