Site icon PinterPolitik.com

Pajak: Gesit atau Putus Asa?

Pajak: Gesit atau Putus Asa?

foto: pajak.go.id

Jelang tutup tahun, pemerintah mulai kejar setoran untuk memenuhi target pajak. Beragam sektor menjadi sasaran pemerintah agar target tersebut tercapai.


PinterPolitik.com

[dropcap size=big]T[/dropcap]idak ada lagi yang aman dari pajak. Begitulah kira-kira kondisi yang terjadi saat ini. Setelah menyasar melalui amnesti pajak, terkini pemerintah akan menerbitkan pajak untuk e-commerce. Rencana pemerintah ini membuat gerah para pengusaha di bidang bisnis daring ini. Sebelumnya pemerintah juga mewacanakan banyak sektor lain yang akan dikenai pajak.

Langkah pemerintah ini bisa saja dilihat sebagai sebuah langkah yang gesit. Potensi pajak di negeri ini masih banyak yang belum tergali. Padahal penerimaan dari pajak seringkali berada dalam angka yang rendah, sementara belanja kian membengkak.

Akan tetapi pilihan pemerintah untuk mengenakan pajak pada hampir semua sektor ini juga bisa menjadi penanda pemerintah tengah dilanda kepanikan. Target pajak tahun ini terancam tidak tercapai, sementara ada banyak belanja yang harus dikejar. Belum lagi utang yang mencapai 3.825,79 triliun rupiah. Apakah ini sebuah langkah gesit atau putus asa dari pemerintah?

Mengejar Target Tahun Ini

Menjelang akhir 2017, Direktorat Jenderal Pajak harus mengejar target sisa 513 triliun rupiah atau sekitar 40 persen dari target tahun ini. Target penerimaan pajak tahun ini sendiri adalah 1.283,6 triliun rupiah. Angka yang dikejar itu tentu saja cukup besar mengingat tahun ini hanya tersisa tiga bulan lagi.

Banyak yang menduga target tersebut akan sulit terpenuhi pada saat tutup tahun. Banyak analis menganggap bahwa target penerimaan hingga 1.283,6 adalah hal yang ambisius. Mereka memperkirakan target tersebut hanya akan tercapai maksimal 89-92% dari target. Hal ini berarti ada risiko penerimaan meleset sekitar Rp 102,7 triliun hingga Rp 141,2 triliun.

Di atas kertas, meski terancam tidak memenuhi target, secara nominal tetap ada kenaikan penerimaan dari tahun lalu. Pada tahun 2016 lalu penerimaan pajak mencapai 1.105 triliun. Meski begitu, pertumbuhan tersebut tidak cukup untuk menunjang kebutuhan.

Tidak tercapainya target tersebut menyimpan beragam konsekuensi. Risiko fiskal dapat meningkat dan berpotensi mengancam pertumbuhan ekonomi. Dampaknya dapat berlanjut ke sulitnya penciptaan lapangan kerja dan kenaikan angka kemiskinan.

Jika target tersebut tidak terpenuhi maka pemerintah harus menempuh cara lain. Skenario yang dapat ditempuh adalah memperbesar defisit APBN atau memotong anggaran belanja negara. Memperbesar defisit APBN berarti menambah utang. Langkah ini sangat dilematis mengingat kini pemerintah tengah dihujani kritik karena banyaknya utang negara.

Opsi penghematan juga dapat diambil pemerintah. Hal ini berarti pemerintah harus mengurangi banyak belanja pemerintah terutama belanja modal atau belanja infrastruktur dan juga alokasi dana untuk kementerian/lembaga dan transfer daerah. Ini juga dilematis dikarenakan pemerintah tengah menggenjot pembangunan di berbagai wilayah.

Menyasar Berbagai Sektor

Raihan pajak yang masih jauh dari target membuat pemerintah mulai menyisir berbagai sektor di negeri ini. Kini hampir semua sektor ‘tidak aman’ dari pajak. Sektor-sektor yang semula tidak terjamah segera akan masuk target pajak.

Pemerintah berencana akan menerbitkan aturan mengenai pajak e-commerce dalam waktu dekat. Skema yang berlaku pada peraturan ini adalah dengan cara menagih melalui toko daring atau marketplace yang digunakan. Perusahaan-perusahaan marketplace tersebut yang akan ditunjuk sebagai pemotong pajak.

Tidak berhenti di situ, individu yang memperoleh untung dari internet lain juga akan dikejar pajak penghasilannya. Dalam hal ini, para buzzer dan selebriti instagram (selebgram) juga akan menjadi sasaran pajak. Nantinya skema pajak penghasilan dari pencari untung di internet ini akan berbeda dengan pajak penghasilan pada umumnya.

