Site icon PinterPolitik.com

Optimisme Biden Terganjal Segregasi Pelik?

Optimisme Biden Terganjal Segregasi Pelik

Presiden terpilih Amerika Serikat, Joe Biden. (Foto: Independent)

Pidato perdana presiden terpilih AS Joe Biden yang bernada persatuan bagi rakyat Paman Sam jamak mendapat sentimen positif. Namun sebelumnya, Fareed Zakaria menyoroti bahwa terdapat celah tersendiri terkait isu tersebut yang justru mungkin saja kontraproduktif atas visi Biden dan Partai Demokrat ke depannya. Mengapa demikian?


PinterPolitik.com

Kemenangan Joe Biden dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat (Pilpres AS) 2020 seolah memunculkan aura restorasi yang menjanjikan. Tak hanya diharapkan bagi berbagai konteks dan isu domestik, namun juga dalam dimensi kebijakan luar negeri, multilateralisme, beserta dampak turunannya.

Pidato perdana kemenangan Biden pun, ditimpal dengan masifnya apresiasi baik dalam maupun luar negeri. Dalam mimbar podium, eks Senator negara bagian Delaware itu mengajak warga AS bersatu dan memastikan bahwa Ia juga akan bekerja sebagai presiden yang menyatukan, bukan memisahkan.

Narasi tersebut secara tematis diambil dari pidato besar terakhir dari kampanye di Gettysburg dan Warm Springs, negara bagian Georgia, saat Biden berjanji bahwa dirinya akan menjadi presiden bagi semua orang Amerika. Penasihat Biden menegaskan bahwa pesan sentral Biden adalah persatuan.

Pasca pidato tersebut, mantan Presiden AS dari Partai Republik, George W. Bush memuji Biden sebagai orang yang baik dalam ucapan selamat yang disampaikannya. Biden disebut Bush telah memenangkan kesempatannya untuk memimpin dan mempersatukan negara.

Nuansa tersebut juga tampaknya serupa namun tak sama dengan apa yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat memenangkan Pilpres 2019 lalu.

Ketika itu Presiden Jokowi berupaya melakukan rekonsiliasi dan mengakhiri konfliktual tajam antara pendukungnya dan pendukung lawan, Prabowo Subianto, yang terkenal dengan tajuk cebong vs kampret.

Ya, dalam pidato perdananya, Biden memang tak hanya larut dalam merayakan kemenangan dan menatap masa depan bersama para pendukungnya saja, tetapi juga berusaha memahami dan merangkul 70 juta rakyat AS lainnya yang mendukung Trump.

Lantas pertanyaannya, mengapa konteks persatuan tampak menjadi hal yang esensial dan dikedepankan Biden pada pidato kemenangannya tersebut? Selain itu, apakah optimisme Biden itu selaras dengan strategi politiknya?

Visi Biden dan Demokrat Keliru?

Atmosfer healing atau pemulihan yang jamak terlontar dari Biden, khususnya pada konteks persatuan, tak dipungkiri erat korelasinya dengan dinamika sosial politik publik yang meruncing di dalam negeri AS, paling tidak dalam kurun waktu dua tahun terakhir.

Dalam tulisan teranyarnya di The Washington Post yang berjudul Once Again, Democrats Have Misunderstood Minorities, Fareed Zakaria mengatakan bahwa sulit kiranya tak mengaitkan Pilpres kali ini dengan polarisasi dalam negeri AS yang cukup dalam, khususnya terkait dengan isu kesukuan, etnis, dan diskriminasi.

Isu itu bahkan disebut lebih berpengaruh dibandingkan performa kinerja pemerintah di bawah administrasi Trump, isu pemakzulan, penanganan pandemi, maupun kelumpuhan ekonomi terburuk sejak Great Depression 1930.

Narasi persatuan yang diutamakan Biden dinilai dapat dilihat dari melencengnya ekspektasi Partai Demokrat bahwa Pilpres edisi kali ini akan menjadi kontestasi elektoral yang dengan tegas menolak Trump, seperti yang Fareed utarakan.

Keberpihakan pada penentangan travel ban Muslim, sampai seirama dengan gerakan Black Lives Matter yang terkait dengan multikulturalisme, justru tak membuat kemenangan didapat dengan mudah dan signifikan.

Tak hanya tercermin dari hasil riil sampai sejauh ini, bahkan sejak polls atau jajak pendapat, Trump justru yang disebut Fareed memenangkan porsi yang lebih besar dari suara minoritas yang pernah diraih Republik sejak 1960. Bahkan dalam satu polls, Trump sempat memenangkan 35 persen suara Muslim.

Penyebab hal tersebut dikatakan Fareed dikarenakan pendekatan yang tidak sesuai dari ideologi multikulturalisme Partai Demokrat, yang juga dibawa oleh Biden, di mana menggabungkan berbagai kelompok etnis, ras, dan agama menjadi satu monolit “minoritas”.

Esensi itu juga dikutip ulang oleh pengamat politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, Evan Laksmana, yang bisa jadi memang mengindikasikan kurang tepatnya visi dari Biden dan Partai Demokrat soal isu terkait polarisasi dan minoritas, hingga bermuara pada melencengnya ekspektasi hasil Pilpres hingga pidato bernarasi “persatuan” eks Wakil Presiden AS ke-47 itu pasca kemenangan.

Sebagai konsepsi politik, multikulturalisme memang tak hanya merujuk pada keragaman budaya, tetapi juga keragaman dalam agama, etnis, ras, dan bahasa, bahkan juga mayoritas dan minoritas.

