Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim memantik kontroversi dengan kehadiran ‘organisasi bayangan’. Meski sekilas inovatif, namun apakah bisa dibenarkan oleh paradigma administrasi?
Pada pertemuan forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertajuk “Transforming Education Summit” di New York, Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) spill alias melontarkan organisasi bayangannya yang dia sebut sebagai ‘shadow organization’.
Nadiem menyebut tim itu berisikan 400 orang product manager, software engineer, dan data scientist yang bekerja sebagai kelompok yang melekat dengan kementerian. Ia juga memperjelas bahwa tim ini bukan lah organisasi vendor, namun setiap product manager dan ketua tim memiliki jenjang yang setara dengan direktur jenderal.
Tentunya hal ini menuai berbagai reaksi bukan hanya dari publik, tetapi juga institusi pemerintahan. Nadiem dianggap melangkahi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) serta peraturan perundang-undangan lainnya. Sejauh ini, penekanan banyak pihak lebih mengkritisi aspek transparansi dan akuntabilitasnya.
Setelah dicecar oleh salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dari fraksi partai Demokrat, Anita Jacoba Gah dalam rapat fungsi dengan Komisi X (lingkup tugas pada bidang Pendidikan, Olahraga, dan Sejarah), Nadiem berikan klarifikasi bahwa penggunaan kata ‘shadow organization’ membuat banyak pihak menjadi salah kaprah.
Mantan bos Gojek itu menuturkan organisasi tersebut merupakan bentuk mirroring terhadap Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikristek).
Pernyataan ini tidak serta-merta diterima oleh berbagai pihak. Jika menelaah dari sisi kemajuan inovasi pada sektor publik, apakah pembelaan Nadiem dapat diterima sebagai suatu hal yang etis untuk diterima publik?
POV Inovasi: Privat vs Publik
Pada umumnya konsep inovasi lebih familiar dan dominan digunakan pada sektor privat. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa inovasi pada organisasi privat memang lebih maju dibandingkan organisasi publik.
Anggapan tersebut bisa saja berpengaruh kepada persepsi orang dalam menilai konsep inovasi itu sendiri. Padahal pada sektor publik inovasi harus tetap melekatkan misi pelayanan publik dengan memandang pengguna sebagai warga negara.
Hal ini tentu saja berbeda dengan konsep pelanggan. Warga negara memiliki kompleksitas hak dan kewajiban yang berbeda dengan pelanggan. Dengan demikian, konsep ini tidak dapat memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak setiap warga negara.
Ketika manajemen sektor publik dijalankan dengan menggabungkan point of view (POV) alias sudut pandang entrepreneur, maka dipastikan tidak dapat menyelesaikan masalah publik yang sedang dihadapi. Ini bahkan membuat peran pemerintah seakan hanya dijadikan sebagai pengarah belaka, bukan sebagai pelaku utama penyedia layanan publik.
Selain itu, jika Nadiem tetap memaksakan manajemen pemerintah yang dikelola secara bisnis, maka kemungkingkan akan muncul terjadinya korupsi maupun penyelewengan lainnya.
Hal itu kiranya dipengaruhi oleh minimnya kontrol terhadap kegiatan pelayanan publik sehingga memunculkan celah penyelewengan dan justru dapat menjauhkan akses warga negara terhadap pelayanan. Dengan demikian, konsep tersebut dapat menurunkan aspek akuntabilitas organisasi.
Pandangan lainnya yang dapat direfleksikan jika mengandai-andaikan diri kita menjadi Nadiem, seorang eks entrepreneur mungkin melihat birokrasi negara terlalu berbelit-belit yang menghambat lahirnya inovasi. Ini dapat menjadi aspek evaluasi bagi birokrasi kita yang sudah terlalu lama dinilai berbelit-belit dan rigid.
Adapun kemungkinan bahwa Nadiem menilai sumber daya manusia (SDM) di kementerian belum cukup memadai, khususnya dari segi teknologi dan pengembangan. Praktisnya, Nadiem hanya perlu membuat organisasi baru supaya dapat memangkas waktu dan memaksimalkan kinerja anggota.
Gerald Caiden dalam bukunya yang berjudul ‘Administrative Reform Comes of Age’ telah mengidentifikasi sebanyak 175 penyakit birokrasi Indonesia. Prof. Dr. Eko Prasojo, Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Wamen PANRB) pada Kabinet Indonesia Bersatu II bahkan menuturkan keterangan bahwa satu saja penyakit dapat membawa kesengsaraan sehingga sangat masuk akal jika Nadiem memilih opsi untuk membentuk organisasi baru.
Namun, masuk akal saja tidak dapat serta-merta menjustifikasikan bahwa tindakan Nadiem adalah hal yang tepat untuk dilakukan. Justru Nadiem boleh jadi melangkahi peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga ada kemungkinan tindakannya tidak dapat dibenarkan secara hukum. Lalu, apa yang menjadikan tindakan Nadiem seolah “melawan” hukum?
Wajib Tiru Kemenkeu?
