Cross BorderOppenheimer, Pengingat Dosa Besar Paman Sam?

Oppenheimer, Pengingat Dosa Besar Paman Sam?

- Advertisement -

Film Oppenheimer baru saja rilis di Indonesia. Bagaimana kita bisa memaknai pesan sosial dan politik di balik film yang sangat diantisipasi tersebut? 


PinterPolitik.com 

“Might does not make right.” – T. H. White

Buat kalian para penggemar film, pastinya kalian sudah tidak sabar menonton karya terbaru dari sutradara kondang, Christopher Nolan, yang berjudul Oppenheimer. Dan memang, baru saja rilis beberapa hari, banyak yang sudah berpandangan film yang berdurasi tiga jam tersebut adalah film terbagus sepanjang tahun 2023 ini. 

Tidak heran, Oppenheimer memang membawa premis yang sangat menarik untuk ditampilkan dalam layar lebar, yakni kisah kehidupan sosok yang sering dijuluki sebagai “Bapak Bom Atom”, J. Robert Oppenheimer. Buat kalian yang belum terlalu familiar, Oppenheimer adalah seorang fisikawan yang mengepalai tim penelitian dan pengembangan Proyek Manhattan, proyek yang membuat Amerika Serikat (AS) menjadi negara pertama yang menggunakan bom atom dalam peperangan. 

Kalau kalian suka buka YouTube, mungkin kalian pernah berpapasan dengan video interview Oppenheimer dari kanal PlenilunePictures, yang mengatakan betapa dirinya sangat menyesali hasil risetnya digunakan untuk senjata pemusnah massal. 

Namun, makna film Oppenheimer tentu tidak hanya tentang personalitas Oppenheimer-nya saja. Bagi para penyuka sejarah dan politik internasional, film Oppenheimer juga bisa menjadi jendela pembuka pandangan terhadap realita yang menjadi latar belakang bagaimana negara adidaya seperti AS akhirnya memutuskan menggunakan senjata pemusnah massal. 

Tentunya, hal tersebut juga berlaku bagi masyarakat AS sendiri, karena penggunaan bom-bom atom pertama, yakni Little Boy dan Fat Man, sempat menjadi inti perdebatan dilematis di antara masyarakat Negeri Paman Sam. Bagi mereka yang sangat menentang peperangan, bom atom yang diciptakan Oppenheimer bersama timnya adalah simbol kejahatan dunia, sementara bagi mereka yang mendukung kemenangan AS dalam Perang Dunia II (PD II), bom atom adalah hal yang justru dibutuhkan. 

Dari sini, kehadiran film Oppenheimer itu sendiri sebetulnya bisa menjadi bahan perbincangan yang menarik. Mungkinkah populernya film tersebut sebetulnya menjadi indikasi bahwa bom Hiroshima dan Nagasaki selalu menjadi dosa besar yang disesali AS, atau justru adalah dosa yang mereka “banggakan”? 

image 15

Dua Sisi Koin Oppenheimer 

Secara resmi, pernyataan pembelaan penggunaan bom atom oleh pemerintah AS di bawah kepemimpinan Presiden Harry S. Truman adalah mereka perlu melakukannya karena tidak ada pilihan lain. Akan tetapi, argumen yang awalnya dipopulerkan oleh pernyataan pers mantan Menteri Pertahanan (Menhan), Henry Stimson tersebut ternyata memiliki sejarah kelam. 

Ketika ditanya tentang kenapa pemerintah memutuskan membom pemukiman sipil Jepang, Stimson menyebutkan bahwa bila AS mengirim pasukan ke Jepang untuk mendudukinya, pemerintah setidaknya perlu mengorbankan satu juta prajurit yang tewas. Oleh karena itu, berdasarkan pemikiran yang lama (katanya), dibandingkan dengan mengorbankan banyak nyawa pemuda AS, pemerintah akhirnya secara berat hati memutuskan mengirim bom nuklir buatan Oppenheimer dan kawan-kawan. 

Baca juga :  Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Namun, Rufus E. Miles, Jr., dalam tulisannya Hiroshima: The Strange Myth of Half a Million American Lives Saved, menyebutkan bahwa seseorang yang bernama Mac Bundy, yang menjadi penulis hantu dari skrip yang dibacakan Stimson, mengatakan kalau angka perkiraan satu juta prajurit AS yang akan mati itu adalah angka yang dibuat secara mengada-ngada. 

Lebih mirisnya lagi, sebuah film dengan judul The Beginning or the End, yang sebenarnya adalah propaganda AS dalam menjustifikasi bom atomnya, menceritakan bahwa pemerintah AS beberapa hari sebelum menjatuhkan bom di Hiroshima dan Nagasaki sudah menjatuhkan ribuan pamflet ke kota-kota tersebut agar para warga sipil bisa diungsikan. Akan tetapi, Alex Wellerstein, seorang ahli nuklir yang juga mempelajari sejarah Proyek Manhattan, mengungkapkan bahwa pemerintah AS tidak pernah melakukan itu. 

Hal-hal di atas bisa sedikit membuktikan bahwa meskipun dalam catatan sejarah AS sering dicitrakan sebagai negara yang menyesal karena perlu menjatuhkan bom atom, dalam kenyataannya, bisa jadi penyesalan tersebut hanya diekspresikan agar tidak terjadi penolakan besar-besaran oleh masyarakat AS yang pro-perdamaian. Sementara itu, tidak bisa dipungkiri bahwa keputusan AS untuk membom Hiroshima dan Nagasaki – yang menewaskan lebih dari 150.000 warga sipil – adalah sebuah dosa besar yang selama puluhan tahun dicoba ditutupi melalui ucapan-ucapan manis. 

