Site icon PinterPolitik.com

OTT Nurdin Abdullah, Megawati Harus Pensiun?

OTT Nurdin Abdullah, Megawati Harus Pensiun?

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri (Foto: Pikiran Rakyat)

OTT Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) Nurdin Abdullah oleh KPK menambah daftar panjang kader PDIP yang terlibat kasus korupsi. Hal ini kemudian membuat sejumlah pihak mulai mempertanyakan kepemimpinan Megawati Soekarnoputri di partai banteng. Apakah Mega memang sudah seharusnya menyerahkan tampuk kepemimpinan PDIP kepada penerusnya?


PinterPolitik.com

Publik mungkin sudah bosan mendengar kabar ditangkapnya pejabat atau kepala daerah akibat praktik korupsi. Bahkan di tengah situasi pandemi Covid-19 pun, para pemburu rente ini tidak lah berhenti mengatur siasat untuk mencurangi anggaran sekalipun kondisi negara tengah terombang-ambing gelombang krisis. 

Meski sudah menjadi fenomena “lumrah”, namun terciduknya Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini tetap saja menyita perhatian publik. Bagaimana tidak? Nurdin memang bisa dibilang memiliki tiga identitas kombo yang melekat pada dirinya sekaligus, yakni sebagai kepala daerah, peraih penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption Awards, dan politikus partai penguasa, PDIP.

Dua identitas terakhir itu yang agaknya membuat publik semakin mengernyitkan dahi ketika mendengar kabar ditangkapnya Nurdin. Bagaimana mungkin seseorang yang meraih penghargaan  anti-korupsi justru terjerat kasus korupsi? Sementara terkait PDIP, Nurdin menambah daftar panjang kader partai banteng yang terjerat kasus rasuah. 

Dalam enam bulan terakhir ini, KPK telah menangkap empat kader PDIP. Pertama ada nama Juliari Peter Batubara yang saat menjabat sebagai Menteri Sosial terjerat dugaan suap bantuan sosial (bansos) Covid-19.

Selanjutnya, Andreau Misanta Pribadi yang merupakan staf khusus (stafsus) Edhy Prabowo saat menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan dalam kasus suap izin ekspor benih benih lobster. Selain itu, masih ada nama Wenny Bukamo yang menjabat sebagai Bupati Banggai laut dalam perkara dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Banggai Laut. 

Banyaknya kader-kader PDIP yang ditangkap KPK sebenarnya telah disadari oleh sang Ketua Umum, Megawati Soekarnoputri. Medio 2020 lalu, saat memberikan arahan kepada peserta Sekolah Partai, Mega mengaku dirinya sedih jika mendengar kabar ada kadernya yang digelandang oleh KPK, lembaga yang Ia dirikan sewaktu menjabat sebagai Presiden ke-5 RI. 

Kendati begitu, Presidium Gerakan Pro Demokrasi Indonesia, Andrianto menyebut banyaknya kader PDIP yang silih berganti terlibat perkara rasuah justru tak bisa dilepaskan dari jabatan ketua umum yang diduduki terlalu lama oleh Megawati. Baginya, pola kepemimpinan feodalis yang diterapkan partai ”wong cilik” itu telah menyebabkan proses kaderisasi internal cenderung mandek dan terkesan “asal-asalan”. 

Lantas benarkah akar persoalan menjamurnya korupsi di tubuh PDIP justru disebabkan oleh kepemimpinan ketua umumnya sendiri?

Mega Pemimpin Otokratis?

Diskursus mengenai siapa kelak yang akan menggantikan Mega memimpin PDIP adalah wacana yang sudah cukup lama dibicarakan. Namun pada Agustus 2019 silam, pengurus DPD dan DPC PDIP se-Indonesia kembali mengukuhkan Megawati sebagai Ketua Umum PDIP. Mega sendiri telah memimpin partai tersebut sejak berdiri pada tahun 1999.