Sebelumnya pemerintah juga akan menyasar pajak dari kepemilikan telepon genggam. Telepon genggam akan menjadi harta yang wajib dilaporkan dalam laporan pajak. Pemerintah menyebut bahwa aturan ini telah dibuat lama yaitu dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Tidak hanya itu, beberapa waktu lalu juga para petani tebu melakukan protes karena adanya pajak pertambahan nilai (PPN) yang akan dikenakan pada petani  tebu. Kebijakan ini merugikan petani karena pajak idealnya dibebankan pada konsumen – walaupun rencana ini sendiri pada akhirnya batal.

Langkah Putus Asa?

Rasio pajak di negeri ini seringkali berada dalam angka yang rendah. Idealnya, rasio pajak berada di angka 15 persen sehingga ada cukup ruang fiskal untuk pembangunan infrastruktur. Rendahnya rasio pajak ini salah satunya disebabkan oleh belum diketahuinya potensi riil penerimaan pajak yang dapat digali.

Di satu sisi langkah pemerintah untuk menyasar berbagai sektor bisa menjadi sebuah langkah yang gesit. Ada banyak potensi pajak yang belum terlingkupi sejauh ini. Penerimaan pajak yang dihasilkan dari APBN setiap tahunnya juga masih tergolong minim. Jumlah wajib pajak kerapkali tidak mencerminkan potensi pajak yang sesungguhnya.

Pemerintah kemudian mengambil langkah untuk terus mencari obyek pajak baru. Berbagai jenis usaha yang penghasilannya dapat mencapai ratusan juta rupiah menjadi sasarannya. Hal ini dimaksudkan agar penerimaan pajak dapat memenuhi target.

Meski begitu, langkah pemerintah ini bisa dianggap sebagai langkah yang limbung. Pemerintah seolah panik dikarenakan beragam target pendapatan tahun ini terancam tak tercapai. Sementara itu pemerintah juga harus melakukan banyak belanja terutama di bidang infrastruktur dan pembayaran utang.

Pemerintah pun beralih ke solusi yang dianggap mudah: rakyat. Aksi pemerintah yang menerapkan pajak di berbagai sektor dapat diartikan sebagai ‘pemerasan’ terhadap rakyatnya sendiri. Ambisi pemerintah untuk mengakselerasi pembangunan infrastruktur harus dibebankan pada rakyat mereka sendiri – yang sayangnya malah menyasar masyarakat berpendapatan menengah ke bawah.

Rakyat harus rela uang pajak mereka diperas habis-habisan untuk menambal APBN yang kian bocor di mana-mana. Ironis jika mengingat bahwa pada APBN tahun 2017, 20 persen-nya  habis untuk membayar utang. Hal ini berarti rakyat harus rela uangnya digunakan untuk membayar utang pemerintah. Angka ini akan membengkak hingga 30 persen pada APBN tahun 2018.

Yang juga ironi adalah bahwa untuk memenuhi target pajak tahun ini, pemerintah gencar melakukan strategi  penyanderaan atau gijzeling. Langkah ini memang bentuk penegakan hukum dan dibenarkan oleh undang-undang. Orang yang memiliki tagihan utang pajak 100 triliun rupiah dapat disandera agar tidak terus membandel.

Meski dibenarkan secara hukum, langkah ini bisa menjadi sinyal pemerintah tengah putus asa. Gijzeling lazimnya adalah langkah terakhir yang ditempuh jika wajib pajak terus-menerus membandel. Akan tetapi, di tahun ini, Ditjen Pajak seperti kejar setoran dengan mewajibkan semua Kantor Pajak Pratama (KPP) untuk melakukan penyanderaan.

Langkah pemerintah dengan menggenjot pajak juga dapat bersifat kontraproduktif. Di tengah perekenomian yang tengah lesu dan minat belanja yang kian turun, strategi mengejar pajak bisa menjadi bumerang. Orang dapat lebih memilih menahan uang mereka di rekening ketimbang berbelanja dengan pajak yang tinggi.

Dampak lainnya adalah adanya kemungkinan tax avoidance atau penghindaran pajak. Terdapat potensi transaksi di bawah tangan atau tidak dilaporkan ke pajak menjadi lebih banyak. Hal ini berarti pendapatan pajak justru berkurang alih-alih bertambah.

Pemerintah sebaiknya berhati-hati dalam menentukan langkah terkait target pajak ini. Pemerintah bisa saja meninjau ulang pengeluaran yang sia-sia dan proyek infrastruktur yang belum mendesak. Jika harus menyasar pemasukan dari pajak pemerintah sebaiknya menargetkan ‘big fish’ ketimbang wajib pajak kecil. Apapun langkah yang diambil sebaiknya tidak menunjukkan sikap putus asa pemerintah dan membebani rakyat banyak. (Berbagai sumber/H33).

Exit mobile version