Kembalinya Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab ke Indonesia ditangkap sebagai sinyal bangkitnya kekuatan oposisi. Di tengah surplus kekecewaan terhadap pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin, kehadiran oposisi memang dibutuhkan sebagai corong publik untuk menyuarakan ketidakadilan. Akankah Habib Rizieq mampu memenuhi ekspektasi tersebut?
Tak dapat disangkal, masifnya sambutan atas kepulangan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab ke Indonesia merupakan sinyal kuat yang mengindikasikan bahwa pengaruh sang ulama memang belumlah redup.
Setelah keriuhan tumpah ruah di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta 10 November lalu, kini kediaman Habib Rizieq di bilangan Petamburan, Jakarta, seolah menjadi magnet raksasa yang menarik para tokoh, terutama yang dianggap berseberangan dengan pemerintah, untuk berkunjung.
Anies Baswedan dapat dikatakan menjadi salah satu sosok prominen pertama yang menyambangi Habib Rizieq. Tentu saja, gerak cepat Gubernur DKI Jakarta itu pun tak luput dari pro-kontra.
Sebagian pihak memandang wajar pertemuan tersebut mengingat betapa besarnya peran Habib Rizieq dan FPI dalam mengantarkan Anies menuju kursi DKI-1. Tak sedikit juga yang bahkan mengait-ngaitkannya dengan kontestasi Pilpres 2024 yang notabene masih terlalu pagi untuk dibahas.
Namun di sisi lain, Anies juga tak bisa menghindari cibiran-cibiran karena dianggap memberikan contoh buruk bagi penanganan pandemi Covid-19 lantaran mengunjungi seseorang yang masih dalam masa karantina mandiri.
Kendati begitu, langkah Anies itu tetap diikuti tokoh-tokoh lainnya. Amien Rais, yang juga baru saja memperkenalkan logo Partai Ummat juga menyambangi kediaman Habib Rizieq, disusul oleh elite-elite Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Terlepas dari polemik yang ada, tak dapat dipungkiri, fenomena ini seolah menyiratkan bahwa kekuatan para oposisi pemerintah tengah berkonsolidasi kembali di belakang Habib Rizieq. Sejumlah pengamat politik bahkan menilai kehadirannya akan memperkuat gerakan rakyat yang saat ini tengah jengah dengan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dengan kebijakan-kebijakan anti-populisnya.
Simbolisasi sosok Habib Rizieq sebagai pimpinan kekuatan oposisi diafirmasi oleh pengamat politik yang juga vokal mengkritik pemerintah, Rocky Gerung. Ia optimistis, Habib Rizieq bersama eks panglima TNI Gatot Nurmantyo akan memberikan masukan solutif seputar persoalan negara, seperti kesetaraan dan keadilan. Lantas mampukah Habib Rizieq memenuhi ekspektasi tersebut?
Gairahkan Oposisi
Sejak Partai Gerindra bergabung dengan kubu pemerintah, kekuatan oposisi di parlemen bisa dibilang nyaris kehilangan tajinya. Bahkan sejumlah pengamat menilai DPR kini seperti macan ompong lantaran selalu seiya-sekata dengan pemerintah.
Getir yang dirasakan publik akibat kekosongan peran oposisi pun diperparah dengan kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi yang semakin dianggap tak berpihak kepada rakyat. Belum lagi carut-marutnya penanganan pandemi Covid-19 turut menambah beban psikis publik.
Pengamat Politik Ray Rangkuti menilai serangkaian gerakan masyarakat yang menolak Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) merupakan bentuk akumulasi kekecewaan publik terhadap pemerintah. Namun sayangnya, ekspresi kekecewaan itu dibalas pemerintah melalui tindakan represif aparat dengan menangkap-nangkapi para aktivis yang vokal menyuarakan ketidakadilan.
Di tengah kebuntuan itu, kehadiran Habib Rizieq sebagai sosok yang selama ini keras menentang pemerintah bisa saja membawa harapan baru kepada publik. Pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno menilai Habib Rizieq bisa menjadi amunisi baru bagi tokoh-tokoh atau partai politik yang selama ini berseberangan dengan pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin.
Belum lagi, gelagat para tokoh politik yang mendatangi kediaman Habib Rizieq itu membuktikan bahwa oposisi memang memiliki hubungan erat dengan Habib Rizieq selama ini. Selain itu, pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo juga menyebut bahwa besarnya massa yang dimiliki Habib Rizieq, membuat sosoknya begitu seksi bagi para oposan untuk merekrutnya dan bergabung bersamanya mengkritisi pemerintah.
Dengan demikian maka menjadi wajar apabila kepulangan Habib Rizieq memantik sambutan yang begitu masif.
Terjebak Perangkap Ideologi?
Kendati karismanya tak diragukan lagi mampu menggairahkan kembali gerakan oposisi, namun Habib Rizieq tetaplah sosok kontroversial yang tak segan-segan menyerang lawan politiknya, terutama pemerintah, dengan narasi-narasi politik identitas.
Getirnya, manuver itu kerap dibalas pemerintah dengan narasi-narasi yang seolah menuding kubu Habib Rizieq bertentangan dengan Pancasila, keragaman, dan toleransi, sehingga menjadikan perselisihan di antara keduanya lebih banyak fokus di persoalan ideologi.
