Pembangunan ekonomi dan polusi udara kerap dianggap sebagai sesuatu yang bertentangan. Peraih Nobel Ekonomi dari Yale University William Nordhaus boleh jadi punya gagasan untuk menjembatani kedua hal itu.
Pinterpolitik.com
Polusi Jakarta seperti tidak pernah ada habisnya. Sempat membaik akibat padamnya listrik secara massal, kondisi udara di kawasan ibu kota kembali berada di titik yang tak terlalu aman. Hal ini seperti menggambarkan bahwa Jakarta sudah dalam keadaan darurat untuk perkara polusi.
Semua berharap bahwa pemerintah bisa bertindak dalam memperbaiki kualitas udara yang dihirup warganya. Di atas kertas, tentu tidak mudah karena masalah ini dalam kadar tertentu amat terkait dengan urusan pembangunan ekonomi. Bagi lembaga internasional sekelas PBB sekalipun, polusi dianggap sebagai tanda berjalannya pembangunan.
Tentu, tak ada yang memungkiri bahwa ekonomi negeri ini harus berada dalam kondisi yang prima. Meski begitu, sulit bagi banyak orang untuk bisa merelakan kesehatan udara yang dihirup semata-mata demi pembangunan ekonomi. Jelas, perlu ada solusi yang menjembatani dua hal yang sama-sama krusial bagi kelangsungan hidup masyarakat.
Dalam konteks tersebut, peraih Nobel Ekonomi dari Yale University William Nordhaus boleh jadi bisa menjadi pembangun jembatan itu. Nordhaus dikenal karena memiliki gagasan tentang pembangunan yang tak mengabaikan kondisi lingkungan.
Lalu, bagaimanakah pemikiran Nordhaus ini dapat membantu cara pandang pemerintah dalam menyelaraskan pembangunan dan isu lingkungan?
Polusi dan Pembangunan
Sudah berhari-hari Jakarta diselimuti oleh udara kotor. Dalam pantauan AirVisual, Jakarta pernah menduduki posisi puncak dalam kota terpolusi di dunia. Catatan itu tentu bukan catatan baik bagi ibu kota yang ingin menciptakan lingkungan nyaman bagi penduduknya.
Perkara polusi ini sebenarnya dilematis. Menurut perwakilan Sekretaris Jenderal PBB Rachel Kyte, bagi negara berkembang seperti Indonesia, hal ini tergolong lumrah karena menjadi tanda berjalannya pembangunan.
Indonesia sendiri kini tengah bergeliat dengan berbagai pembangunannya. Secara umum, pemerintah memang seperti mengejar target agar kondisi ekonomi Indonesia berada dalam titik yang benar-benar prima. Dalam kadar tertentu, upaya mengejar target ini memang tak selalu sejalan dengan agenda untuk menjaga lingkungan tetap lestari.
Dalam kasus polusi Jakarta, penyebab tercemarnya udara ini memang kerap ditudingkan kepada aktivitas ekonomi warga ibu kota. Laju kendaraan masyarakat yang pergi bekerja dan berniaga dianggap menjadi salah satu penyebab utama dari tak sehatnya udara di Jakarta.
Selain itu, penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sebagai sumber tenaga listrik utama juga dianggap berkontribusi pada memburuknya indeks udara Jakarta. Padahal, listrik dari PLTU ini mau tidak mau adalah salah satu tumpuan bagi berbagai aktivitas ekonomi di negeri ini.
Hal tersebut tentu belum termasuk dengan berbagai industri yang mengeluarkan emisi gas buang yang bisa mencemari udara. Padahal, berbagai kondisi tersebut, sebenarnya menjadi tumpuan untuk meningkatkan kondisi ekonomi Indonesia di mata dunia.
Jika mau adil, polusi sendiri sebenarnya dapat memberikan dampak buruk bagi perekonomian, sebuah hal yang juga disoroti oleh PBB. Polusi dapat mengancam manusia, mengurangi kemampuan manusia untuk bekerja, mempengaruhi produk-produk vital seperti makanan, dan lain sebagainya. Untuk itu, penting untuk ditelusuri bagaimana agar perkara polusi ini bisa sejalan dengan urusan ekonomi.
Memaksa Pertanggungjawaban
Pembangunan ekonomi dan isu lingkungan kerap kali dianggap sesuatu yang bertentangan. Di kala pembangunan ekonomi dilakukan secara masif, sering kali masalah-masalah lingkungan seperti polusi hingga perubahan iklim menjadi sesuatu yang dikesampingkan.
Menurut William Nordhaus, hal tersebut tidak harus selalu berjalan demikian. Nordhaus dikenal karena mendapatkan hadiah nobel di bidang ekonomi melalui pemikirannya yang mengintegrasikan perubahan iklim ke dalam analisis ekonomi makro jangka panjang.