Oleh karena itu, tidak heran bila hingga saat ini terdapat semacam belahan sosial di masyarakat AS tentang pengeboman bom atom. Di satu sisi, Oppenheimer dan timnya bisa dianggap sebagai sosok pahlawan yang berhasil berkontribusi dalam pengakhiran perang, akan tetapi, hal itu tetap tidak bisa menutupi fakta bahwa pada momen bersejarah tersebut pemerintah AS rela membunuh banyak orang tidak bersalah hanya untuk membuat pernyataan pada dunia bahwa mereka adalah negara paling kuat. 

Dan memang, hampir 80 tahun setelah peristiwa itu terjadi, publik di AS mengalami pergeseran opini tentang moralitas penggunaan bom atom di Jepang. Sesuai survei yang dilakukan Pew Research Center pada tahun 2015, jumlah warga yang menyetujui bom atom di Jepang telah turun menjadi 57 persen, dari 85 persen pada tahun 1945. 

Bisa jadi, fenomena ini adalah indikasi dari apa yang disebut sebagai collective regret atau penyesalan kolektif. Sosiolog Maurice Halbwachs dalam bukunya The Collective Memory, menyebutkan bahwa suatu peristiwa sejarah akan memiliki memori kolektif yang kemudian mampu membentuk opini publik. Jika peristiwa tersebut memiliki sejarah yang kelam, maka seiring waktu masyarakat pun akan berusaha membetulkan memori kolektif tersebut dengan menciptakan tren penyesalan di masyarakat. Salah satunya adalah melalui media populer seperti film dan video game.  

Baca juga :  Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Nah, dengan demikian, bisa kita katakan bahwa munculnya film Oppenheimer adalah salah satu bukti dari berjalannya progres koreksi memori kolektif di AS. Film tersebut bisa sangat diantisipasi karena secara alam bawah sadar warga AS, dan mungkin juga dunia, ingin ada perspektif yang bisa menunjukkan bahwa AS sebenarnya perlu menyesali tindakannya dalam membunuh ratusan ribu warga Jepang yang tidak bersalah. 

Akan tetapi, bagaimana bila kita mencoba melihat fenomena collective regret ini dari kacamata politik yang objektif? 

image 16

Ambiguitas Moralitas 

Satu hal yang menarik tentang collective memory dan collective regret adalah seiring waktu dinamikanya bisa sangat radikal. Saat ini mungkin kita dan warga AS bisa ramai-ramai menghardik keputusan di balik penjatuhan bom atom di Jepang.

Akan tetapi, di dalam masa perang, standar moralitas sangat berbeda dengan ketika masa damai. Moralitas hanyalah hak istimewa bagi mereka yang menilainya dari kejauhan. 

Dengan demikian, bila kita berusaha menarik satu kesimpulan di balik pesan yang coba disampaikan oleh film Oppenheimer, maka sepertinya hal itu bukanlah tentang salahnya keputusan AS dalam menjatuhkan bom atom, melainkan betapa ngerinya suatu negara bila mereka merasa eksistensial dirinya terancam. 

Dalam studi Hubungan Internasional, kita mengenal apa yang disebut sebagai teori realisme. Teori ini menjelaskan bahwa di balik segala perundingan politik yang dilaksanakan para pemimpin, kekuatan dan harga diri negara tetap menjadi hal yang terpenting.

Bahkan, jika harus mengorbankan ratusan ribu warga yang tidak bersalah, tidak hanya AS, tapi negara-negara lain di dunia ini juga pasti akan rela melakukannya bila dihadapkan pada sesuatu yang bisa mengancam kedaulatannya. 

Maka dari itu, ketika kalian nantinya menonton film Oppenheimer, besar harapannya film tersebut akan semakin menyadarkan kalian untuk menghargai masa-masa perdamaian. Karena dengan sistem kehidupan yang seperti ini, di mana segala halnya bisa sangat diatur oleh negara, jika nantinya suatu peperangan pecah, tidak ada jaminannya kita tidak akan bernasib sama seperti para warga Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. (D74) 

spot_imgspot_img

More from Cross Border

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Nuklir Oppenheimer Justru Ciptakan Perdamaian?

Film Oppenheimer begitu booming di banyak negara, termasuk Indonesia. Menceritakan seorang Julius Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika yang berperan penting pada Proyek Manhattan, proyek...

Zelensky Kena PHP NATO?

Keinginan Ukraina untuk masuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mendapat “hambatan” besar. Meski mengatakan bahwa “masa depan” Ukraina ada di NATO, dan bahkan telah...

Eropa “Terlalu Baik” Terhadap Imigran?

Kasus penembakan yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian terhadap seorang remaja imigran telah memicu protes besar di Prancis. Akan tetapi, kemarahan para demonstran justru...

More Stories

Segitiga Besi Megawati

Menurut kalian, faktor apa yang membuat Bu Mega sangat kuat secara politik? Share di kolom komentar ya!

2029 “Kiamat” Partai Berbasis Islam? 

Pilkada 2024 menjadi catatan tersendiri bagi partai politik berbasis Islam besar di Indonesia, yakni PKS dan PKB. Bagaimana partai-partai ini bisa membenahi diri mereka dalam menyambut dinamika politik lima tahun mendatang? 

PKS Di Sana Bingung, Di Sini Bingung

Di sana bingung, di sini bingung. Di tengah-tengahnya ada PKS?  #pks #prabowo #aniesbaswedan #kimplus #pilgubjakarta #ahmadsyaikhu #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini