HomeNalar PolitikPajak 'Yang Memilih’ Syahrini?

Pajak ‘Yang Memilih’ Syahrini?

Diperkirakan setiap tahunnya, Indonesia mengalami kerugian antara 200-300 triliun rupiah akibat penggelapan pajak.


pinterpolitik.com

[dropcap size=big]B[/dropcap]ut in this world, nothing can be said to be certain, except death and taxes. ‘Tidak ada hal yang pasti di dunia ini, kecuali kematian dan pajak’. Demikianlah kutipan dari salah satu founding fathers Amerika Serikat, Benjamin Franklin (1706-1790). Sepertinya kata-kata ini sedang menjadi kenyataan di Indonesia: pajak sedang ‘pasti-pastinya’ ditegakkan.

Kabar terbaru, ada nama ‘Syahrini’ dalam kasus pajak. Ini tentang sidang kasus suap pajak yang menjerat Kepala Subdirektorat Bukti Permulaan Direktorat Penegakan Hukum Direktorat Jenderal Pajak, Handang Soekarno. Handang kini berstatus sebagai terdakwa dalam kasus suap pajak oleh PT EK Prima Ekspor Indonesia. Handang diduga menerima uang suap sebesar 1,9 miliar rupiah yang diberikan oleh Direktur PT EK Prima Ekspor Indonesia, Ramapanicker Rajamohanan Nair.

Dalam persidangan yang digelar pada Senin, 21 Maret 2017, jaksa KPK menyebutkan bahwa Syahrini – penyanyi yang terkenal dengan ungkapan ‘maju mundur cantik’ – adalah salah satu dari sekian banyak nama yang menjadi klien Handang Soekarno dan pernah memintanya mengurus masalah pajak. Disebutkan dalam persidangan tersebut, nilai pajak Syahrini yang diurus oleh Handang Soekarno bernilai sekitar 900 juta rupiah. Selain Syahrini, nama lain yang juga ada dalam dokumen yang dihadirkan oleh jaksa KPK adalah dua pimpinan DPR, Fahri Hamzah dan Fadli Zon.

Terungkapnya nama-nama artis dan pimpinan lembaga negara ini merupakan preseden yang buruk bagi perpajakan nasional. Bahkan ditengarai, banyak artis lain juga diduga terlibat dalam kasus ini. Artis-artis dan politisi ini diduga menunggak pajak sehingga menggunakan jalan pintas untuk membereskan persoalan-persoalan tersebut.

Hal lain yang juga menyita perhatian publik dalam kasus suap pajak ini adalah keterlibatan adik ipar Presiden Joko Widodo (Jokowi), Arif Budi Sulistyo dalam kasus suap ini. Hal ini tentu saja menjadi sesuatu yang paradoksial, mengingat Presiden Jokowi begitu getolnya mensosialisasikan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) kepada pengusaha di seluruh pelosok negeri, sementara iparnya sendiri malah melakukan suap dalam pengurusan pajak. Berkaitan dengan hal tersebut, tentu kita bertanya-tanya, seberapa penting pajak bagi sebuah negara? Berapa kontribusinya bagi ekonomi nasional?

Pajak dan Negara

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pajak adalah salah satu sumber pendapatan negara. Bahkan, pendapatan dari sektor pajak adalah yang terbesar. Pada tahun 2017 jumlahnya ditargetkan mencapai 85,6 % dari total pendapatan negara.

Jika dibandingkan tahun 2014, pada tahun 2015 dan 2016 ada peningkatan target pendapatan negara dari sektor pajak dengan jumlah mencapai 4%. Namun demikian, realisasi pendapatan dari sektor pajak pada tahun 2016 hanya 1.283 triliun rupiah, jauh dari target penerimaan 1.539 triliun rupiah dalam APBN. Bahkan realisasi penerimaan dari sektor pajak hanya mencapai angka 83 %, menurun jika dibandingkan pada tahun 2014 yang berada di atas 92 %. Selisih yang hampir mencapai 250 triliun tersebut sempat mendatangkan kritik bagi pemerintahan Jokowi. Hal itu yang membuat pemerintah menurunkan target pendapatan dari sektor pajak menjadi hanya 1.498 triliun rupiah pada APBN 2017 – jumlah yang sebetulnya tidak jauh berbeda juga dari tahun sebelumnya.

