HomeNalar PolitikPahitnya Politik Gula

Pahitnya Politik Gula

Kecil Besar

Indonesia pernah menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia pada tahun 1930-an. Saat itu, produksi gula Indonesia hanya kalah dari Kuba. Saat ini, Indonesia malah menjadi importir gula terbesar nomor dua di dunia.


PinterPolitik.com

[dropcap size=big]A[/dropcap]ksi demonstrasi ribuan petani tebu di depan Istana Negara pada 28 Agustus 2017 lalu memang tidak banyak dibicarakan dan diberitakan – realita yang agak aneh di negara yang menyebut diri agraris ini. Jika mengacu pada keberadaan gula sebagai salah satu dari sembilan bahan pokok (sembako), persoalan tentang gula selayaknya mendapatkan perhatian lebih, sama halnya dengan cabai, beras, bawang merah, dan bahan pokok lainnya.

Demonstrasi yang dikomandoi oleh Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) ini dipicu oleh aksi Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyegel gula di 18 pabrik gula yang disebut tidak sesuai standar International Commission For Uniform Methods of Sugar Analysis (ICUMSA) – semacam standar edar gula internasional.

Akibatnya, peredaran gula petani menjadi terhambat di pasaran dan petani terancam merugi karena pemerintah berencana membeli gula – yang disegel dan disebut tidak berstandar itu – dengan harga yang murah. Padahal, biaya produksi petani tebu cenderung meningkat dalam beberapa tahun terakhir seiring menurunnya tingkat rendemen tebu (persentase kadar gula yang dihasilkan dari tebu).

Selain itu, para petani menuntut pemerintah bersikap adil terhadap para petani tebu yang selama ini dirugikan oleh kehadiran gula-gula impor yang umumnya berasal dari gula industri (gula rafinasi) yang bisa beredar sebagai gula konsumsi di pasaran.

Berbagai alasan yang dikemukakan oleh pemerintah adalah terkait pabrik-pabrik gula yang alat-alatnya sudah tua, manajemen perusahaan yang tidak bagus, dan lain sebagainya. Namun, alasan-alasan itu seolah tidak cukup untuk menggambarkan masalah yang sesungguhnya terjadi di negara ini: ada yang salah dengan politik gula Indonesia.

Utopia Kedaulatan Gula

Pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada peringatan Dies Natalis Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Rabu, 6 Juli 2017 kemarin seolah menggambarkan kondisi riil pertanian – termasuk tebu – di Indonesia. Jokowi memang menyebut banyak lulusan IPB yang lebih memilih menjadi pegawai bank ketimbang menjadi petani. Menurut Jokowi, mindset orang Indonesia masih menganggap pertanian sebagai hal yang sepele.

Namun, pernyataan ini seharusnya menjadi refleksi lanjutan: jangan-jangan dunia pertanian memang tidak menarik lagi untuk digeluti. Hal ini menjadi masuk akal jika dikaitkan dengan demonstrasi para petani tebu di awal tulisan. Jika petani saja tidak dilindungi dan diperhatikan kesejahteraannya, jangan harap pertanian akan menjadi sektor yang menarik untuk ditekuni.

Jeritan para petani tebu sesungguhnya menggambarkan dengan jelas bahwa sektor produksi gula masih menyisakan masalah yang tidak terselesaikan. Faktanya, Indonesia pernah menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia pada tahun 1930-an. Produksi gula Indonesia – yang saat itu masih dijajah Belanda – hanya kalah dari Kuba. Saat ini Indonesia malah menjadi importir gula terbesar nomor dua di dunia.

Baca juga :  Inikah Akhir Hidup NATO?

Data dari Asosiasi Gula Indonesia (AGI) menyebutkan bahwa tahun 2016 total impor gula Indonesia mencapai 3,2 juta metrik ton dan hanya kalah dari Tiongkok di urutan pertama dengan 6 juta metrik ton. Namun, data lain – umumnya dari publikasi internasional – menyebut angka impor gula Indonesia mencapai 3,6 juta metrik ton atau lebih besar dari data AGI. Jika dihitung secara keseluruhan, nilai impor gula Indonesia berkisar antara 2,1 – 2,4 miliar dollar per tahun atau hampir separuh dari nilai impor kendaraan (5,3 miliar dollar).

Politik Gula
Jokowi berbicara tentang ketahanan pangan saat pidato pada peringatan Dies Natalis IPB (Foto: Setkab)

Sektor gula Indonesia memang tidak pernah mengalami perbaikan. Brazil dan Thailand adalah dua negara yang mereformasi kebijakan produksi gula di negaranya. Hasilnya, saat ini Brazil adalah eksportir gula terbesar di dunia dan Thailand ada di ururtan kedua. Brazil bahkan memanfaatkan industri gula untuk pembangkit listrik dengan mengolah ampas tebu.

