Pinjaman yang diberikan Jokowi, akan untung atau malah membuntungkan mahasiswa miskin?
PinterPolitik.com
[dropcap]S[/dropcap]etelah menyindir para bos besar perbankan karena gagal mencapai target pertumbuhan kredit, Jokowi muncul dengan ide kredit pendidikan atau yang akrab dikenal dengan student loans. Program atau kebijakan pendidikan tersebut, secara sederhana merupakan skema peminjaman uang kepada mahasiswa atau pelajar untuk keperluan bersekolah dan melunasinya setelah lulus kuliah.
Ide tersebut memang tak datang begitu saja kepada Jokowi. Dirinya melihat bagaimana model kredit pendidikan berjalan di Amerika Serikat (AS). Jokowi kaget sekaligus antusias melihat bagaimana total pinjaman kartu kredit di AS mencapai 800 miliar dollar AS. Sedangkan total pinjaman total pinjaman kredit pendidikannya mencapai 1,3 triliun dollar AS.
Apa yang direncanakan Jokowi, mau tak mau, disambut hangat dan positif oleh mayoritas bos perbankan. Salah satunya Direktur Utama Bank Mandiri Kartika Wirjoatmodjo yang sejak awal mewanti-wanti jikalau kredit pendidikan mengalami macet, bisa ditangani dengan NIK untuk mengidentifikasi identitas peminjamnya. “Dulu tidak ada elektronik identifikasi, kadang-kadang orang itu berpindah-pindah, jadi susah mengidentifikasi,” ungkapnya.
Dibandingkan dengan Kartika, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso, punya suara lebih hangat menyambut rancangan kredit pendidikan Jokowi. Ia mantap menyebut ide Presiden akan terwujud dan penerapannya tak membutuhkan peraturan khusus. “Kalau Kredit Tanpa Agunan (KTA) kan bayarnya bisa setiap bulan. Nanti student loan itu ada opsinya, mau bayar setiap bulan, mau bayar nanti kalau dapat beasiswa, atau kalau sudah kerja. Bunganya juga harus sangat rendah, murah,” ujar Wimboh.
Respon positif dan hangat yang datang dari para petinggi bank dan lembaga keuangan terhadap ide Jokowi, bukanlah hal unik. Bila kebijakan tersebut dijalankan, bisa dikatakan mereka adalah pihak yang dapat keuntungan, sebab tak menutup kemungkinan, mereka akan kebanjiran banyak nasabah berusia 17 atau awal 20 tahun.
Perlu pula mengingat fakta bila kebijakan serupa, sebetulnya pernah diberlakukan di masa Orde Baru, tepatnya di tahun 1980-an. Sayangnya, kebijakan tersebut harus menelan pil pahit karena ternyata para nasabah muda tersebut, tak bisa melunasi hutang-hutangnya.
Melihat contoh di atas, bukan sebuah kemustahilan bila Indonesia akan kembali mengulang kesalahan yang sama. Jika perencanaan dan sistem pinjaman yang diberlakukan tak banyak melakukan analisis dan kajian mendalam, maka kebijakan pemerintah malah berujung buntung.
Padahal Student Loan seperti yang di USA terbukti gagal karena justru berdampak pada meroketnya biaya pendidikan pula. Setelah lulus dituntut u/ cari pekerjaan dgn upah setinggi mungkin untuk bayar hutang. Tolong dipertimbang pak @jokowi 🙁 https://t.co/GT8k02UDWr
— diana (@dianaffh) March 15, 2018
Lantas, bagaimana pula kebijakan ini berjalan di AS? Negara yang menjadi cermin kebijakan student loan bagi presiden Jokowi. Apakah kebijakan ini mampu menarik pemilih muda yang baru mendapatkan hak politik mencoblos untuk mendukung Jokowi dalam gelaran Pilpres 2019 mendatang?
Bagaimana dengan Paman Sam?
Di AS, kebijakan kredit pendidikan atau yang disebut student loan sangat populer. Saking populernya, kebijakan ini pasti menjadi pembahasan dan perbincangan presiden yang bertugas di masanya. Di masa Presiden Obama, banyak universitas swasta harus tutup, karena dampak nasabah yang tak bisa membayar hutangnya. Sementara di masa Pemerintahan Donald Trump, pengampunan pinjaman bahkan terancam dihapuskan dan mengeluarkan kemungkinan untuk menyeret penunggak hutang ke meja hijau.
Kebijakan student loan di AS memiliki sisi yang beragam. Ia bisa menolong sekaligus mencekik saat peminjam harus melunasi hutang. Sekitar 70 persen mahasiswa yang lulus di AS, memikul beban hutang hingga ratusan juta, atau sesuai besaran pinjaman yang diambilnya selama masa belajar. Nilai itu harus dilunasi dalam waktu 10 atau 20 tahun. Bila gagal, hutang akan diteruskan kepada pihak keluarga atau nasabah dilaporkan kreditor ke pengadilan.
Tak bisa dipungkiri pula, kebijakan student loans punya pengaruh menghantarkan masyarakat mengakses pendidikan tinggi, terutama mereka yang miskin. Tetapi, perlu diketahui pula bahwa banyaknya mahasiswa yang mengakses pendidikan tersebut rata-rata gugur di tengah masa perkuliahan (DO). Angka DO ini mencapai 20 persen dari keseluruhan peminjam biaya pendidikan. Alih-alih menlanjutkan pendidikan, mahasiswa DO ini bekerja banting tulang untuk membayar hutangnya.
Proses pelunasan student loans menjadi rahasia umum, merupakan hal yang paling memberatkan. Beban hutang puluhan hingga ratusan juta ini, masih harus ditambah bunga yang juga dipengaruhi oleh inflasi dollar. Dengan demikian, bisa disepakati bila kebijakan student loans di AS adalah kebijakan yang sangat berisiko tinggi, karena menuntut komitmen hingga puluhan tahun untuk melunasi pinjamannya.
Tak hanya berisiko bagi peminjam, ini juga berisiko bagi pemerintah. Pada Februari 2018, Pemerintah AS berkata bila student loan menjadi salah satu penghambat ekonomi karena kelemahan peminjam melunasi hutangnya. Melihat hal ini, sangat penting bagi pemerintah Indonesia untuk mendalami risiko dan menelaah kekuatan masyarakat dalam melunasi hutang student loans. Dengan tak hanya melihat keuntungan yang diraup oleh bank swasta karena kebanjiran nasabah semata.
Meminimalisir Kesalahan yang Sama
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Indonesia pernah menjalankan kebijakan serupa di masa pemerintahan Soeharto di tahun 1980-an dengan istilah Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI). Hal tersebut, sayangnya, harus berakhir pahit karena nasabahnya tak ada yang bisa melunasi hutang. Sebagai gantinya, banyak ijazah ditahan oleh kampus. Presiden Jokowi bukan tak mungkin akan menemui kendala serupa nantinya.
Perencana Keuangan dari Finansia Consulting, Eko Endarto, berkata bahwa pemerintah wajib memberikan sosialisasi yang lengkap, sehingga penerima pinjaman tidak merasa student loans sebagai ‘uang berkah’ mendadak atau uang yang jatuh dari langit.
Tak hanya itu, penerima juga wajib memiliki rasa tanggung jawab besar, serta sanksi yang kuat untuk menindak para peminjam yang tak bisa membayar. “Jangan lupa, sanksinya juga harus ada. Kalau enggak ada sanksi, sistemnya juga harus kuat supaya ketika lulusan sudah dapat pekerjaan, otomatis langsung dipotong, sehingga pinjaman ini bisa bermanfaat dan tidak merugikan pemerintah,” tutur Eko.
Pernyataan Eko, bisa disambut hangat tetapi juga sulit untuk tidak dilihat skeptis. Di AS, hal yang sama pun sudah diberlakukan, tetapi ternyata belum mampu menghindarkan negara itu dari goncangan ekonomi, karena terhambatnya pembayaran hutang.
Alangkah bijaksana, bila pemerintah juga menyediakan sosialisasi mengenai perencanaan keuangan bagi para peminjam dana pendidikan untuk beberapa puluh tahun ke depan. Jadi, tak hanya membeberkan sanksi dan proses peminjaman, penyuluhan kesiapan finansial juga dimasukan. Dengan kata lain, Pemerintah memberi tahu pula bagaimana para mahasiswa tersebut membereskan hutangnya.
