HomeNalar PolitikOpsi Presiden untuk Rizieq

Opsi Presiden untuk Rizieq

Mengambil langkah dalam kasus Rizieq, bagaikan buah simalakama bagi Presiden.


PinterPolitik.com

[dropcap]K[/dropcap]asus yang menimpa Imam Besar FPI Rizieq Shihab tampaknya masih jauh dari selesai. Sejak ia meninggalkan tanah air menuju negeri padang pasir, kasus ini belum juga menunjukkan titik terang. Berkali-kali ia dikabarkan akan pulang, tetapi hal itu tidak kunjung terwujud.

Para pendukung sang Habib mengatakan, imam mereka baru akan pulang jika kasus hukum yang menimpanya dihentikan Presiden. Mereka menilai, selagi kasus masih berjalan, Rizieq tidak akan kembali dan massa pendukungnya akan terus membuat gejolak.

Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menilai, ada beberapa cara bagi Presiden untuk menyelesaikan kasus yang berlarut-larut ini. Menurutnya, ada tiga opsi utama untuk menghentikan kasus ini, yaitu dengan amnesti, abolisi, dan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Ia mengaku telah menyampaikan opsi-opsi tersebut secara langsung kepada Jokowi.

Lalu opsi apa yang terbaik yang bisa diambil Jokowi? Apakah opsi intervensi untuk menghentikan kasus Rizieq adalah langkah yang bijak? Ataukah ia perlu bersikeras agar proses hukum tetap berjalan? Atau justru ia harus membiarkan kasusnya berjalan seperti saat ini?

Menghentikan Kasus Rizieq

Menentukan langkah dalam kasus seperti yang menimpa Rizieq, memang tidak selalu mudah. Selalu ada konsekuensi yang menghantui setiap langkah yang akan diambil. Untuk itu, penting untuk mengambil langkah dengan konsekuensi terbaik.

Menurut ilmu filsafat, ada salah satu cabang etika yang disebut sebagai konsekuensialisme. Pemikir yang dikategorikan pengguna konsep ini adalah John Stuart Mill dan Jeremy Bentham. Menurut prinsip dari filsafat ini, penilaian baik atau buruk suatu tindakan tergantung pada konsekuensi tindakan tersebut. Semakin banyak konsekuensi baik yang dihasilkan, maka semakin baik tindakan tersebut.

Oleh karena itu, Presiden harus memperhatikan konsekuensi terbaik dari tindakannya atas kasus Rizieq. Tindakan dengan konsekuensi baik paling banyak, tentu menjadi tindakan yang harus diambil Jokowi sebagai kepala negara.

Opsi Presiden untuk Rizieq

Presiden kerapkali disarankan oleh para pendukung Rizieq agar menghentikan kasus yang menimpa ulama besar mereka. Beragam opsi ditawarkan agar tersangka kasus pornografi tersebut terlepas dari jerat hukum. Umumnya, mereka meminta agar sang Habib diampuni saja.

Ada beberapa pilihan yang dapat diambil untuk menghentikan kasus ini. Salah satunya adalah dengan pemberian amnesti oleh Presiden. Melalui amnesti, segala konsekuensi hukum pidana yang menimpa Rizieq akan dihilangkan.

Amnesti dilakukan setelah orang yang mengalami kasus hukum melakukan permohonan secara khusus kepada Presiden. Di dalam permohonan ini, si pelaku harus terlebih dahulu mengakui kesalahannya agar dapat diberikan ampunan.

Memohon pengampunan, tentu merupakan tindakan yang mungkin dianggap memalukan bagi seorang Rizieq. Sebagai tokoh agama terkemuka, di atas kertas, tentu ia enggan mengakui bahwa ia melakukan perbuatan tercela seperti pornografi. Sulit membayangkan orang sekelas Rizieq mau memohon-mohon ampunan kepada Jokowi.

Bagi Presiden, opsi ini tampak amat mudah dan minim konsekuensi. Sekilas, semua pihak akan sama-sama senang dengan opsi amnesti. Akan tetapi, Rizieq perlu memikirkan harga dirinya jika harus mengakui kesalahan dan memohon pada Presiden.