Benno Buehler dan Anke Kessler dalam tulisannya yang berjudul The Ideology Trap mengatakan bahwa pemimpin ataupun tokoh yang lebih menekankan pada ideologi untuk mencapai suatu tujuan, seperti halnya Habib Rizieq, dapat disebut sebagai pemimpin ideologis atau ideolog.
Para pemimpin ini cenderung merekatkan diri sendiri dalam seperangkat keyakinan dan nilai yang mereka yakini, dan secara konsisten mendasarkan tindakan politik mereka pada nilai-nilai tersebut. Contohnya, para politikus sering menggunakan label ‘liberal’, ‘konservatif’, ‘moderat’, ataupun ‘kiri’ untuk menggambarkan diri mereka sendiri dan lawan politiknya. Fenomena ini mereka namakan “jebakan ideologi”.
Kendati begitu, Daniel Bell dalam bukunya yang berjudul The End of Ideology sempat meramalkan suatu keadaan dunia di mana ideologi suatu saat nanti akan mati. Menurutnya itu akan terjadi ketika perkembangan politik di negara-negara Barat telah memandang perlunya mengakhiri persaingan ideologi dan politik.
Kematian ideologi ini disebabkan lantaran di tengah persoalan dunia yang semakin kompleks, terutama persoalan pembangunan ekonomi dan kemajuan teknologi, diperlukan langkah pragmatis untuk mencapai hasil yang lebih cepat dan efektif daripada berlarut-larut dalam persaingan ideologi dan politik yang tak berkesudahan.
Dengan melihat rekam jejak Habib Rizieq dan pegikut-pengikutnya yang cenderung bermanuver di ranah politik identitas, maka dapat dikatakan bahwa gerakan oposisi yang tengah dibangunnya saat ini memang sangat rawan terjebak dalam perangkap ideologi.
Jika hal ini terjadi, maka gerakan tersebut berpotensi gagal memenuhi harapan publik, sebab saat ini masyarakat membutuhkan kekuatan yang mampu menyuarakan persoalan-persoalan substantif daripada permasalahan abstrak seperti identitas dan ideologi.
Lalu sekarang pertanyaannya, apa yang bisa dilakukan Habib Rizieq agar gerakan oposisinya itu tak terjebak dalam perangkap ideologi?
Butuh Moderasi?
Meski Bell meramalkan kemajuan teknologi akan membunuh ideologi, namun tak semua pemikir setuju dengan pendapatnya tersebut. Beberapa ilmuwan menilai ideologi adalah seusatu yang tak akan pernah mati.
Sosiolog Daniel Chirot dalam wawancaranya dengan Eurozine mengatakan bahwa selama masih ada perlawanan atas ketidakadilan dan tuntutan kesetaraan, selama itu juga ideologi akan terus hidup.
Penjelasan Chirot itu sepertinya dapat dijadikan jawaban mengapa diskursus mengenai ideologi di Indonesia seoalah tak pernah mati kendati Pancasila telah ditetapkan sebagai ideologi negara sejak republik ini didirikan. Narasi-narasi untuk menantang ideologi yang ada hampir selalu dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan terhadap sistem yang tengah berjalan saat ini.
Namun begitu, sekalipun ideologi disebut tak akan pernah mati, bukan berarti manusia tak bisa lepas dari perangkapnya. R Jagannathan dalam tulisannya yang berjudul Ideology Is A Trap, Whether You’re Left, Right Or Centre mengatakan bahwa salah satu cara untuk bisa lepas dari perangkap ideologi adalah dengan membangun kesadaran bahwa ideologi itu sendiri memiliki batasan yang nyata, dan tak akan selalu cocok di segala situasi.
Dengan kata lain, penawar dari perangkap ideologi adalah moderasi. Ideologi apapun bentuknya, mulai dari kapitalisme, komunimsme, sosialisme, liberalisme, Islamisme, hingga konservatisme membutuhkan moderasi untuk membuatnya tetap relevan dengan perubahan masyarakat yang begitu cepat.
Kendati pengaruhnya dalam memobilisasi massa memang tak bisa dianggap remeh, namun pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun menilai upaya Habib Rizieq untuk menyatukan kekuatan oposisi tetaplah tak mudah. Menurutnya, menjadi penantang pemerintahan yang sah dengan segala sumber daya yang ada tentu memiliki tantangan tersendiri.
Belum lagi, tak semua pihak yang ingin beroposisi cocok dengan platform ideologi yang digelorakan Habib Rizieq selama ini. Berhasil tidaknya Habib Rizieq menyatukan kekuatan oposisi sangat bergantung pada nilai yang diperjuangkan. Ia menyebut nilai atau value yang disepakati bersama dapat membuat gerakan tersebut menjadi efektif.
Kesepakatan nilai itu, kiranya bisa tercapai jika Habib Rizieq mau melakukan moderasi terhadap ideologi yang diperjuangkannya agar lebih bisa diterima oleh banyak kalangan yang ingin beroposisi.
Meski begitu, pada akhirnya sekelumit analisis teoritis ini hanyalah dugaan awal yang belum tentu terjadi. Namun, terlepas dari segala kemungkinan yang ada, signifikansi ketokohan Habib Rizieq sebagai simbol oposisi tetaplah tak terbantahkan. Maka dari itu, bagaimana sepak terjangnya dalam mewarnai dinamika politik nasional ke depan tetaplah menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.