Sebetulnya, perbandingan pendapatan negara dari sektor pajak terhadap Gross Domestic Product (GDP) Indonesia (tax ratio) masih sangat rendah. Pada tahun 2014, jumlah penerimaan dari sektor pajak hanya 12,2% dari total keseluruhan GDP Indonesia yang diperkirakan berada di angka 10.542 triliun rupiah. Bandingkan dengan negara-negara Eropa seperti Polandia dengan persentase pendapatan dari sektor pajak yang mencapai 32% dari total keseluruhan GDP, atau Jerman dengan persentase mencapai 36%. Bahkan, persentase pendapatan pajak negara Afrika seperti Kamerun (34%), atau negara dengan sejarah konflik  seperti Rwanda (16%) berada di atas Indonesia.

Baca juga :  Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Padahal dari sisi GDP, Kamerun ada di posisi 92 dan Rwanda ada di posisi 141. Bandingkan dengan Indonesia yang ada di urutan 16 dalam daftar negara dengan GDP terbesar di dunia. Hal ini jelas membuktikan bahwa penerimaan dari sektor pajak di negara ini masih sangat belum optimal.

Dengan persentase yang begitu besar, jelas penerimaan negara dari sektor pajak adalah sumber utama pembiayaan segala aktivitas pemerintah, mulai dari belanja negara, hingga berbagai macam pembiayaan pembangunan. Dengan kata lain, jika masyarakat mogok membayar pajak, maka segala aktivitas pemerintahan tidak dapat berjalan dengan lancar.

Terbongkarnya kasus suap pajak ini membuktikan bahwa pemerintah masih harus berhadapan dengan masalah-masalah penggelapan dan mafia di dunia pajak. Terkait masalah tersebut, diperkirakan setiap tahunnya, Indonesia mengalami kerugian antara 200-300 triliun rupiah akibat penggelapan pajak. Dengan adanya oknum-oknum yang menghindari pajak atau malas bayar pajak, sesungguhnya telah membebani negara untuk memikirkan cara-cara membiayai kebutuhan pemerintahan – bahkan tidak jarang membuat pemerintah harus berutang untuk menutupi defisit anggaran tersebut.

Mengapa Harus Bayar Pajak?

Ketika berbicara tentang pajak, Adam Smith (1723-1790) – seorang ekonom dan filsuf dari Skotlandia – pernah mengatakan bahwa membayar pajak adalah kontribusi masyarakat dalam sebuah negara untuk membiayai berbagai pengeluaran publik yang dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam bukunya “The Wealth of Nations” (1776), Smith menulis: “Thus, it is reasonable that the population as a whole should contribute to the tax costs”.

Kewajiban untuk membayar pajak adalah kewajiban semua masyarakat untuk berkontribusi bagi jalannya pemerintahan. Bahkan, ketaatan membayar pajak adalah bagian dari kontribusi masyarakat untuk menciptakan pemerintahan yang baik (good governance).

Sistem perpajakan telah ada sejak manusia mengenal istilah ‘membayar upeti’. Sistem ini terus berkembang di Mesir kuno atau pada abad 13 sebelum masehi, hingga ke zaman Yunani dan Romawi, dan dianggap sebagai bagian dari kewajiban masyarakat untuk berkontribusi bagi keamanan negara. Pajak yang dibayarkan oleh rakyat biasanya digunakan negara-negara kuno untuk membiayai berbagai peperangan termasuk juga untuk mempertahankan diri dari serangan musuh atau negara lain.

Saat ini membayar pajak adalah kewajiban warga negara – semacam ‘pembayaran’ bagi semua fasilitas publik yang dinikmati oleh masyarakat. Pajak juga merupakan kontribusi dan kompensasi yang dibayarkan masyarakat untuk rasa aman, berbagai pelayanan di sektor publik, pembangunan infrastruktur, serta perlindungan yang diberikan oleh negara melalui penegakkan tatanan hukum dan norma dalam masyarakat – mengingat negara adalah satu-satunya pihak yang diperbolehkan menggunakan instrumen law and order atau paksaan dalam menertibkan masyarakat. Karena fungsinya tersebut, maka membayar pajak adalah sebuah kewajiban.

Anthony Giddens (Foto: geography.ruhosting.nl)

Selain itu, pajak juga memiliki fungsi sosial, yakni sebagai bagian dari strategies of leveling atau strategi pemerataan kesejahteraan. Hal ini ditulis Anthony Giddens – ahli sosiologi dan mantan direktur London School of Economics – dalam bukunya “The Third Way”. Pajak – khususnya pajak progresif (pajak penghasilan) – menjadi sarana pemerataan kesejahteraan, di mana ada ‘bagian’ harta dari orang-orang kaya dan berpunya yang dibayarkan kepada negara, lalu digunakan oleh negara untuk membiayai dan memberdayakan orang-orang yang miskin.

