Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru saja meresmikan proyek jaringan serat optik Palapa Ring beberapa waktu lalu. Jaringan ini turut mencerminkan mimpi ekonomi digital yang digadang-gadang oleh presiden. Namun, bagaimana dinamika ekonomi politik di baliknya terjadi?
PinterPolitik.com
“I’m afraid the whole game would be colonized” – JAY Z, penyanyi rap asal Amerika Serikat
Mimpi Indonesia untuk mewujudkan konektivitas yang tinggi antar-wilayah tampaknya semakin menjadi kenyataan. Proyek Palapa Ring II – bermula dari proyek Nusantara-21 pada era Presiden Soeharto dan Palapa Ring pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono – baru saja diresmikan oleh Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu.
Bagaimana tidak? Proyek yang pernah mangkrak pada tahun 1998 ini digadang-gadang menjadi gerbang baru bagi pembangunan Indonesia, baik di bidang ekonomi, sosial, maupun pemerintahan. Dengan rasa bangga, Jokowi menunjukkan kebolehan infrastruktur yang disebutnya sebagai “tol langit” dengan mengadakan telekonferensi daring dengan berbagai kepala daerah.
Palapa Ring, jaringan kabel optik yang menghubungkan seluruh wilayah Indonesia yang saya resmikan tadi, ibarat jalan tol untuk internet kecepatan tinggi.
Sebanyak 514 kabupaten/kota di Indonesia, seluruhnya sudah terhubung dengan jalan tol itu. pic.twitter.com/h7piPhwYLI
— Joko Widodo (@jokowi) October 14, 2019
Mungkin, istilah “tol langit” milik Jokowi tersebut juga masih berhubungan dengan proyek Nusantara-21. Pasalnya, proyek era Orde Baru tersebut disebut-sebut turut mengusung komponen “archipelagic super highway.”
Terlepas dari penggunaan istilah yang menarik, pemerintah sebenarnya kerap mengaitkan infrastruktur “langit” ini dengan suatu konsep, yakni ekonomi digital – kegiatan-kegiatan ekonomi yang menggunakan pengetahuan dan informasi digital sebagai faktor produksi yang penting.
Wakil Presiden terpilih Ma’ruf Amin misalnya, pernah mengatakan bahwa “tol langit” ini mampu menunjang upaya digitalisasi ekonomi yang dilakukan pemerintahan Jokowi.
Tentu, informasi digital – seperti data pribadi – memang menjadi penting di era informasi ini. Presiden Jokowi sendiri mengingatkan bahwa informasi mengenai selera konsumen Indonesia tidak boleh diketahui oleh pihak asing. Mantan Wali Kota Solo tersebut melanjutkan bahwa pasar Indonesia bisa saja menjadi sasaran sebuan produk asing bila itu terjadi.
Pernyataan presiden dalam peresmian tersebut pun menimbulkan pertanyaan. Bagaimana proyek Palapa Ring ini bisa berkaitan dengan kegiatan pasar dan ekonomi? Lalu, bagaimana dimensi politik di baliknya berjalan?
Ekonomi Digital
Infrastruktur digital seperti Palapa Ring bisa jadi diperlukan guna membangun ekonomi digital yang lebih inklusif. Dengan adanya “tol langit,” kegiatan ekonomi dan pasar dapat menjadi semakin terhubung.
Pembangunan infrastruktur semacam ini setidaknya pernah dilakukan oleh beberapa negara lain, seperti India. Negara Asia Selatan ini disebut-sebut memiliki ambisi yang besar dalam mengembangkan perekonomian digital.
Guna mewujudkan ambisi itu, Perdana Menteri Narendra Modi mencanangkan sebuah program yang dijuluki sebagai Digital India. Program yang dibawahi oleh Ministry of Electronics and Information Technology (MeitY) India ini bertujuan untuk membangun sebuah masyarakat dan ekonomi digital melalui infrastruktur daring dan konektivitas internet di antara warganya.
Hampir sama dengan Palapa Ring, pemerintah India juga memiliki proyek jaringan serat optik yang dinamai Bharat Broadband Network Limited (BharatNet). Proyek itu ditujukan untuk menghubungkan sekitar 625 ribu desa dalam jejaring internet agar mampu memperluas penggunaan teknologi informasi dan digital oleh masyarakat.
