Pasca kelakar “rambut putih” Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan tampak membesarkan hati Prabowo Subianto dalam sebuah kesempatan di Jawa Timur belum lama ini. Lalu, apakah ini dapat dimaknai sebagai gestur “restu” tak langsung intelijen terhadap Prabowo di Pilpres 2024 mendatang?
Gestur positif Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan (BG) kepada Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto di awal pekan ini seolah memiliki makna khusus.
Secara kasat mata, makna tersebut memiliki korelasi dengan “endorse” Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya mengenai pemimpin rambut putih dan kerutan, yang mana secara gamblang disebut BG identik dengan Prabowo.
Momen itu sendiri terjadi saat peresmian Asrama Mahasiswa Nusantara (AMN) di Surabaya, Jawa Timur pada Selasa 29 November lalu yang turut dihadiri Presiden Jokowi.
Tak hanya gestur tersebut, saat menjemput RI-1 di Bandara Juanda Sidoarjo, BG dan Menhan Prabowo juga kompak mengenakan kemeja berwarna merah marun dengan bawahan berwarna hitam.
Sinyal positif pada momentum itu pun tidak cuma di antara BG dan Menhan Prabowo. Saat akan meluncur ke lokasi, Presiden Jokowi seolah memberikan impresi istimewa.
Tak dinyana, rupanya mantan rival politik di Pilpres 2014 dan 2019 itu mengajak Menhan Prabowo untuk berangkat bersama di mobil kepresidenan. Padahal, Menhan Prabowo diketahui sudah menyiapkan kendaraan sendiri.
Namun, kembali, di tengah sinyal kehangatan segitiga Jokowi-Prabowo-BG di momen itu, sorotan utama memang seolah tertuju pada gestur yang diberikan BG kepada Prabowo.
“Pak Prabowo semakin sering terlihat dekat dengan presiden Bapak Jokowi. Kita semua menangkap pesan, pesan dari Pak Jokowi tentang kerutan di dahi untuk menjadi ukuran kriteria, maka kami semua memperhatikan dari tadi kerutan tersebut 100 persen identik dengan Pak Prabowo saat ini,” begitu kata BG dalam sambutannya di acara tersebut seperti disiarkan YouTube Sekretariat Presiden.
Tidak lupa, BG mendoakan Menhan Prabowo agar mendapat jalan terbaik, terlepas dari apakah itu definisi jalan dalam konteks kepemimpinan di Kementerian Pertahanan maupun dalam konteks politik.
Saat disanjung, Menhan Prabowo tampak tersenyum sumringah sambil melirik ke arah Presiden Jokowi di sampingnya yang membalas senyuman eks Danjen Kopassus itu
Merespons gestur BG, Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gerindra Habiburokhman mengaku senang atas pujian dari BG, sosok yang menurutnya sangat dekat dengan Presiden Jokowi sehingga pernyataan dari pimpinan lembaga telik sandi itu layak dipercaya.
Akan tetapi, respons berbeda datang dari Deputi Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrat Kamhar Lakumani.
Dirinya menyayangkan pidato BG yang dapat ditafsirkan luas itu sebaiknya tidak disampaikan ke publik karena dapat menjurus pada kesalahan persepsi. Terlebih, jika berkaca pada jabatan dan posisi BG saat ini yang memiliki kekuasaan besar.
Gestur dan sinyal positif BG terhadap Menhan Prabowo agaknya memang cukup menarik ketika diungkapkan ke hadapan khalayak luas. Terlebih, Prabowo diketahui akan maju sebagai capres di kontestasi elektoral 2024.
Itulah yang kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah hal itu dapat dimaknai sebagai “restu” intelijen bagi kepemimpinan Prabowo di 2024?
Intelijen “Kearifan Lokal”?
Tak bisa dipungkiri, kultur intelijen yang kerap “menyebrang” ke ranah politik hasil warisan Orde Baru (Orba) seolah masih terasa hingga era Reformasi kini. Ihwal yang kerap menjadi masalah tersendiri.
Bahkan, saat menyongsong Pilpres 2019 lalu dan belum masuk ke pemerintah, Prabowo sendiri sempat mengkritisi hal tersebut. Dalam sebuah pidato, Prabowo menyebut tidak seharusnya institusi intelijen digunakan untuk memantau mantan Presiden RI, mantan Ketua MPR RI, anaknya proklamator, mantan Panglima TNI dan ulama-ulama besar – predikat-predikat yang oleh beberapa pihak disebut lekat dengan beberapa tokoh di koalisi politiknya saat itu.
Jika ditelisik, kritisi Prabowo itu cukup sulit kiranya untuk tak dilihat tak mengarah pada sosok BG yang kala itu telah memimpin BIN.
Apalagi, BG merupakan sosok yang cukup dekat dengan PDIP dan sang Ketua Umum (Ketum) Megawati Soekarnoputri, entitas politik di belakang Jokowi saat itu untuk meredam Prabowo.
