Site icon PinterPolitik.com

Pak Jokowi, Minta Tas!

Foto: Instagram

Persoalan ini harus menjadi kritik untuk pemerintahan Presiden Joko Widodo. Presiden gemar membagi-bagikan sepeda mahal dalam kuis-kuis ‘nama ikan’. Namun, Jokowi harus juga membuka mata untuk kondisi masyarakat di pelosok yang kekurangan akses pendidikan dan infrastruktur.


PinterPolitik.com

[dropcap size=big]K[/dropcap]e-4 siswa SD itu bergantian mengucapkan kata-kata itu di depan kamera. Baju-baju seragam putih mereka terlihat lusuh, tidak lagi berwarna putih seperti seragam SD pada umumnya. Dua dari empat orang siswa tersebut memegangi tas kresek. Dua di antaranya juga tidak mengenakan alas kaki.

Salah satu siswa bahkan mengenakan celana yang resletingnya sudah rusak. Di papan tulis tertulis beberapa baris kalimat yang sedang dipelajari di kelas, namun tak satu pun kata-kata dalam kalimat tersebut yang mereka ucapkan. Hanya penggalan ucapan yang terputus-putus: “Pak Jokowi, minta tas”.

Revan, Hery Aprianto, Jhembo dan Eligen Tomas bergantian mengucapkan kata-kata tersebut: “Pak Jokowi, minta tas”. Permintaan itu terdengar sederhana. Namun, jika melihat bagaimana mereka berangkat ke sekolah tanpa tas atau hanya menggunakan kresek untuk menyimpan buku-buku pelajaran, tentu permintaan itu bisa dimaklumi. Permintaan biasa, namun memiliki makna yang sangat mendalam.

Ternyata potret pendidikan di negeri ini masih demikian timpang. Lalu, untuk apa mereka menyanyikan ‘Indonesia Raya’ setiap Senin pagi saat upacara bendera?

Demikianlah gambaran 4 siswa SDN 04 Sungkung, Siding, Bengkayan, Kalimantan Barat yang menjadi perbincangan hangat beberapa hari terakhir ini. Kisah itu berawal dari video dan foto yang beredar di media sosial pada Senin, 27 Maret 2017. Foto dan video tersebut memperlihatkan  betapa menyedihkannya kondisi sejumlah murid di sebuah sekolah dasar di Kalimantan Barat, tepatnya di dekat perbatasan Indonesia dan Malaysia.

Kondisi memprihatinkan ini diceritakan oleh pemilik akun Instagram @anggitpurwoto. Anggit Purwoto adalah seorang guru muda yang mengikuti program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal atau SM3T yang diadakan oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti).

Ia ditempatkan di Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Keprihatinannya terhadap pendidikan di daerah perbatasan yang sangat jauh tertinggal jika dibandingkan dengan pendidikan di pulau Jawa, mendorong Anggit untuk mengunggah video permintaan anak-anak tersebut di akun instagram pribadinya. Berikut adalah video yang diunggah Anggit.

Ketimpangan Kondisi Pendidikan

Apa yang terjadi di Kabupaten Bengkayang ini sesungguhnya mewakili potret secara keseluruhan dunia pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan di daerah pelosok. Banyak daerah pedalaman dan terluar masih kesulitan untuk mendapatkan akses pendidikan. Bukan hanya di Bengkayang saja, mayoritas daerah pelosok di Indonesia bagian timur dan di wilayah-wilayah perbatasan masih sering ditemui potret dunia pendidikan yang memprihatinkan seperti ini.

Persoalan ketimpangan ini harus disikapi secara serius. Jika tidak, maka akan ada kesenjangan yang luar biasa jauh di antara masyarakat pelosok dengan yang hidup di kota-kota besar. Contohnya, saat ini kebijakan pemerintah untuk menyelenggarakan Ujian Nasional berbasis komputer tentu saja dianggap mudah bagi anak-anak sekolah di kota dan daerah-daerah yang maju yang akses listriknya lancar dan terbiasa menggunakan peralatan komputer.

Bandingkan dengan siswa-siswi di daerah terpencil yang untuk akses listrik saja sulitnya minta ampun. Listrik saja susah, apalagi mau Ujian Nasional  pakai komputer. Waduh, rasanya dunia mau kiamat saja.

Bahkan di kota-kota kecamatan sekalipun, ketimpangan yang cukup jauh ini menyebabkan siswa-siswa menjadi ‘gagu’ mengikuti Ujian Nasional berbasis komputer. Ibu saya adalah seorang guru di daerah yang bukan kota, dan terbayang bagaimana ia menceritakan kesulitan yang dihadapi anak-anak didiknya saat harus mengikuti Ujian Nasional berbasis komputer. ‘Keringat dingin’, itulah kata-kata yang diucapkannya untuk menggambarkan kondisi gugup dan kakunya anak-anak didiknya, ketika berhadapan dengan monitor komputer saat ujian.

Kisah yang diangkat oleh Anggit Purwoto sebetulnya mewakili seruan hati banyak anak didik di daerah pedalaman. Saya dan anda mungkin beruntung lahir di keluarga dengan orang tua yang mampu membeli seragam sekolah dan sepatu baru untuk anak-anaknya. Namun, mungkin tidak semua dari kita pernah mengalami satu sekolah dengan teman-teman yang kurang mampu. Saya pernah, dan sejujurnya itu pengalaman yang akan membekas dalam hati, dan akan selalu mengingatkan saya betapa masih timpangnya pendidikan di negeri ini!