Selanjutnya, apakah berbagai program dan pembangunan ekonomi digital di India tersebut dapat memberikan manfaat?
Setidaknya, ekonomi digital yang tengah dibangun India itu dinilai telah membawa manfaat tertentu bagi pertumbuhan ekonomi negara yang menjadi tempat asal Bollywood tersebut. Dalam suatu laporan yang dimiliki oleh pemerintah India, kegiatan ekonomi di dunia digital disebut-sebut telah memberikan sumbangsih sebesar Rp 2,78 kuadriliun – atau sekitar 8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) India pada tahun 2017-18.
Lalu, bagaimana dengan proyek Palapa Ring II di Indonesia? Apakah ekonomi digital dapat terwujud melalui infrastruktur tersebut?
Tentunya, dengan adanya “tol langit” yang telah dibangun, masyarakat Indonesia dapat lebih mudah mengakses jejaring daring. Dengan begitu, ekonomi berbasis digital dapat turut berjalan. Seperti yang dijelaskan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara, adanya Palapa Ring ini diharapkan dapat mengurangi biaya yang dibutuhkan oleh warga guna mengakses internet.
Jika memang pembangunan infrastruktur digital mampu memberikan sumbangsih pada perekonomian, apakah unsur politik turut eksis di dalamnya?
Bisnis dan Politik
Pembangunan infrastruktur “tol langit” guna mewujudkan mimpi ekonomi digital bisa jadi memang diperlukan. Tentunya, pemerintah sendiri tidak mampu mewujudkan pembangunan tersebut tanpa bantuan pihak lainnya.
Pemerintahan Modi misalnya, masih membutuhkan bantuan pihak swasta untuk membangun berbagai infrastruktur digital di India. Pembangunan proyek BharatNet fase kedua pada tahun 2017 lalu misalnya, pemerintah India menggandeng beberapa perusahaan swasta di bidang telekomunikasi, seperti Paramount, Sterlite, dan Tejas.
Uniknya, dalam upaya mewujudkan program Digital India, Modi dinilai juga dibantu oleh beberapa konglomerat, seperti Mukesh Ambani yang merupakan salah satu orang terkaya di negara itu. Ambani merupakan konglomerat yang berawal dari industri farmasi.
Keterlibatan Ambani dalam kampanye Digital India milik Modi ini terlihat dari bagaimana pengusaha ini menghadiri dan berbicara dalam pengumuman atas program tersebut. Ambani pun berjanji untuk memberikan investasi sebesar Rp 495 triliun. Hal ini terwujud dalam proyek BharatNet fase kedua.
Hubungan yang terbangun antara Ambani dan Modi ini disebut-sebut juga memengaruhi kebijakan pemerintah di bidang telekomunikasi. Reliance Jo disebut-sebut mendapatkan perlakuan istimewa dengan adanya pemberian izin uji coba dan perubahan regulasi yang dilakukan oleh pemerintah India.
Apa yang terjadi antara Ambani dan pemerintahan Modi ini sebenarnya merefleksikan keterkaitan antara bisnis dan politik. Charles P. Taft dalam tulisannya yang berjudul Business in Politics? menjelaskan bahwa keduanya memiliki keterkaitan dengan adanya kontrak-kontrak kerja sama yang menjadi tumpuan bagi para pemangku industri.
Jika bisnis dan politik dapat berjalan bergandengan di India, bagaimana dengan proyek Palapa Ring II di Indonesia?
Seperti BharatNet di India, pemerintah Indonesia membuka kesempatan bagi kelompok swasta untuk terlibat dalam pembangunan Palapa Ring II di setiap paketnya. Setidaknya, nama-nama perusahaan ini mulai diumumkan pada tahun 2016 lalu.
Perusahaan yang paling banyak tender proyek di antara tiga paket tersebut adalah Moratelindo (PT Mora Telematika Indonesia). Perusahaan yang didirikan oleh Galumbang Menak Simanjuntak ini ditengarai pernah memiliki hubungan bisnis dengan konglomerat Sinar Mas Group. Konglomerat ini sendiri juga terlibat dalam proyek ini melalui PT Smart Telecom.
