Ali Mochtar Ngabalin menuai kritik karena telah mengatakan Busyro Muqoddas berotak sungsang. Ucapan Ngabalin dinilai tidak elok disebutkan oleh sosok yang menjabat di Kantor Staf Kepresidenan. Lantas mengapa Ngabalin mengeluarkan pernyataan tersebut ditengah isu TWK KPK? Apakah ada maksud politis tertentu di balik pernyataan Ngabalin?
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Ali Mochtar Ngabalin atau biasa dipanggil Ngabalin, membuat pernyataan yang dinilai menghina Busyro Muqoddas. Busyro selaku mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kini juga menjabat sebagai Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM disebut berotak sungsang oleh Ngabalin. Buat yang belum tahu, sungsang artinya terbalik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Pernyataan ini berawal dari kritik Busyro terhadap KPK. Busyro mengatakan bahwa KPK tamat di tangan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pernyataan tersebut dilatarbelakangi oleh penonaktifan 75 pegawai KPK yang tak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK). Ia menilai KPK telah dilemahkan sejak Jokowi mengirimkan Surat Presiden ke DPR RI untuk merevisi UU KPK.
Ngabalin tidak menerima kritik Busyro, bahkan meminta Busyro untuk menarik kata-katanya kembali. Melalui akun Instagramnya, ia mengatakan Busyro berotak sungsang dan merugikan Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah dan pendidikan umat Islam. Ngabalin menilai bahwa kritik Busyro merupakan prejudice dan menyarankan Busyro untuk mengundurkan diri dari Muhammadiyah.
Baca Juga: Saatnya PDIP Tiru Gojek?
Banyak yang menilai pernyataan Ngabalin ini tidak elok. Ngabalin menangkal kritik tersebut dengan mengatakan dirinya sebagai anak dari timur. Ia mengatakan memang sudah menjadi budaya anak timur untuk berbicara secara jujur dan blak-blakan.
Ngabalin mengaku ia melontarkan kritik pedas pada Busyro atas dasar rasa sayangnya terhadap Muhammadiyah. Ngabalin sendiri merupakan bagian dari Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM).
Terkait hal itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pimpinan Pusat Muhammadiyah Taufiq Nugroho menyanyangkan ucapan Ngabalin. Pernyataan tersebut dianggap tidak elok untuk diutarakan oleh sosok dari Tenaga Ahli Utama KSP. Ini tentu juga akan merusak citra Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Ia mengatakan bahwa Muhammadiyah tidak akan menanggapi pernyataan Ngabalin secara serius. Namun, Muhammadiyah meminta agar KSP Moeldoko melakukan evaluasi. Agar hal ini tidak terulang, Ngabalin diminta untuk diberhentikan sebagai tenaga ahli utama.
Pengamat Politik dan Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin mengatakan bahwa pernyataan Ngabalin keliru. Seharusnya kritik dijawab dengan kinerja yang baik. Kritik Ngabalin tidak relevan karena menyerang Busyro secara personal. Ujang mengatakan hal ini mencerminkan demokrasi yang tak sehat.
Pernyataan Ujang sejalan dengan pendapat Rocky Gerung yang mengatakan bahwa kritik Ngabalin ad hominem. Ad hominem sendiri merupakan istilah kesalahan bernalar di mana dalam perdebatan, seseorang justru menyerang pribadi lawan debat, bukan membalasnya dengan argumen. Rocky Gerung mengatakan ad hominem biasa digunakan ketika orang tidak mampu memenangkan debat dengan argumen yang koheren, sehingga pribadi lawan diserang untuk melemahkan mental lawan.
Lantas mengapa Ngabalin mengeluarkan narasi otak sungsang ditengah polemik TWK KPK? Apakah ini merupakan masalah buruknya komunikasi pemerintah semata?
Buruknya Koordinasi Komunikasi
Pejabat yang mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial terjadi dalam banyak kesempatan. Bisa jadi salah satu letak permasalahannya ada pada koordinasi komunikasi di pemerintahan yang buruk.
Tulisan Ranggi Ade Febrian yang berjudul Analisis Permasalahan Koordinasi Pemerintahan mengatakan bahwa koordinasi merupakan faktor yang krusial karena hal tersebut menjadi bentuk kerja sama antar sektor di pemerintahan dalam mencapai tujuan tertentu. Dalam melakukan koordinasi komunikasi, pemerintah memerlukan sumber daya manusia (SDM) yang mencerminkan kriteria profesionalisme.
Terkait SDM, tulisan Ranggi juga sejalan dengan tulisan Gun Gun Heryanto yang berjudul Salah Kaprah Komunikasi Jokowi, di mana ia menjelaskan kondisi koordinasi komunikasi pemerintah yang masih buruk.
Gun Gun mengatakan ada tiga komponen yang harus diperhatikan pemerintah untuk memperbaiki komunikasi, yakni pemerintah harus menunjang ragam orang yang berkompeten dalam mengelola isu dan manajemen krisis, adanya SDM yang menangani komunikasi organisasi lintas sektoral dan adanya protokol komunikasi yang jelas dan menjadi panduan.