Selain itu, amnesti juga akan dapat mencoreng penegakan hukum di negeri ini. Banyak masyarakat yang tentu akan heran dan tidak terima kalau ada orang yang melakukan pelanggaran hukum, tapi dilepas begitu saja. Hal ini dapat dipandang tidak adil bagi jutaan masyarakat Indonesia lainnya.

Baca juga :  Haji Isam: Yury Kovalchuk-nya Prabowo?

Pilihan yang hampir mirip adalah dengan memberikan abolisi. Langkah kedua ini sama-sama diberikan oleh Presiden. Namun melalui abolisi, penuntutan terhadap orang-orang yang akan diberikan abolisi, menjadi ditiadakan.

Berbeda dengan amnesti, abolisi tidak memerlukan permohonan dari pelaku. Presiden menghentikan proses pemeriksaan dan penuntutan dengan alasan kepentingan umum. Langkah untuk memberikan abolisi, biasanya diambil untuk menjaga stabilitas pemerintahan.

Menurut Yusril, opsi abolisi adalah opsi yang cukup aman diambil pemerintah. Sebab pemerintah akan terlihat mau mendahulukan kepentingan umum dan menunjukkan itikad baik dengan berdamai dengan kubu Rizieq.

Meski begitu, sebagaimana amnesti, abolisi dapat mencoreng wibawa pemerintah di hadapan seorang pelanggar hukum. Pemerintah dapat dipandang menyerah begitu saja pada kemauan Rizieq dan pendukungnya, sementara ada banyak orang lain yang harus rela menjalani proses hukum dan dikenai sanksi. Bukan hanya dipandang tidak berwibawa, pemerintah juga akan dipandang tidak adil oleh sebagian besar masyarakat yang melihat Rizieq bersalah.

Penghentian kasus juga dapat dilakukan dengan penerbitan SP3. Penerbitan surat ini menandakan bahwa kasus hukum yang terjadi tidak cukup bukti atau tidak tergolong pada kasus pidana melainkan perdata.

Jika opsi ini yang dipilih, maka aparat kepolisian akan mendapat tamparan keras. SP3 dapat berarti polisi tidak kompeten dan terburu-buru dalam menetapkan Rizieq sebagai tersangka, karena  tanpa bukti yang cukup. Kepolisian juga terancam sanksi jika SP3 yang jadi penyelamat Rizieq.

Opsi selanjutnya yang disarankan berbagai pihak adalah memberikan seponering (kerap disebut deponering). Opsi ini disodorkan karena ada kepentingan umum yang lebih luas, sehingga kasus harus dihentikan. Langkah ini pernah dilakukan pada kasus yang menimpa pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.

Seponering merupakan proses penghentian proses hukum yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung. Dalam pertimbangannya, Jaksa Agung akan mendengarkan saran berbagai pihak. Jika opsi ini yang ditempuh, kerapkali disebutkan bahwa Jaksa Agung mendapatkan intervensi. Selain, itu serupa dengan langkah penghentian kasus lain, wibawa negara juga akan tampak lemah.

Proses Hukum Jalan Terus

Bagi sebagian orang, jika Presiden atau penegak hukum menghentikan kasus Rizieq, maka mereka dianggap tidak lagi punya wibawa. Ada anggapan bahwa rezim ini menyerah dan bersikap lunak pada pelaku kriminal. Oleh karena itu, kasus ini harus diusut hingga tuntas.

Pilihan untuk melanjutkan kasus hukum akan sangat bermanfaat jika memang Rizieq dianggap sebagai musuh yang berbahaya bagi negara. Oleh karena itu, pentolan aksi 212 itu harus ditahan agar tidak terus-menerus membuat rusuh.

Opsi Presiden untuk Rizieq
Jika Rizieq ditangkap ada potensi keributan yang dibuat oleh pendukungnya. (Foto: Istimewa)

Melanjutkan kasus Rizieq setidaknya hingga ke tahap pengadilan, juga menjadi bukti bahwa hukum di negeri ini tidak memandang bulu. Siapapun punya kedudukan sama di mata hukum. Jika terbukti bersalah maka harus dihukum, dan jika tidak terbukti harus dibebaskan dari segala tuntutan.