Ini bukan tanpa alasan, sebab sarjana Indonesia rentan berhadapan dengan pengangguran. Sebuah data menunjukkan bahwa sarjana menganggur di Indonesia mencapai 2,6 juta orang. Bahkan jumlah keluaran universitas tiap tahunnya mencapai 60 persen, sedangkan yang terserap lapangan kerja hanya 37 persen. Artinya dengan kondisi kerja demikian, student loan hanya akan memaksa mahasiwa menanggung utang seumur hidup. Kondisi ini bahkan belum membicarakan biaya pendidikan yang terus meroket, otomatis bunga pinjaman akan semakin tinggi.
Tetapi, saat ini pun proses kajian dan penggodokan ide student loans masih berjalan, sehingga kritik dan penilaian terhadap sistem dan proses yang akan berlaku belum bisa dianalisis lebih jauh. Bila pihak perbankan dan pemerintah hanya ‘mentah-mentah’ menjiplak kebijakan AS tanpa lebih dalam melihat kekuatan ekonomi para nasabah mudanya, maka tak perlu mengelak bila suatu hari pemerintah dilabeli dengan ‘tukang jiplak’ atau bahkan pemalas oleh rakyat.
Di sisi lain, beberapa institusi atau lembaga pendidikan di Indonesia ternyata sudah memiliki fasilitas khusus semacam ini. Salah satunya adalah Yayasan Sosial Bina Sejahtera di Cilacap, Jawa Tengah. Lembaga ini memberikan dana sebesar Rp. 11 juta yang harus dikembalikan dalam jangka waktu tiga tahun tanpa bunga. Dana yang diberikan bisa dibelikan seragam, uang ujian, buku, dan SPP.
Pinjaman pendidikan serupa juga diterapkan di Universitas Surya yang ada di Serpong, Tangerang. Mahasiswa bahkan diwajibkan mengambil pinjaman ini setiap bulan, tanpa bunga. Sementara itu, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) yang tak memungut biaya dari mahasiswanya, akan berbalik ‘menagih’ biaya pendidikan bila mahasiswa dinyatakan DO atau melanggar kesepakatan atau mengundurkan diri. Mahasiswa bisa mengganti biaya lebih dari 20 juta dari sana.
Bila diperhatikan kembali, kebijakan student loans memang memiliki keuntungan dan kebuntungannya sendiri, tergantung dari regulasi dan sistem yang mengaturnya. Dari sini, tak bisa dipungkiri pula, kebijakan tersebut lahir dari bentuk atau usaha penyesuaian diri terhadap dunia kerja yang makin kompetitif.
Kredit Berubah Menjadi Suara
Dari kebijakan ini, mustahil untuk tidak melihat bagaimana suara anak muda akan berlabuh kepada Jokowi. Seperti yang disampaikan oleh Kompas, animo pemilih muda terhadap Pemilu 2019 terbilang tinggi, walau preferensi politik masih sangat labil. Kelompok ini menempati jumlah laki-laki sebanyak 129, 98 juta dan perempuan sebanyak 128, 71 juta.
Pemilih muda, yang juga menjadi target kebijakan student loan ini nanti, merupakan kelompok warga negara yang sudah memiliki hak memilih dalam pemilu dalam usia rentang 17 – 30 tahun. Rentang usia ini, merupakan kelompok dengan karakter yang cepat berubah, mengikuti isu terkini, dan pola pemilihannya tidak lagi berbasis tradisional (ideologi, sosiologi, psikologi) yang hingga saat ini masih kerap digunakan Parpol untuk meraup suara.
Selain itu, pemilih muda ini adalah kelompok yang sangat berorientasi pada kebijakan Parpol. Sebanyak 53,8 persen responden mengaku memilih sosok atas dasar visi, misi, dan program kerjanya. Bukan tak mungkin nantinya Presiden Jokowi akan meraup simpati dari para kelompok muda atas kebijakan pinjaman pendidikan ini. Besarnya kelompok ini pun tak bisa diremehkan dalam Pemilu 2019 mendatang.
Bila Presiden Jokowi berhasil menciptakan skema pinjaman dana yang lebih ‘ramah’, entah bagaimana caranya, daripada apa yang diberlakukan di AS, maka tak menutup kemungkinan, pada Pemilu 2019 mendatang, Jokowi bisa lantang menyanyikan lagu Batak yang terkenal Anakkon hi Do Hamoraon di Ahu (Anakku adalah Kekayaanku) bersama dengan para pemilih muda.
Dan bila yang terjadi sebaliknya, Jokowi hanya akan menyaringkan sebuah nyanyian orang miskin berbunyi, “Orang hidup dan bekerja untuk membayar utang”. (A27)