Marcus Mietzner dalam Indonesia’s 2009 Elections: Popullism, Dynasties, and the Consolidation of the Party System mengatakan bahwa mandeknya regenerasi di tubuh partai banteng tersebut berawal dari pemikiran yang menyebut bahwa PDIP haruslah dipimpin oleh trah Soekarno. 

Dalam konteks itulah, PDIP bisa disebut sebagai personalized party atau partai yang memiliki sosok sentral tertentu – dalam hal ini Megawati.

PDIP memang punya kaderisasi dan proses organisasi yang sangat jelas. Namun, di sisi lain, karakterisitik personalized party ini membuat pucuk kekuasaan partai sepenuhnya dikendalikan oleh satu orang, dan bahkan memiliki hak veto, atau dalam bahasa PDIP, hak prerogatif. 

Gaya kepemimpinan Mega yang menempatkan semua keputusan penting berada di tangannya dinilai sangat identik dengan konsep kepemimpinan otokratis (autocratic leadership).

Kendra Cherry dalam Autocratic Leadership: Key Characteristics, Strengths, and Weaknesses menyebut bahwa gaya kepemimpinan autocratic ditandai dengan sosok pemimpin yang mengontrol semua keputusan tanpa dipengaruhi anggota kelompok. 

Kendra mengakui bahwa konsep kepemimpinan ini sangat cocok diterapkan di proyek atau pekerjaan yang membutuhkan kepemimpinan kuat untuk menyelesaikan sejumlah persoalan dengan cepat dan efisien. Namun di sisi lain, gaya kepemimpinan otokratik juga dapat menimbulkan persoalan jika diimplementasikan di waktu atau situasi yang tidak tepat. Ia menandaskan bahwa konsep kepemimpinan ini juga berpotensi merusak moral kelompok.

Otokratis Berbuah Korupsi?

James R. Hollyer dalam Corruption in Autocracies, menyebut bahwa kepemimpinan otokratis yang mengandalkan kesetiaan ideologis dari para pengikutnya cenderung menikmati korupsi. 

Ia menyebut, meskipun menimbulkan biaya ekonomi yang besar, korupsi juga dapat menjadi cara yang tepat untuk memberikan keuntungan berupa uang bagi mereka yang melaksanakan kehendak para penguasa. Dalam pengertian ini, korupsi secara sistematis berfungsi sebagai alat yang digunakan penguasa untuk menyelesaikan persoalan-persoalan moral yang melibatkan bawahannya.

Selain itu, rezim otokratis tersebut berpotensi mengatur peluang untuk korupsi, dengan memberikan jabatan-jabatan kepada anggota-anggotanya yang paling setia. Hal ini secara tak langsung memberikan kesempatan mereka untuk berbuat korupsi. Maka dari itu, biasanya pejabat yang paling korup kemungkinan besar juga yang paling setia. 

Guillermo Medina dalam Reflections on Corruption and Political Regeneration kemudian mencoba menawarkan solusi bagi lembaga politik yang telah terjebak dalam korupsi sistemik. Menurutnya, hal itu bisa diatasi dengan melakukan regenerasi. 

Demokrasi menurutnya tidak lah menciptakan orang yang korup, tetapi orang yang korup lah yang justru merusak demokrasi. Ini kemudian menjadikan korupsi menjadi masalah struktural dan sistemik. Di saat seperti ini, pemberantasan korupsi hanya mungkin dilakukan dalam konteks regenerasi politik dan kelembagaan yang lebih luas.

Dalam konteks PDIP, wacana untuk melakukan regenerasi sebenarnya sudah sempat diutarakan Mega. Pada medio Juli tahun lalu misalnya, Mega sempat menyebut bahwa partainya akan melakukan regenerasi total pada 2024 mendatang. 

Meski tak menjelaskan secara rinci maksud regenerasi total yang Ia sampaikan, namun pengamat politik Universitas Paramadina Jakarta, Ahmad Khoirul Umam memaknai pernyataan Mega ini sebagai buah dari refleksi atau kesadaran politik akan kebutuhan kepemimpinan baru di PDIP.

