Lolosnya petisi referendum kemerdekaan Papua ke Komisi Tinggi HAM PBB di Jenewa, Swiss menjadi persoalan terbaru yang harus dihadapi pemerintah Indonesia. Petisi yang ditandatangani oleh 1,8 juta orang itu menjadi lembaran baru tuduhan-tuduhan pelanggaran HAM yang kerap disuarakan oleh para pejuang kemerdekaan Papua. Terbaru, OPM dan sayap bersenjata tentara pembebasan Papua telah menyatakan perang terhadap pemerintah Indonesia dalam pernyataannya di Papua Nugini. Dengan konteks Pilpres 2019 yang sudah di depan mata, fakta ini menjadi tamparan untuk Presiden Jokowi dengan segala pendekatan pembangunan yang selama ini ia upayakan.
PinterPolitik.com
“If we had a consensus we wouldn’t have to go to a referendum”.
:: George Papandreou, mantan Perdana Menteri Yunani ::
[dropcap]P[/dropcap]erang saudara sebagai akibat tidak adanya konsensus bersama serta akibat perbedaan kepentingan antarkubu adalah hal yang umum terjadi. Pemberontakan Taiping di Tiongkok yang terjadi pada tahun 1850-1864, atau Perang Sipil di Amerika Serikat (AS) antara tahun 1861-1865 merupakan beberapa contohnya.
Konteks dua peristiwa yang terjadi di waktu yang hampir bersamaan itu memang menjadi guncangan politik yang besar, setidaknya dalam catatan sejarah peradaban manusia. Pemberontakan Taiping memakan korban hingga 20 juta jiwa dan tercatat sebagai salah satu yang terburuk dalam sejarah Tiongkok serta menandai kemunduran Dinasti Qing yang menjadi penguasa kala itu.
Jokowi terlalu fokus pada jembatan berlampu yang dibangun di Jayapura atau pos perbatasan di Merauke, namun tidak getol memperjuangkan diplomasi politik terhadap kelompok-kelompok seperti ULMWP. Share on XSementara Perang Sipil di AS memakan korban hingga 620 ribu jiwa – lebih banyak dari keseluruhan korban tentara AS yang tewas dalam semua perang yang pernah diikuti negara tersebut – adalah salah satu catatan paling kelam negara tersebut.
Kini, persoalan ketiadaan konsensus bersama dan benturan kepentingan yang serupa mendapatkan kembali tempatnya di wilayah paling timur Indonesia, yakni Papua. Beberapa hari yang lalu, Organisasi Papua Merdeka (OPM) bersama sayap bersenjata tentara pembebasan Papua telah menyatakan perang terhadap pemerintah Indonesia.
Dalam sebuah konferensi pers di Port Moresby, Papua Nugini kelompok tersebut menyebut akan melakukan serangan bersenjata sampai pemerintah Indonesia sepakat melakukan negosiasi damai.
Konteks persoalan ini menjadi cerita lanjutan setelah pada 25 Januari lalu, pemimpin United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Benny Wenda menyerahkan petisi tuntutan referendum kemerdekaan Papua ke Komisi Tinggi HAM PBB di Jenewa, Swiss.
Dalam keterangannya, Benny menyebut petisi seberat 40 kilogram yang ditandatangani oleh 1,8 juta orang itu adalah tulang rangka warga Papua yang telah lama memperjuangkan kemerdekaan wilayahnya.
Dalam laporannya, The Guardian menyebutkan Dewan HAM PBB sedang mempertimbangkan dan kemungkinan akan mengajukan permohonan akses ke wilayah Papua sebagai tindak lanjut petisi tersebut. Aksi serangan kelompok bersenjata yang terjadi di Nduga beberapa waktu lalu kemudian dijadikan alasan untuk memperkuat argumentasi atas urgensi izin akses tersebut.
Jika akses terhadap PBB diberikan, maka tentu saja potensi lepasnya Papua dari Indonesia semakin besar. Persoalan yang kemudian menjadi perdebatan selanjutnya adalah bagaimana konteks isu kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini dimaknai jelang Pilpres 2019?
Pasalnya, dengan panas-panas kampanye politik yang selama ini bergulir, isu tentang Papua – terutama tentang separatismenya – sama sekali tidak mendapatkan tempatnya. Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang cukup percaya diri dengan program-program pembangunannya di Papua.