Tas Sekolah dan Korupsi Dana Pendidikan

Pertanyaannya tentu saja: apa yang salah? Di mana yang harus diperbaiki? Semua tahu, saat ini 20% dana APBN Indonesia digunakan untuk sektor pendidikan. Ini tentu bukan jumlah yang sedikit. Belanja pemerintah dalam APBN 2016 misalnya mencapai 2.000 triliun rupiah. Artinya untuk bidang pendidikan ada sekurang-kurangnya 400 triliun rupiah.

Wow, apakah jumlah sebesar itu tidak mampu mencukupi kebutuhan seragama anak-anak di pelosok? Sudah ada dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), lalu ke manakah dana-dana tersebut mengalir? Anda bisa cek sendiri postur anggaran pendidikan tahun 2016 dan temukan di mana letak kesalahan yang sesungguhnya.

Faktanya, korupsi di sektor pendidikan dari tahun ke tahun masih sangat tinggi. Hasil pemantauan Indonesian Corruption Watch (ICW) mengungkap bahwa selama satu dasawarsa terakhir (antara 2005-2016) terdapat 296 kasus korupsi pendidikan. Adapun indikasi kerugian negara mencapai 619 miliar sampai 1,3 triliun rupiah dengan jumlah tersangka 479 orang.

Di tahun 2013 misalnya kasus korupsi menyebabkan kerugian negara mencapai 538,5 miliar rupiah. Wow, dengan jumlah yang sedemikian besar, jangan heran jika anak-anak di pedalaman masih merasakan kesulitan mendapatkan akses pendidikan, tidak punya seragam sekolah, dan tas untuk menyimpan buku-bukunya, sementara para pemangku kebijakan dan politisi sibuk mengisi kantong-kantongnya dengan uang-uang hasil korupsi tersebut. Seharusnya dana yang demikian besar sudah bisa membantu akses pendidikan bagi banyak anak di pedalaman.

Dengan mengkorupsi dana pendidikan ini sesungguhnya para politisi dan pemangku kebijakan berperan dalam meneruskan angka putus sekolah dan kemiskinan. Padahal pendidikan adalah sarana paling penting untuk memutus rantai kemiskinan. Dosa korupsi dana pendidikan sesungguhnya dosa korupsi yang paling tidak bisa dimaafkan.

Mungkin hal yang perlu diperbaiki saat ini adalah dari tata kelola anggaran. Sebesar 64 % dari total dana pendidikan yang dianggarkan oleh pemerintah diberikan untuk dikelola oleh pemerintah daerah. Hanya 36 % yang dikelola oleh pemerintah pusat. Pengelolaan dana pendidikan yang diserahkan kepada daerah ini sangat berpeluang untuk dikorupsi, khususnya di tingkat dinas pendidikan di daerah. ICW menyebut dinas pendidikan menjadi tempat paling sering terjadinya korupsi anggaran pendidikan.

Hal ini tentu memprihatinkan. Bagaimana mau membebaskan negara ini dari korupsi, mengajari anak-anak untuk memerangi korupsi, dan menumbuhkan semangat kejujuran, kalau dinas-dinas pendidikannya saja masih korupsi? Kapan negara ini bisa bebas korupsi kalau dunia pendidikannya saja masih berbau korupsi? Anak-anak di Bengkayang yang tidak punya tas sekolah merupakan korban-korban pejabat korup. Mereka ke sekolah dengan menggunakan tas kresek – barang yang di kota-kota besar dihargai 200 rupiah. Hanya 200 rupiah saja kah dana untuk mereka?

Pendidikan Untuk Semua

Persoalan ini harus menjadi kritik untuk pemerintahan Presiden Joko Widodo. Presiden gemar membagi-bagikan sepeda mahal dalam kuis-kuis ‘nama ikan’ yang sering diselenggarakannya. Namun, Jokowi harus juga membuka mata untuk kondisi masyarakat di pelosok yang kekurangan akses pendidikan dan infrastruktur. Tidak hanya di Bengkayang saja, tetapi juga di daerah-daerah pelosok yang lain.

Di beberapa daerah di Indonesia bagian timur, masih banyak proyek infrastruktur dan pendidikan yang menjadi mainan politik. Misalnya, masyarakat dijanjikan untuk mendapat perbaikan jalan oleh calon-calon yang bersaing dalam pemilihan kepala daerah. Namun, ketika terpilih, tidak ada proyek jalan yang dikerjakan. Hal yang sama juga terjadi pada dunia pendidikan. Oleh karena itu, Presiden Jokowi perlu terlibat langsung.

Kinerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga patut dipertanyakan. Sejak pergantian menteri, sepertinya tidak ada perubahan berarti. Kasus di Bengkayang ini harus dimulai dengan mengevaluasi dinas pendidikan Kabupaten Bengkayang dan dinas pendidikan Kalimantan Barat. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih memiliki keterbatasan untuk menelusuri korupsi di tingkat daerah. Namun, hal ini bukan berarti tidak ada inisiatif dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menelusuri persoalan ini.

Pendidikan adalah hak semua warga negara. Anggit Purwoto memang membuka mata kita semua lewat video dan foto yang diunggahnya. Namun, hal tersebut baru langkah awal. Ketimbang hanya mengungkapkan: ‘miris, mengharukan, menyedihkan’ dan segala jenis kata-kata ungkapan sedih lainnya, persoalan ini harus ditanggapi dengan tindakan nyata. Kita tunggu apa yang akan dilakukan oleh Pak Jokowi. (S13)

Exit mobile version