Namun di titik ini, yang jadi pertanyaan adalah apakah kepemimpinan otokratis Mega menjadi satu-satunya alasan banyaknya kader PDIP yang terjerat kasus korupsi?

Persoalan Sistemik

Meski disebut dapat memicu korupsi, namun pada kenyataanya tak semua pemerintahan bergaya otokratis bercokol dengan praktik korupsi. Untuk membuktikan hal ini, tak ada negara yang lebih pas untuk dijadikan rujukan selain Tiongkok di bawah rezim otokratis Xi Jinping.

Farida Chawala dalam Xi Jinping’s Anti-Corruption Campaign: Party Strategy or Way Forward to Corruption-free China menyebutkan bahwa kendati kampanye anti-korupsi Xi Jinping jamak dinilai sebagai upaya konsolidasi kekuasaan politik Xi, namun pada hasilnya, kampanye tersebut memang berhasil menurunkan tingkat korupsi dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Ia kemudian mengutip laporan Bank Dunia yang berjudul Ease of Doing Business. Dalam laporan tersebut, posisi Tiongkok meningkat secara signifikan sejak kampanye dilakukan. Dari posisi ke-99 di 2012, menjadi ke-78 pada 2017, dan ke posisi ke-46 di 2018.

Melihat adanya perbedaan ini, maka dapat dikatakan bahwa gaya kepemimpinan otokratis belum tentu menjadi akar persoalan menjamurnya praktik korupsi di tubuh PDIP. Untuk dapat menemukan faktor yang sebenarnya, kita agaknya harus mendudukan persoalan ini dalam konteks yang lebih fundamental dan sistemik. 

Para pejabat publik seperti kepala daerah dan legislator yang tertangkap melakukan korupsi merupakan hasil dari proses demokrasi yang dinamakan pemilu – tepatnya pilkada. Untuk itu patut dicurigai bahwa pangkal persoalannya justru ada di sistem pemilu itu sendiri. 

Terkait dengan hal ini, Burhanuddin Muhtadi dalam bukunya Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca-Orde Baru menerangkan bahwa sejak jatuhnya rezim Orde Baru, masifnya kemunculan parpol justru menjadi preseden kuat atas lahirnya budaya politik uang sebagai strategi pemilu. Budaya tersebut tidak hanya terbentuk dalam iklim parpol, melainkan juga di tengah masyarakat.

Kemudian, Edward Aspinall dan Ward Berenschot dalam Democracy for Sale: Pemilu, Klientelisme, dan Negara di Indonesia juga mengatakan dalam kepentingannya untuk melakukan kontrol ekonomi dan kebijakan politik, oligarki telah menjadi pemasok dana bagi para calon kepala daerah yang maju di pilkada.

Postulat analis-analis tersebut nyatanya sempat dibenarkan oleh pemerintah dalam hal ini Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian. Pada akhir 2019 lalu, Tito sempat membeberkan biaya yang harus dikeluarkan seseorang untuk dapat maju menjadi bupati yang mencapai Rp 30-50 miliar. 

Di sisi lain, gaji yang diperoleh selama lima tahun sebagai bupati tentu lah tidak lebih dari Rp 12 miliar – hitungan kasar. Hal ini rasionalnya akan membuat para pejabat publik mencari pendapatan tambahan, salah satunya dengan melakukan korupsi.

Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab terhadap korupsi yang menjangkiti kader-kader PDIP tak bisa serta merta ditimpakan kepada Mega seorang. 

Faktor bahwa korupsi merupakan persoalan yang dapat ditemukan di hampir semua parpol menunjukkan bahwa akar persoalannya lebih bersifat sistemik, terutama dalam konteks tingginya biaya pemilu.  

Maka dari itu, solusi yang dapat dilakukan tentu bukan hanya melakukan regenerasi di level parpol, melainkan juga mereformasi sistem demokrasi dengan mewujudkan pemilihan yang lebih inklusif dan tak hanya mengutamakan mereka yang mengantongi modal besar. Mari kita nantikan apakah itu dapat terwujud atau tidak. (F63)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version