Sebelum Pilpres 2014, ia juga adalah satu-satunya kandidat yang berkampanye di Papua. Namun, hal itu nyatanya belum mampu menjadi kunci untuk meredam berbagai gerakan pemberontakan. Bahkan di era Jokowi-lah organisasi seperti ULMWP lahir.
[VIDEO] Tanggapan Wakil Ketua DPR RI @fadlizon Terkait Kelompok Separatis the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Yang Mengklaim Telah Menyerahkan Petisi Referendum Papua Barat ke PBB. #PimpinanDPR pic.twitter.com/uJgrVVaRxq
— DPR RI (@DPR_RI) February 1, 2019
Sementara Prabowo Subianto, belum sedikit pun menyinggung persoalan Papua ini. Di tahun 2014 lalu ia bahkan tidak berkampanye di wilayah paling timur Indonesia ini.
Pertanyaannya adalah akankah isu referendum Papua ini menjadi babak baru perdebatan antara Jokowi dan Prabowo dalam debat-debat Pilpres selanjutnya? Lalu, apakah benar makin panasnya tensi persoalan yang terjadi menunjukkan kegagalan diplomasi Jokowi?
Bara Referendum Papua
Isu referendum Papua memang sudah bergulir cukup lama. Pada April 2018 lalu, aparat kepolisian menangkap 45 mahasiwa Universitas Cendrawasih Jayapura dan anggota Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Penangkapan itu disebut-sebut terkait wacana adanya deklarasi Panitia Persiapan Kemerdekaan Republik Papua Barat.
Kala itu, KNPB juga menyerukan kepada masyarakat Papua untuk tidak ikut memilih pada Pilkada Serentak. Isu yang dibawa adalah referendum Papua dijadikan alat oleh para politisi lokal untuk memenangkan kontestasi elektoral di wilayah tersebut. KNPB juga melihat Pilkada sebagai produk pemerintah Indonesia, sehingga sudah selayaknya tidak diikuti oleh masyarakat Papua.
Terlepas dari apa yang disuarakan oleh KNPB, ajakan yang mereka sampaikan memang menunjukkan bahwa wacana referendum telah sampai ke masyarakat di tataran paling bawah. Bahkan isu ini menjadi sangat menarik di Papua dan dimanfaatkan oleh para politisi yang bertarung untuk memenangkan konteks kekuasaan lokal di wilayah tersebut.
Isu ini kemudian mendapatkan dampak yang lebih besar pasca organisasi-organisasi pembebasan Papua mendapatkan dukungan internasional. ULMWP misalnya adalah organisasi yang lahir di Vanuatu, sebuah negara kepualauan di Samudra Pasifik. Vanuatu yang luasnya hanya seperseratus Indonesia ini memang menjadi negara yang cukup vokal membantu perjuangan kemerdekaan Papua.
Konteks semangat Melanesian Way memang menjadi pengikat gerakan kemerdekaan Papua dengan negara-negara seperti Vanuatu. Papua – lewat ULMWP – adalah bagian dari Melanesian Spearhead Group (MSG), sekalipun masih berstatus sebagai observer.
MSG sendiri adalah organisasi negara-negara Melanesia dan Indonesia pun kini menjadi bagian darinya sebagai associated member. Jim Elmslie dalam tulisannya berjudul Indonesian Diplomatic Maneuvering in Melanesia: Challenges and Opportunities, menyebutkan bahwa keanggotaan Indonesia dalam MSG memang tidak lepas dari tujuan untuk membendung diplomasi internasional ULMWP dalam rangka memperoleh dukungan politik untuk menentukan nasib sendiri dan memperoleh kemerdekaan.
Dengan demikian, peran Vanuatu dan menguatnya gerakan untuk memperjuangkan referendum Papua memang telah diprediksi akan meningkat. ULMWP menggunakan jalur diplomasi sebagai perjuangannya, sementara sayap-sayap militer menggunakan cara-cara gerilya di hutan.
Benny Wenda dan perjuangannya membuka kantor di Oxford, Inggris membuat konteks isu “dekolonialisasi Papua” – demikian istilah yang sering dipakai – punya corong resonansi politik yang lebih besar. Tidak heran pula hal ini membuat media-media seperti The Guardian dan BBC kerap punya konsen isu terhadap segala persoalan yang terjadi di Papua.