Sayangnya, saat ini banyak sekali orang-orang kaya yang menghindari pajak – khususnya pajak penghasilan. Maka, jangan heran kasus-kasus penggelapan pajak, penunggakan pajak, suap pajak, dan lain sebagainya begitu sering terjadi di negara ini. Orang lebih memilih melanggar hukum ketimbang membayarkan kewajibannya.

Baca juga :  Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Program tax amnesty yang saat ini sedang digalakkan oleh pemerintahan Jokowi, memang diharapkan akan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak, sehingga di tahun-tahun berikutnya pendapatan negara dari sektor pajak pun bisa semakin meningkat. Pertanyaannya tentu saja apakah program ini akan berhasil?

Menuju Masyarakat Sadar Pajak

Belum optimalnya penerimaan negara di sektor pajak tentu menjadi tanda tanya besar. Sejak program tax amnesty digulirkan, tercatat hingga September 2016 lalu penerimaan negara dari program ini sudah mencapai angka 86,4 triliun rupiah. Jumlah ini menjadi yang tertinggi di dunia, bahkan terpaut sangat jauh dengan Italia di urutan kedua dengan 59 triliun rupiah. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat, mengingat ada jarak yang cukup lama antara September 2016 hingga Maret 2017 ketika program ini berakhir. Walaupun program tax amnesty tidak membantu pencapaian target penerimaan negara dari sektor pajak, hal ini tetap patut dipresiasi sebagai program untuk pengoptimalan pendapatan negara dari sektor pajak.

Ada banyak alasan mengapa banyak orang Indonesia masih enggan membayar pajak, misalnya karena kurangnya pengetahuan tentang fungsi pajak, atau kurang paham bagaimana cara membayar pajak, atau merasa aturan-aturan pembayaran pajak terlalu rumit. Selain itu, banyak orang sebetulnya tidak percaya dengan para petugas pajak. Banyak yang menganggap perpajakan adalah salah satu sektor yang paling banyak dikorupsi. Kita tentu ingat bagaimana seorang pegawai pajak bernama Gayus Tambunan bisa memiliki harta yang berlimpah.

Terkuaknya kasus-kasus suap di lingkungan perpajakan juga menjadi nilai merah sektor perpajakan Indonesia. Maka, jangan heran ada anggapan: ‘untuk apa bayar pajak, toh ujung-ujungnya digelapkan’. Kasus korupsi di berbagai lembaga negara lain juga seringkali menjadi alasan bagi orang-orang yang sebetulnya paham tentang pentingnya membayar pajak, namun jadi enggan membayarnya. Anggota DPR dan para pejabat negara, semuanya digaji oleh rakyat lewat pajak. Tetapi, kalau perilaku korupsi uang rakyat masih terus saja terjadi, maka tidak perlu heran kalau masyarakat menjadi enggan untuk membayar pajak.

Pembersihan korupsi dari sektor pajak, adanya transparansi, dan perbaikan sistem pembayaran merupakan kunci utama perbaikan di sektor ini. Tanpa adanya hal tersebut, apa pun upaya pemerintah – entah itu tax amnesty dan lain sebagainya – tidak akan cukup mampu mengoptimalkan pendapatan negara dari sektor pajak. Budaya ‘Sadar Pajak’ harus digalakkan, bahwa dengan membayar pajak, kita sudah berkontribusi besar bagi keberlangsungan negara ini.

Munculnya nama Syahrini, atau Fadli Zon dan Fahri Hamzah dalam persidangan kasus suap di Ditjen pajak, tentu menjadi preseden bahwa masih banyak artis, politisi, pejabat, pengusaha, dan berbagai profesi lainnya yang belum sadar pentingnya membayar pajak. Bahkan kalau mau disatir-satirkan, kita bisa saja mengatakan bahwa orang-orang yang paling paham tentang fungsi pajak seringkali menjadi mereka-mereka yang bermain-main dan enggan membayar pajak. Benarkah demikian?

Oliver Wendell Holmes Jr. (1841-1935) – seorang ahli hukum Amerika Serikat – pernah mengatakan: “I like to pay taxes. With them, I buy civilization.” Membayar pajak sama dengan membayar peradaban karena pajak berkontribusi bagi pembangunan infrastruktur dan pelayanan di sektor publik. Membayar pajak juga berarti berkontribusi bagi kemajuan pembangunan negara secara keseluruhan, dan pada ujungnya akan dinikmati oleh masyarakat sendiri. Budaya ‘Sadar Pajak’, itulah yang harus terus dikembangkan. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.