Sementara di Indonesia, dari 179 pabrik gula yang ada pada tahun 1930-an, saat ini hanya tersisa 50 pabrik yang dikelola BUMN. Bahkan, antara tahun 1982-2016 tidak ada pabrik gula baru yang didirikan oleh pemerintah. Baru pada tahun 2016 ada pabrik gula baru didirikan di Banyuwangi, Jawa Timur.

Selama ini, untuk mencukupi kebutuhan gula dalam negeri, Indonesia memang menerapkan kebijakan impor. Tercatat sejak tahun 1967 Indonesia mulai menerapkan kebijakan impor gula yang saat ini mayoritas berasal dari Thailand.

Sementara itu, produksi gula petani terus menurun, apalagi pabrik-pabrik gula di Indonesia umumnya merupakan pabrik peninggalan Belanda dan masih menggunakan peralatan pengolahan yang sudah berumur tua. Selain itu terkesan tidak adanya perlindungan pemerintah pada para petani tebu terutama dari kebijakan impor gula. Makin sulitlah gula-gula petani lokal bersaing di pasaran. Tanpa reformasi di sektor gula, sulit membayangkan ada perubahan, terutama bagi kesejahteraan para petani tebu.

Politik Impor Gula

Industri gula memang sejak lama menjadi mainan politik karena berkaitan dengan pengambilan kebijakan. Selama ini, kran impor gula hanya dibuka untuk sektor industri, sementara sektor konsumsi diberikan pada gula produksi petani lokal.

Namun, faktanya, kelebihan gula impor di sektor industri akhirnya membuat gula impor membanjiri pasar konsumsi. Jika data impor gula dibandingkan dengan kebutuhan gula dalam negeri, ada kelebihan impor yang jumlahnya mencapai lebih dari 400 ribu ton setiap tahunnya, setidaknya antara tahun 2016-2017. Bayangkan jika 400 ribu ton gula tersebut membanjiri pasaran, harga gula petani akan menjadi sangat murah. Bahkan, beberapa pihak – seperti ekonom Agus Pakpahan – menyebut 70 persen pasar gula di Indonesia sudah didominasi oleh bahan baku impor.

Gula rafinasi – umumnya  berwarna putih bersih dan digunakan untuk industri makanan dan minuman – semakin sering dijumpai di pasaran dengan kemasan yang diubah menjadi gula konsumsi. Akibatnya gula petani – yang umumnya berwarna lebih kecoklatan – menjadi murah. Hal yang memprihatinkan adalah apabila peredaran gula rafinasi terjadi pada musim panen petani. Petani harus merugi karena harga jual gula petani menjadi sangat murah.

Baca juga :  Ini Akhir Cerita Thohir Brothers?

Kebijakan Kementerian Perdagangan yang berencana untuk mengimpor gula mentah (raw sugar) dengan jumlah hingga 400 ribu ton di tahun 2017 juga patut dipertanyakan. Dari sisi harga memang lebih murah jika dibandingkan gula tebu petani. Tetapi, kebijakan ini tentu saja akan merugikan petani. Bahkan, perkebunan-perkebunan tebu rakyat boleh jadi akan bangkrut karena kebijakan ini. Faktanya, dalam beberapa tahun terakhir, izin impor gula selalu melebihi jumlah kebutuhan industri dalam negeri. Akibatnya, gula industri yang berlebih itu masuk ke pasaran konsumsi.

Sebagai catatan, dari impor 3 juta ton gula, Indonesia berpotensi kehilangan 3 juta lapangan pekerjaan, output dan total pendapatan untuk masyarakat pedesaan mencapai Rp 125 triliun, serta kesempatan untuk mengolah produk sampingan dari tebu – misalnya sebagai sumber energi. Jika mengimpor, 400 ribu ton gula impor hanya akan memberikan keuntungan 1 triliun untuk para importir atau hanya satu per enambelas dari total pendapatan petani tebu yang akan dinikmati oleh lebih banyak orang tentunya.

Ada Mafia?

Bukan rahasia lagi jika selama ini celah-celah kelebihan impor gula industri (gula rafinasi) dimainkan oleh mafia dan kartel untuk mendapatkan keuntungan. Tidak heran muncul dugaan bahwa ada upaya oknum di pemerintahan untuk melindungi kepentingan mafia-mafia gula. Hal ini misalnya disampaikan oleh Ketua Umum Dewan Pembina DPP APTRI, Arum Sabil – seperti dikutip dari Republika.co.id.

Menurut Sabil, penyegelan parbik-pabrik gula oleh Kementerian Perdagangan merupakan indikasi adanya para mafia gula yang berupaya agar gula lokal tidak terserap di pasar, sementara gula impor bisa laku di pasaran.

Artinya, persaingan di pasar gula memang menjadi perang terbuka antara importir gula dengan para produsen gula lokal. Kalau sudah melibatkan mafia, maka persoalan politik gula menjadi jauh lebih kompleks dan tidak lagi hanya berkaitan dengan perbaikan di sektor produksi dan pengolahan, tetapi sudah masuk ke ranah politik dan hukum.

Kasus suap impor gula yang menjerat mantan Ketua DPD, Irman Gusman beberapa waktu lalu merupakan salah satu contoh nyata bahwa persoalan pergulaan memang punya kadar politik yang tinggi. Jika persoalan ini dibiarkan, maka para petani lokal lah yang akan merugi. Masyarakat mungkin akan mendapatkan pasokan gula yang lebih murah, namun dalam jangka panjang Indonesia akan sulit mewujudkan kedaulatan gula nasional.

Pada akhirnya, jika petani gula tidak dilindungi, apalah artinya pidato Jokowi di IPB. Jokowi memang menyebut bahwa pangan, air dan energi akan menentukan masa depan dunia. Jika nasib petani tidak dilindungi, bagaimana mau berharap ketahanan pangan di masa depan? Semoga pergulaan tetap semanis rasanya dan menyejahterakan para petani tebu. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo Lost in Translation

Komunikasi pemerintahan Prabowo dinilai kacau dan amburadul. Baik Prabowo maupun para pembantunya dianggap tak cermat dalam melemparkan tanggapan dan jawaban atas isu tertentu kepada publik, sehingga gampang dipelintir dan dijadikan bahan kritik.

2029 Anies Fade Away atau Menyala?

Ekspektasi terhadap Anies Baswedan tampak masih eksis, terlebih dalam konteks respons, telaah, dan positioning kebijakan pemerintah. Respons dan manuver Anies pun bukan tidak mungkin menjadi kepingan yang akan membentuk skenario menuju pencalonannya di Pilpres 2029.

The Pig Head in Tempo

Teror kepala babi dan bangkai tikus jadi bentuk ancaman kepada kerja-kerja jurnalisme. Sebagai pilar ke-4 demokrasi, sudah selayaknya jurnalisme beroperasi dalam kondisi yang bebas dari tekanan.

PDIP Terpaksa “Tunduk” Kepada Jokowi?

PDIP melalui Puan Maharani dan Joko Widodo (Jokowi) tampak menunjukan relasi yang baik-baik saja setelah bertemu di agenda Ramadan Partai NasDem kemarin (21/3). Intrik elite PDIP seperti Deddy Sitorus, dengan Jokowi sebelumnya seolah seperti drama semata saat berkaca pada manuver PDIP yang diharapkan menjadi penyeimbang pemerintah tetapi justru bersikap sebaliknya. Lalu, kemana sebenarnya arah politik PDIP? Apakah akhirnya secara tak langsung PDIP akan “tunduk” kepada Jokowi?

The Irreplaceable Luhut B. Pandjaitan? 

Di era kepresidenan Joko Widodo (Jokowi), Luhut Binsar Pandjaitan terlihat jadi orang yang diandalkan untuk jadi komunikator setiap kali ada isu genting. Mungkinkah Presiden Prabowo Subianto juga memerlukan sosok seperti Luhut? 

The Danger Lies in Sri Mulyani?

IHSG anjlok. Sementara APBN defisit hingga Rp31 triliun di awal tahun.

Deddy Corbuzier: the Villain?

Stafsus Kemhan Deddy Corbuzier kembali tuai kontroversi dengan video soal polemik revisi UU TNI. Pertanyaannya kemudian: mengapa Deddy?

Sejauh Mana “Kesucian” Ahok?

Pasca spill memiliki catatan bobrok Pertamina dan dipanggil Kejaksaan Agung untuk bersaksi, “kesucian” Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok seolah diuji. Utamanya, terkait pertaruhan apakah dirinya justru seharusnya bertanggung jawab atas skandal dan kasus rasuah perusahaan plat merah tempat di mana dirinya menjadi Komisasis Utama dahulu.

More Stories

Prabowo Lost in Translation

Komunikasi pemerintahan Prabowo dinilai kacau dan amburadul. Baik Prabowo maupun para pembantunya dianggap tak cermat dalam melemparkan tanggapan dan jawaban atas isu tertentu kepada publik, sehingga gampang dipelintir dan dijadikan bahan kritik.

The Pig Head in Tempo

Teror kepala babi dan bangkai tikus jadi bentuk ancaman kepada kerja-kerja jurnalisme. Sebagai pilar ke-4 demokrasi, sudah selayaknya jurnalisme beroperasi dalam kondisi yang bebas dari tekanan.

The Danger Lies in Sri Mulyani?

IHSG anjlok. Sementara APBN defisit hingga Rp31 triliun di awal tahun.