Dengan makin dekatnya Pilpres 2019, gerakan kemerdekaan Papua memang melihat peluang bagi mereka untuk memanfaatkan momen pergantian kepemimpinan sebagai jalan untuk memperkuat posisi politiknya. Pertanyaannya adalah apa yang harus dilakukan oleh Jokowi sebagai presiden yang saat ini menjabat?
Pilpres dan Kegagalan Diplomasi Jokowi?
Jika memperhatikan debat Pilpres perdana beberapa waktu lalu, isu Papua yang seharusnya menjadi konsen keamanan nasional – termasuk isu-isu HAM di dalamnya – tidak disinggung dan dibahas.
Demikian pun dalam beberapa hari terakhir pasca kabar petisi Benny Wenda itu, tidak ada tanggapan berarti dari baik oposisi, katakanlah yang mengkritik pendekatan politik Jokowi atas Papua. Tampaknya baik Jokowi maupun Prabowo sama-sama berada di kubu yang sama dalam menyikapi persoalan ini.
Isu Papua ini memang terkesan “dihindari” dalam konteks perdebatan politik yang menajam antara dua kubu. Profesor Ilmu Komunikasi dari University of Maryland, Shawn Parry-Giles – dan beberapa peneliti lain – dalam salah satu tulisan menyebutkan bahwa dalam Pemilu, sering kali kandidat yang bertarung tidak menyinggung isu tertentu untuk alasan tertentu.
Biasanya, alasan yang menjadi dasarnya adalah pertimbangan bahwa isu tersebut dianggap mampu memperburuk citra politiknya, atau isu tersebut bersifat sensitif dan mempengaruhi kepentingan yang lebih besar.
Parry-Giles memang menyinggung fenomena ketika kandidat perempuan sering kali tidak banyak berbicara tentang isu perempuan. Namun, hal ini bisa dipakai pula dalam melihat fenomena umum di balik alasan kandidat menghindari pertentangan tajam atas isu tertentu.
Dalam isu Papua, Prabowo tentu saja bisa mengambil kesempatan untuk mengkritik Jokowi secara terbuka terkait pendekatan dan diplomasinya di wilayah tersebut. Jokowi memang menggunakan pendekatan pembangunan, yang tidak jarang justru dikritik sebagai pencitraan politik semata karena mengambil keuntungan atas pembangunan yang telah terjadi sejak era pemerintahan sebelumnya. (Baca: Jokowi, Machiavelli di Papua?)
Namun, hal itu tak dilakukan Ketua Umum Partai Gerindra itu. Prabowo seperti paham betul bahwa isu Papua adalah tentang persoalan NKRI yang memang harus dijaga keutuhannya. Sekalipun ada sosok putra Papua seperti Natalius Pigai di kubunya yang kerap tajam mengkritik Jokowi, wacana politik yang timbul belakangan tidak setajam isu tempe setipis ATM, hoaks, dan lain sebagainya.
Meskipun demikian, isu referendum Papua tetap menunjukkan ada hal yang salah dalam diplomasi Jokowi terkait isu ini. Apalagi, perjuangan organisasi macam ULMWP ini baru mendapatkan bentuknya pasca Jokowi naik tahta. Sebagai catatan, ULMWP lahir pada 7 Desember 2014 atau beberapa bulan sejak Jokowi dilantik.
Artinya, diplomasi politik dalam isu Papua ini tidak berjalan dengan baik. Jokowi terlalu fokus pada jembatan berlampu yang dibangun di Jayapura atau pos perbatasan di Merauke, namun tidak begitu getol memperjuangkan diplomasi politik terhadap kelompok-kelompok seperti ULMWP.
Harus diakui, pendekatan politik yang dipakai Jokowi punya dampak psikologis yang besar terhadap masyarakat Papua karena kini merasa lebih diperhatikan pemerintah. Namun, seperti kata George Papandreou di awal tulisan, tanpa ada konsensus bersama – yang umumnya diperoleh lewat jalur diplomasi – referendum suatu saat akan benar-benar terjadi di Papua.
Yang harus dihindari tentu saja adalah konflik bersenjata. Karena sama seperti pemberontakan Taiping dan Perang Sipil AS, aksi bersenjata akan berdampak buruk dan mendatangkan korban jiwa. (S13)