Uniknya lagi, dari berbagai konsorsium perusahaan di proyek ini, terdapat salah satu perusahaan yang disebut-sebut dimiliki oleh Wahyu Sakti Trenggono, yakni PT Teknologi Riset Global Investama (TRG). Wahyu yang telah lama bergerak di bidang telekomunikasi ini merupakan bendahara dalam Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin dalam Pilpres 2019.
Bisnis dan politik memiliki keterkaitan dengan adanya kontrak-kontrak kerja sama yang menjadi tumpuan bagi para pemangku industri. Share on XBelum lagi, selain konsorsium perusahaan tersebut, terdapat juga PT Cendrawasih Artha Teknologi yang berperan dalam proyek Palapa Ring II di Papua dan Papua Barat. Perusahaan ini tergabung dalam Rifa Capital Holding Company yang merupakan milik Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Bahlil Lahadalia – sosok yang sempat diusulkan menjadi menteri dalam kabinet Jokowi 2.0.
Meskipun begitu, keterkaitan langsung di antara pemerintah dengan perusahaan-perusahaan tersebut belum pasti benar-benar ada. Yang jelas, setelah proyek ini diresmikan, beberapa perusahaan penyedia jasa telekomunikasi dikabarkan tertarik untuk menggunakan infrastruktur tersebut. Pertanyaannya, apakah dinamika politik juga terjadi di balik keinginan tersebut?
Kekhawatiran Asing
Adanya ketertarikan perusahaan-perusahaan telekomunikasi, seperti Telkomsel, Indosat, dan XL untuk menggunakan infrastruktur Palapa Ring itu bisa jadi mewujudkan apa yang disebut sebagai kolonisasi data. Pasalnya, sebagian perusahaan tersebut dimiliki oleh pihak asing.
Telkomsel misalnya, meski merupakan anak perusahaan dari Telkom Indonesia, 35 persen kepemilikannya berada di tangan SingTel – perusahaan telekomunikasi asal Singapura. Selain Telkomsel, 65 persen kepemilikan Indosat juga berada di tangan Ooredoo Asia asal Qatar. XL pun juga dimiliki oleh Axiata Group yang berasal dari Malaysia.
Boleh jadi, penyataan Jokowi dalam peresmian Palapa Ring II beralasan. Pasalnya, kepemilikan asing di sektor teknologi dan informasi kini mulai dibatasi di berbagai negara, seperti India dan Jepang.
Di India misalnya, muncul narasi akan adanya kolonisasi data oleh perusahaan-perusahaan asing. Kolonisasi data ini dianggap jenis kolonisasi baru atas sumber ekonomi yang berharga di era informasi ini, yakni data itu sendiri.
Nick Couldry dan Ulises Mejias dalam tulisan mereka yang berjudul Data Colonialism menjelaskan bahwa kolonialisme data ini terjadi ketika relasi sosial yang terjadi dalam relasi data – sebagai input bagi pemrosesan informasi – dapat menjadi bahan utama bagi penciptaan nilai ekonomi dalam bentuk baru. Melalui relasi data, kebiasaan pengguna di jejaring daring menjadi dapat dilacak.
Pemerintah Jepang misalnya, membatasi kepemilikan asing di sektor teknologi telekomunikasi karena munculnya kekhawatiran global atas teknologi Huawei dari Tiongkok. Pasalnya, beberapa pihak – seperti pemerintah Amerika Serikat (AS) – mengklaim bahwa teknologi perusahaan tersebut dapat mengekstraksi data dan informasi melalui jejaring 5G buatannya.
Lantas, apakah kolonisasi data tersebut dapat terjadi juga di Indonesia?
Adanya penggunaan Palapa Ring oleh perusahaan-perusahaan telekomunikasi tersebut sebenarnya belum dapat dipastikan akan memunculkan kolonisasi data. Yang jelas, kekhawatiran tersebut kini eksis di tengah-tengah semangat ekonomi digital Jokowi.
Kekhawatiran itu mungkin tergambarkan dalam lirik rapper JAY Z di awal tulisan. Palapa Ring yang mulanya diharapkan meningkatkan kegiatan ekonomi digital di berbagai daerah ditakutkan dapat menjadi instrumen yang menguntungkan bagi pihak tertentu, entah siapa pihak tersebut. (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.