Baca Juga: Misteri Erick Thohir dan Gojek
Berangkat dari tulisan tersebut, blundernya pernyataan pejabat pemerintah berangkat dari permasalahan absensi koordinasi komunikasi, kurangnya SDM yang mengurus komunikasi antar sektor dan ketiadaan panduan komunikasi. Permasalahan tersebut memang terbenarkan di satu sisi pada sosok seperti Ngabalin yang beberapa kali mengucapkan pernyataan kontroversial di hadapan publik.
Buruknya koordinasi komunikasi juga terlihat pada kasus Staf Khusus Milenial Aminuddin Ma’ruf yang mengedarkan surat undangan kepada Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) untuk menghadiri pertemuan yang membahas Undang-Undang Cipta Kerja. Surat undangan tersebut dikritik karena menggunakan diksi “memerintah” daripada “mengundang.”
Namun ada perbedaan di antara kasus Ngabalin dan Aminuddin Ma’ruf. Pada kasus Aminuddin Ma’ruf, masalah tersebut direspon oleh pemerintah dan ada klarifikasi dari yang bersangkutan. Sementara dalam kasus Ngabalin, pemerintah belum merespons pernyataan tersebut.
Ngabalin malah tidak berhenti di narasi otak sungsang, dia bertindak lebih jauh lagi dengan mengatakan kritik Busyro prejudice, meminta Busyro turun dari Muhammadiyah dan melakukan berbagai justifikasi atas pernyatannya.
Politics of Noise?
Dilihat dari sikap pemerintah yang cenderung melakukan pembiaran pada kasus Ngabalin, narasi otak sungsang Ngabalin mungkin saja bukan hanya permasalahan koordinasi komunikasi yang buruk di pemerintah. Pernyataan tersebut bisa jadi sengaja dibuat untuk menciptakan kebisingan semata.
Ed Rogers dalam tulisannya yang berjudul The Politics of Noise, mengatakan bahwa kebisingan politik merupakan cara efektif untuk memperoleh suatu tujuan. Pada kasus Ngabalin, pernyatannya mungkin menjdi upaya untuk menciptakan noise guna mengalihkan perhatian publik dari isu yang sebenarnya, yakni TWK KPK.
Jika hal tersebut benar adanya, maka Ngabalin bisa dikatakan sukses dalam menciptakan noise tersebut. Ngabalin menggunakan diksi unik yang padat dan singkat untuk mempermudah masyarakat mengingat pernyataan tersebut.
Istilah “otak sungsang” menjadi pemilihan kata yang tepat karena istilah tersebut jarang digunakan oleh politisi tertentu. Argumen Ngabalin yang ad hominem juga lebih mudah mendapatkan impresi masyarakat secara luas.
Ngabalin sendiri mengeluarkan pernyataan otak sungsang ini di akun Instagramnya. Dengan begini, ada rekam jejak digital atas pernyataan Ngabalin yang bisa diakses oleh publik kapan pun.
Baca Juga: Di Balik Merger Gojek-Tokopedia
Ngabalin sendiri menjadi orang yang tepat dalam menjalankan peran tersebut. Ia adalah sosok yang vokal dan memang sering mengutarakan pernyataan kontroversial, terutama dalam menanggapi pernyataan oposisi. Label Ngabalin menjadikan dirinya sebagai orang yang tepat menciptakan noise, sehingga tanggapan masyarakat pun sesuai dengan istilah disappointed but not surprised.
Kesuksesan Ngabalin pun dapat terlihat dari pemberitaan media yang masif menyoroti pernyataannya yang kontroversial. Ngabalin pun sempat trending di Twitter dengan tagar #Ngabalin yang menjadi bukti bahwa narasi otak sungsang menjadi bahan pembicaraan yang hangat di publik.
Mungkin saja Ngabalin meniru mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang juga sering menciptakan noise. Sama seperti Ngabalin, Trump sering kali menggunakan ad hominem, terutama kepada lawan politiknya menjelang Pemilu.
Tahun 2016 lalu, Trump mengatakan lawan politiknya, Hilary Clinton tidak bisa mengatur ekonomi karena memiliki temperamen yang buruk. Hal ini terjadi lagi pada debat calon presiden melawan Joe Biden.
Claire Redinger dalam tulisannya yang berjudul Its not debatable, ad hominem attacks destroy constructive conversation menjelaskan bahwa perdebatan antara Biden dan Trump tidak bisa disebut sebagai debat karena banyak mengandung unsur ad hominem. Ia memberi contoh ketika Trump menyebut Biden tidak memiliki kepintaran. Redinger mengatakan ad hominem hanya akan menimbulkan noise karena tidak menyentuh substansi dari debat itu sendiri.
Dengan demikian, isu seperti dalam pernyataan Ngabalin bisa saja sengaja dipelihara oleh pemerintah untuk menciptakan noise dan mengalihkan publik dari isu sebenarnya. Ngabalin pun patut dipuji dalam menjalankan peran tersebut karena telah sukses menarik perhatian masyarakat dan media atas narasi otak sungsangnya. (R66)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.