Negara tampak memiliki wibawa, karena proses hukum tidak mengikuti keinginan pihak lain di luar penegak hukum. Negara akan dipandang tidak mau menyerah begitu saja pada ancaman kerusuhan yang dilontarkan kubu Rizieq. Dalam hal ini, Presiden bisa saja melontarkan pernyataan publik bahwa ia mendukung berjalannya proses hukum dan Rizieq harus dihukum seberat-beratnya jika bersalah.

Baca juga :  Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Meski begitu, opsi ini bisa berbuah jalan terjal. Sebagaimana diketahui, Rizieq memiliki kelompok pengagum yang begitu fanatik dan cinta buta. Mereka tidak akan rela jika sang Habib harus merasakan dinginnya lantai penjara. Jika Presiden dan penegak hukum bersikeras proses hukum berlanjut dan Rizieq mendekam di penjara, bukan tidak mungkin akan terjadi konflik yang cukup besar.

Ancaman ini sendiri telah diutarakan oleh salah satu tim kuasa hukum Rizieq, Eggi Sudjana. Menurutnya, jika Rizieq pulang disambut oleh kepolisian, maka dipastikan akan ada keributan.

Menjerat hingga memenjarakan Rizieq memang tampak sangat baik jika ingin menyingkirkannya sebagai kekuatan oposisi. Akan tetapi, risiko kegentingan setelahnya akan sangat berbahaya bagi keamanan dalam negeri dan posisi Jokowi sebagai Presiden.

Membiarkan Kasus Begitu Saja

Kasus Rizieq adalah salah satu kasus paling problematik yang dihadapi Presiden. Ada dilema yang harus dihadapinya saat harus mengambil langkah. Jika kasus dihentikan, maka publik akan mempertanyakan kewibawaan negara di depan seorang pelanggar hukum. Sementara itu jika kasus berlanjut, maka ada tantangan berupa kemarahan pecinta garis keras Rizieq.

Sepertinya, membiarkan kasus ini tanpa campur tangan Presiden adalah hal yang sangat aman. Menjelang Pilpres 2019, mengambil salah satu opsi di atas akan berakibat fatal. Oleh karena itu, membiarkan kasus ini dan tidak mengintervensi jalannya hukum adalah pilihan yang paling aman.

Presiden tidak harus terlihat lemah dihadapan pihak yang dianggap kriminal. Ia juga tidak harus tunduk pada amarah atau keinginan pihak manapun, dengan memberikan ampunan pada Rizieq. Wibawa presiden dan negara tidak tergoncang begitu parah jika mengambil opsi ini.

Selain itu, Presiden juga tidak harus mengotori tangannya dengan memenjarakan Rizieq. Rizieq boleh jadi salah satu oposisi pemerintahan saat ini. Akan tetapi, menangkap dan memenjarakannya hanya akan membuat Presiden terlihat semakin buruk di mata kelompok pendukung Imam Besar FPI tersebut. Ancaman keamanan setelahnya jauh lebih berisiko dari sekadar menyingkirkan kekuatan oposisi.

Bagi Rizieq sendiri, jika Presiden tidak mengambil langkah spesifik, ia dapat menghindari sejumlah risiko. Rizieq tidak perlu berlutut, memohon, dan mengaku salah kepada Jokowi untuk meminta amnesti. Selain itu, ia juga tidak perlu menjalani proses hukum yang berpotensi merendahkan martabatnya.

Opsi ini juga baik bagi aparat penegak hukum. Polri tidak perlu takut akan dicap tidak kompeten karena kasus tidak dihentikan dengan cara apapun. Hal serupa berlaku bagi kejaksaan, mereka tidak perlu mengeluarkan seponering seperti pada kasus Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.

Berdasarkan filsafat konsekuensialisme, aksi lepas tangan Presiden pada kasus Rizieq merupakan langkah yang memiliki konsekuensi baik paling banyak. Langkah ini sekilas membuat kasusnya jadi menggantung, akan tetapi minim risiko dan konsekuensi adanya bahaya. Oleh karena itu, berdasarkan filsafat tersebut, akan lebih baik bagi Presiden untuk tidak melakukan mengintervensi.

Langkah ini akan sangat bermanfaat bagi Presiden, karena tahun politik sudah di ambang pintu. Membiarkan kasus ini begitu saja akan membuat Presiden dapat melalui pintu tersebut dengan aman dan nyaman. (H33)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...