Hal yang membuat ‘organisasi bayangan’ Nadiem dipermasalahkan yaitu berasal dari aspek transparansi dan akuntabilitasnya. Banyak pihak, terutama DPR RI yang memiliki wewenang dari segi pengawasan lembaga eksekutif bahkan terkejut dengan pernyataan Nadiem terkait ‘organisasi bayangan’-nya.
Mungkin jika mengacu kepada istilah pemberian wewenang pemerintah kepada pihak lain, organisasi ini bisa saja masuk ke dalam diskresi dimana menurut UU Administrasi Pemerintahan diskresi ditetapkan oleh pemerintah atau pejabat untuk mengatasi permasalahan yang konkret. Dengan catatan, hal itu dilatarbelakangi oleh adanya aturan yang tidak mengatur, tidak lengkap, tidak jelas, maupun adanya stagnasi pemerintahan.
Selanjutnya, pada pasal 24 dalam peraturan itu diatur pula syarat diskresi yaitu salah duanya adalah harus sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) yang merujuk kepada prinsip good governance dan tidak menimbulkan konflik kepentingan. Asas-asas tersebut diatur dalam pasal 10 antara lain kepastian hukum, kebermanfaatan, ketidakberpihakan, kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan, kepentingan umum, dan pelayanan yang baik.
Berdasarkan syarat diskresi tersebut, terlihat jelas bahwa kehadiran ‘organisasi bayangan’ Nadiem tidak dapat dibenarkan oleh UU Administrasi Pemerintahan sekalipun. Tidak heran jika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) turun tangan terkait organisasi ini. Bahkan menurut Anggota BPK, Achsanul Qosasi jika organisasi ini dianggap setingkat dengan direktur jenderal, maka hal ini menyalahi susunan organisasi tata kerja (STOK) dan Undang Undang ASN.
Sebenarnya juga Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga sempat memberi wacana terkait penambahan jajaran data scientist pada institusi tersebut. Hal ini dibenarkan oleh Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani bahwa institusi tersebut akan menaruh data scientist pada jabatan fungsional, namun tidak hanya ada pada eselon I.
Kemenkeu sedang berusaha untuk menggodok kebijakan tersebut hingga menambahkan kurikulum pada Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) serta mulai melakukan kalkulasi anggaran yang dibutuhkan. Dengan demikian, mungkin ini saatnya Kemendikbud menjadi pelajar dan berguru dengan Kemenkeu terkait konteks birokrasi.
Lantas, bagaimana cabang administrasi negara melihat fenomena ‘organisasi bayangan’ Nadiem?
Kemunduran Paradigma Administrasi?
Administrasi negara memandang fenomena ‘organisasi bayangan’ Nadiem adalah suatu keniscayaan. Jika dilihat dari segi paradigma administrasi, fenomena manajemen pemerintah yang dikelola secara bisnis sudah banyak dibahas.
Paradigma administrasi negara dibagi menjadi empat antara lain Old Public Administration (OPA), New Public Management (NPM), New Public Service (NPS), dan Good Governance (GG). Osborne dan Gaebler (1992) dalam bukunya yang berjudul ‘Reinventing Government: How The Entrepreneurial Spirit Is Transforming The Public Sector’ menyebut paradigma NPM sebagai reinventing government.
Osborne dan Gaebler menggambarkan reinventing government dengan istilah “steering rather than rowing”. Pemerintah digambarkan sebagai pengendali kapal, sedangkan sektor privat dan masyarakat sipil berperan sebagai pengayuh kapal.
Penggambaran itu sesuai dengan fenomena ‘organisasi bayangan’ Nadiem. Hal ini tampaknya menjadi semacam bahaya karena seharusnya peran pemerintah adalah sebagai pengendali dan pengayuh kapal. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa munculnya ‘organisasi bayangan’ dapat mereduksi peran pemerintah dan menimbulkan kemunduran dari segi paradigma administrasi.
Sejauh ini, perspektif baik dan buruknya pendirian ‘organisasi bayangan’ Nadiem dapat terlihat. Meskipun memang pada akhirnya organisasi ini tetap membutuhkan pengawasan dan keterbukaan, adapun kita dapat memandang momentum ini sebagai sebuah kesadaran dari penyakit birokrasi negara selama ini.
Momentum ini seolah membangkitkan kesadaran bersama bahwa inovasi sektor publik justru terhambat oleh sistem itu sendiri. Oleh karenanya, perlu adanya reformasi birokrasi untuk ‘mengobati’ penyakit ini.
Bukan hanya pemerintah, namun Nadiem pun kiranya perlu belajar bahwa sudut pandang warga negara dengan pelanggan tidak akan dapat disamakan. Justru menghadirkan paradigma reinventing government akan memundurkan paradigma administrasi.
Selain itu, Nadiem juga diharapkan dapat terbuka kepada publik terkait ‘organisasi bayangan’ ini. Salah satu tindakan yang paling mungkin dilakukan saat ini yaitu melakukan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). (Z81)