Dalam konteks ini, multikulturalisme membawa dampak dan terkait dengan kepentingan ekonomi maupun politik, yakni seperti tuntutan memperbaiki kedudukan ekonomi maupun politis dari kelompok yang tidak diuntungkan karena status mereka yang dibedakan atau minoritas.

Multikulturalisme juga merupakan salah bentuk formula kebijakan dalam menghadapi masyarakat yang beragam. Namun, berhadapan dengan perbedaan, setiap ideologi akan bereaksi dengan cara berbeda pula.

Dan pada konteks AS, perdebatan antara konsep melting pot dengan salad bowl sejak lama mewarnai bagaimana pendekatan terbaik dalam diskursus multikultural negeri Paman Sam, termasuk dalam tataran pemerintah.

Melting pot atau wadah pelebur sendiri ialah metafora yang digunakan untuk menggambarkan bagaimana para imigran yang datang ke Amerika akhirnya berasimilasi dengan budaya Amerika, sehingga menciptakan banyak budaya yang bercampur menjadi satu.

Sementara metafora salad bowl atau mangkuk salad adalah pandangan berbeda yang menggambarkan bahwa para imigran yang datang ke Amerika menggabungkan budaya mereka dengan budaya lain, tetapi tetap mempertahankan identitas budaya mereka sendiri.

Pada konteks ini, Biden dan Demokrat tampaknya berpihak pada salah satu dari perdebatan tersebut dengan seolah mengklasifikasikan minoritas dalam satu monolit tersendiri dalam visi kampanye, maupun interpretasi dari pidato kemenangannya.

Alih-alih terjebak dalam perdebatan tersebut, Fareed menyatakan bahwa mindset minoritas yang mewarnai tatanan sosial politik AS kontemporer saat ini ialah, mereka ingin dinilai dari karakternya, bukan warna kulit ataupun perbedaan lainnya.

Fareed menutup tulisannya dengan mengatakan bahwa aspirasi “minoritas” AS yang sesungguhnya hanyalah menjadi orang Amerika biasa, treated no worse but no better either, atau tak diperlakukan lebih buruk ataupun lebih “diistimewakan”.

Inilah yang membuat optimisme Biden dalam menggelorakan semangat persatuan pasca Pilpres tampak memiliki tantangan tersendiri. Indikasinya tampak seperti apa yang Fareed siratkan, yakni hasil pemilu sejauh ini yang mungkin saja dapat pula merepresentasikan bahwa tidak semua mayoritas maupun “minoritas” AS sepakat dengan konsep multikulturalisme yang dibawa oleh Biden dan Demokrat.

Lalu, apakah makna serta pembelajaran dari persoalan multikultural tersebut bagi Indonesia?

Indonesia Selalu Terlena?

Jika memang benar apa yang dikemukakan oleh Fareed, maka Biden dan Demokrat tampaknya memang wajib mencermati setiap langkah kebijakan yang terkait dengan minoritas dan persatuan ke depannya. Tentu agar hal itu tak kontraproduktif dengan optimisme yang dibangun dan telanjur mengemuka.

Di tanah air sendiri, narasi persatuan pasca pilpres yang Biden sampaikan, telah terlebih dahulu dilakukan Presiden Jokowi setahun silam. Hampir serupa, kala itu narasi bertujuan untuk meredam berbagai isu, termasuk SARA yang jamak bertendensi konfliktual di akar rumput antar kedua pendukung capres.

Perseteruan dan polarisasi masyarakat dengan embel-embel politik secara langsung memang tampak meredup. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, persoalan klasik, utamanya implementasi multikultural dan keragaman dinilai tak kunjung diperbaiki secara konkret.

Hal ini misalnya tercermin dari kajian terbaru Komnas HAM pada pekan lalu yang merekomendasikan revisi Peraturan Bersama Menteri Agama (Menag) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) nomor 8 dan 9 tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah.

Hal ini mengacu pada peningkatan kasus terhambatnya kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, utamanya penolakan dan sulitnya pembangunan rumah ibadah.

Komnas HAM mendesak pemerintah untuk secara nyata menghindari kerangka pembatasan dan watak diskriminasi, serta agar menunjukkan keseriusan dalam mengakomodasi isu-isu yang terkait minoritas.

Hal ini seolah menyingkap bahwa semangat persatuan yang digalang Presiden Jokowi di awal memang belum diartikulasikan dan diterjemahkan dengan sempurna, baik dari sisi pemerintah maupun di tatanan sosial masyarakat.

Itulah yang menjadi salah satu pekerjaan rumah Presiden Jokowi dalam kepemimpinan keduanya. Tentu ihwal yang tak boleh disepelekan atau membuat terlena akibat skala konfliktual yang mungkin dirasa tak signifikan. Apalagi jika terlalu naif berpegang pada semboyan Bhinneka Tunggal Ika, namun tanpa aksi pemeliharaan dan perbaikan semangat persatuan yang nyata.

Di titik ini, Pilpres AS 2020 tampak tak hanya menarik ditelisik dari sisi high politics saja, namun juga pada konteks sosial politik dinamis masyarakat, yang nyatanya selalu memiliki relevansi komparatif tersendiri.

Lantas, akankah langkah dan kebijakan konkret Biden terhadap isu minoritas kelak akan menjadi refleksi positif bagi isu serupa di tanah air? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version