Diandra Megaputri Mengko dalam tulisannya Intelijen dalam Keamanan Nasional: Stagnasi dalam Perubahan turut melihat yang serupa saat menganalisis persoalan intelijen di negara +62.
Menurutnya, terdapat stagnasi perubahan (reformasi) intelijen karena dulunya (baca: pada masa Orba) intelijen lazim digunakan untuk melindungi rezim penguasa.
Di era kepemimpinan Soeharto, kesan intelijen begitu mengerikan karena mengalami politisasi dan militerisasi. Dengan dalih menjaga stabilitas nasional, aktivitas intelijen ditujukan untuk menciptakan kontrol atas kebebasan sipil. Intelijen pun dapat bertindak dengan cepat dan bebas.
Namun, agaknya cukup sukar untuk mengubah cara kerja puluhan tahun tersebut. Terlebih, intelijen saat ini dituntut memberikan informasi secara tepat dan akurat (velox et exactus) sekaligus dituntut pula untuk tetap berada dalam koridor demokrasi.
Beruntungnya bagi Prabowo, kini dirinya telah masuk ke pemerintah dan mengampu jabatan strategis sebagai Menhan. Keberuntungan itu tentu eksis saat dilihat dari dimensi politik.
Ya, jika memang intelijen masih memiliki porsi untuk menopang kekuasaan politik dalam konteks normatif dan menghidari kemudaratan yang lebih banyak, yakni stabilitas nasional, kampanye Prabowo di pesta demokrasi 2024 kiranya akan berjalan mulus jika mengacu pada gestur BG di Surabaya.
Itu akan semakin bertransformasi menjadi kabar baik bagi Prabowo andai kata PDIP bergabung dengan poros politik Partai Gerindra yang dipimpinnya dan BG terus menjabat hingga 2024.
Sebagai legenda hidup militer yang pernah bahu-membahu mempertahankan kekuasaan di era Orba, Prabowo kiranya juga memahami bagaimana cara memaksimalkan instrumen intelijen jika restu telah direngkuhnya.
Namun, pertanyaannya, apakah gestur positif BG dan Jokowi serta skenario itu akan berjalan mulus bagi kesuksesan Prabowo di 2024?
Prabowo Menang Mudah?
Kembali, justifikasi normatif untuk menjaga stabilitas nasional, agaknya lumrah saja digunakan lembaga intelijen untuk turut menciptakan kondisi politik tertentu, terlepas dari seperti apa kompromi yang terjadi di baliknya.
Meskipun terkesan rentan disalahgunakan, nyatanya lembaga intelijen di negara demokrasi paling maju seperti Amerika Serikat (AS) pun tak lepas dari sentimen keberpihakan politik.
Di era kepemimpinan Donald Trump, muncul persepsi publik terkait keberpihakan lembaga-lembaga negara dan penegakan hukum terhadap partai tertentu.
Sebuah tulisan di Carnegie Endowment for International Peace menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan Trump yang didukung oleh Partai Republik, publik AS cenderung melihat lembaga macam Immigration and Customs Enforcement (ICE), para sheriffs, kepolisian, dan militer sebagai “institusinya” Partai Republik.
Sementara, FBI, CIA, Departemen Luar Negeri, serta polisi di kota-kota besar dianggap sebagai “institusinya” Partai Demokrat.
Hal ini juga diperkuat dengan investigasi-investigasi yang dilakukan FBI dan CIA terkait dugaan intervensi Pilpres AS tahun 2016 yang dilakukan oleh Rusia – yang tentu saja berpotensi mendelegitimasi kepemimpinan Trump. Tak terkecuali penyelidikan terakhir terhadap Trump pada Agustus lalu atas tudingan perkara spionase.
Kembali dalam konteks Indonesia, BG sendiri disebut-sebut menjadi aktor di belakang layar rekonsiliasi Prabowo dan Jokowi pasca Pilpres 2019.
Serangkaian variabel itulah yang kiranya akan membuat Prabowo bisa saja melenggang mulus ke Istana kelak, jika “sokongan” lembaga dengan pengaruh kuat seperti BIN plus konsistensi di urutan teratas elektabilitas capres sejauh ini dapat teraktualisasi pada 2024 nanti.
Kritisi dari pihak terkait kiranya memang tak salah agar lembaga intelijen tidak terlalu jauh bermain ke ranah politik, terlebih hingga mendapatkan konsesi tertentu.
Akan tetapi, kesadaran bahwa lembaga intelijen sesungguhnya cukup sulit untuk keluar dari sentimen bertendensi politis itu juga harus terus dicari jalan keluarnya oleh para perumus regulasi dan kebijakan.
Yang terpenting, diharapkan intelijen negara jangan sampai disalahgunakan atau justru aktif melibatkan diri untuk kepentingan tertentu yang merugikan hajat hidup rakyat Indonesia. (J61)