Salah usulan yang terkait dengan gagasan dari Nordhaus adalah tentang pemberlakuan pajak karbon. Nordhaus berpandangan bahwa pemerintah seharusnya memaksa para penyebab polusi untuk membayar atas kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas mereka.
Riset yang dilakukan Nordhaus bahkan memiliki kesimpulan cukup ekstrem dalam penerapan pajak karbon tersebut. Menurutnya, pajak tersebut bisa lebih efektif menekan emisi gas buang ketimbang menerapkan aturan tentang pembatasan mobil dan pembangkit listrik.
Nordhaus mengakui bahwa ada kegagalan penerapan pajak karbon di negara-negara Uni Eropa. Meski begitu, di negara-negara seperti Kanada dan Korea Selatan, pemberlakuan pajak karbon tidak hanya menunjukkan kerjanya dengan baik, tetapi juga menunjukkan tanda bahwa hal itu bisa menjadi keuntungan finansial tersendiri bagi pembayar pajak.
Ada sebuah ilustrasi mengapa kebijakan itu bisa berhasil di negara seperti Kanada. Di provinsi British Columbia, skema yang berlaku adalah terjadi kenaikan harga untuk barang-barang karbon, sementara terjadi penurunan harga barang-barang non-karbon.
Model tersebut dianggap sebagai solusi yang dapat bekerja dengan baik. Penerapan kebijakan semacam ini dapat memberikan efek ekonomi yang tepat, tetapi secara politik tidak terlalu mengundang banyak masalah.
Bisa Jadi Solusi?
Selama ini, publik terus menunggu-nunggu political will pemerintah dalam menangani perkara polusi yang memburuk. Pasalnya, hari ini boleh saja indeksnya membaik, tetapi tidak ada jaminan hal itu akan bertahan lama di masa depan seiring dengan pembangunan dan aktivitas ekonomi yang kian masif.
Merujuk pada hal tersebut, penerapan pajak karbon yang disarankan oleh Nordhaus bisa menjadi salah satu cara untuk menunjukkan political will tersebut. Seperti yang digambarkan profesor dari Yale University tersebut, kebijakan ini dapat memaksa para penyebab polusi untuk bertanggung jawab atas aktivitas mereka.
Indonesia sendiri sebenarnya punya rancangan khusus terkait dengan penerapan pajak karbon tersebut. Pemerintah bahkan sudah memiliki target agar berbagai rancangan peraturan tentang pajak karbon ini bisa rampung di tahun 2020.
Meski demikian, political will terkait dengan pajak karbon ini boleh jadi tak hanya bersifat legal dan institusional saja. Masalah pembangunan dan lingkungan ini sebenarnya memiliki keterkaitan dengan masalah ekonomi politik. Pemerintah misalnya harus bisa menemukan formulasi yang tepat agar pajak itu bisa tepat menyasar pelaku industri yang menimbulkan pencemaran udara.
Perlu diakui bahwa banyak politisi yang ada di pemerintahan saat ini memiliki beragam kerterikatan dan jejaring dengan aktivitas usaha yang mencemari udara. Tak jarang, ada politisi yang sejatinya adalah pengusaha di bidang-bidang usaha semacam itu.
Hal ini membuat penerapan kebijakan semacam pajak karbon menjadi hal yang tidak mudah. Sulit untuk membayangkan bahwa para politisi yang dekat para pengusaha ini dengan mudah merelakan munculnya pajak baru bagi para pengusaha.
Boleh jadi, model yang dijadikan contoh oleh Nordhaus di British Columbia dapat menjadi salah satu solusi penerapan kebijakan ini. Di satu sisi, korporasi yang mencemari udara tetap bertanggung jawab atas aktivitas usaha mereka. Di sisi yang lain, mereka juga dilepaskan bebannya dari kewajiban lain yang membebani pengeluaran mereka.
Pajak karbon dapat menjadi solusi bagi polusi di Jakarta Share on XHal tersebut juga bisa saja menjadi solusi untuk menjembatani masalah pembangunan ekonomi dan lingkungan yang kerap dipertentangkan. Seperti yang dikatakan Nordhaus, model tersebut secara ekonomi tepat dan secara politik tak terlalu bermasalah.
Pada akhirnya, pemerintah jelas harus punya strategi khusus terkait dengan polusi udara Jakarta yang masih berpotensi memburuk. Kita tunggu saja apakah di tahun 2020 nanti kebijakan ini akan berlaku dan menjadi solusi bagi pembangunan ekonomi dan lingkungan di negeri ini. (H33)
Mari lawan polusi udara Jakarta melalui tulisanmu. Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.