Fenomena korban berjatuhan karena miras oplosan bukan hal baru. Tetapi mengapa hal ini terus terjadi?
PinterPolitik.com
[dropcap]D[/dropcap]ua orang wanita menangis histeris, kala menerima kabar kematian anggota keluarga mereka akibat miras oplosan di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Kematian ini boleh disebut sebagai tragedi. Tetapi, fenomena tersebut tidaklah baru apalagi unik.
Di Indonesia, kematian akibat minuman oplosan selalu ada dan angkanya tak bisa diremehkan. Gerakan Nasional Anti Miras (Genam) mencatat, tiap tahunnya jumlah orang yang meninggal karena miras bisa mencapai 18.000 orang. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan pernah berkata bahwa kematian terkait alkohol di dunia, mencapai angka 9 persen dari seluruh kematian yang terjadi pada usia 15 – 29 tahun.
Apa yang dicatat oleh WHO di tahun 2011 tersebut nyatanya masih relevan hingga saat ini, sebab dalam kasus yang terjadi di Bandung, Depok, dan sekitarnya, rentang usia korban yang meninggal karena miras oplosan rata-rata masih berusia remaja dan berusia di awal dua puluh tahun. Mereka masih sekolah dan belum memiliki pekerjaan yang stabil.
Menurut saya sih, jangan mengonsumsi alkohol dulu kalau belum punya penghasilan.
Jujur saja, salah satu impian saya di kepala dua adalah merasakan mabok alkohol. Tapi kalau harus beli sendiri untuk saat ini, engga deh masih miskin saya.— χειμώνας (@runeeihwaz) April 11, 2018
Hal ini juga bersinggungan dengan tingkat konsumsi alkohol di Indonesia. Di jajaran ASEAN, Indonesia memang menempati urutan buncit soal konsumsi alkohol, yakni hanya sebesar 0,1 persen per kapita. Tetapi konsumsi miras oplosan ternyata lebih tinggi 5 persen dari miras legal, yakni sebesar 0,5 persen.
Dengan demikian, keberadaan miras oplosan tak muncul di ruang hampa. Peminatnya, ‘diam-diam’, ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan miras legal, aman, dan tercatat di BPOM. Mereka pun bisa dikatakan setia, mengingat kasus kematian karena miras oplosan pun selalu ada.
Lantas, apa yang terjadi pada fakta-fakta di atas? Mengapa miras oplosan selalu ada? Lalu, apakah adil menghakimi para korban miras oplosan dengan sebutan penyakit sosial (social disease)? Apa yang sebenarnya membuat lingkaran setan kematian akibat oplosan terus terjadi?
Oplosan, Kreativitas Berujung Kematian
“Mereka yang tak bisa membeli miras, membuat sendiri mirasnya”. Pernyataan tersebut keluar dari seorang sosiolog asal Universitas Indonesia, Otto Hernowohadi. Apa yang diucapkannya itu, kurang lebih menggambarkan bagaimana Jimi, salah satu korban miras oplosan di Depok yang selamat, bisa bersentuhan dengan miras oplosan.
Sebelum menghakimi aktivitas minum miras adalah sebuah penyakit sosial (social disease), ada baiknya memahami bagaimana kebiasaan minum miras oplosan tumbuh di lingkungan miskin. Sebagai contoh, Jimi ternyata sudah dua tahun mengkonsumsi miras oplosan yang didapat dari bengkel motor, alih-alih toko minuman.
Apa yang terjadi pada Jimi, merupakan konsekuensi dari keterbatasan pendapatan yang dimilikinya. Selain itu di daerah tempat tinggalnya, memang hanya ada penjual miras oplosan, ketimbang miras legal. Namun begitu, jikalau ada miras legal yang tersedia di daerah tempat tinggalnya pun, ia dan teman-temannya tetap tak bisa menjangkau, sebab harga termurah miras legal berkisar di harga Rp. 300.000.
Berbeda dengan miras legal, miras oplosan bisa didapatkan hanya dengan modal Rp. 15.000 sampai Rp. 20.000. Dari sana, ‘para rakyat kecil’ bisa dapat satu sampai tiga gelas miras oplosan. “Karena memang faktor ekonomi dan pingin minum. Enggak ada duit, ya udah beli GG (nama toko) aja lebih murah,” terang Jimi.
Daisy Indira Yasmin, sosiolog dari UI ini pun juga pernah menjelaskan sebuah fenomena sosial psikologi yang bernama Depresi Sosial. Sebuah keadaan depresif yang terjadi di masyarakat karena himpitan ekonomi atau kesulitan hidup secara sosial. Upaya melepaskan diri dari keadaan yang sulit tersebut, menurut Indira, salah satunya dilakoni dengan eskapisme (jalan keluar) minum miras secara berkelompok.
Kegiatan tersebut pada akhirnya bisa mengeluarkan sebuah euforia (kesenangan) sesaat karena merasa keluar dari masalah. Ditambah lagi, kegiatan minum biasanya dilakukan berkelompok. Seperti halnya Jimi dan kawan-kawannya, mereka minum miras oplosan bersama dengan belasan orang lainnya. Indira berkata, kegiatan tersebut selain melepas penat, juga melahirkan perasaan ‘ringan sama dijinjing, berat sama dipikul’ karena kebersamaan.
Upaya untuk lari dari kepenatan hidup itu, ternyata membawa konsekuensi yang tak main-main, yakni kematian. Tentu kita bisa menyalahkan mereka atas ketidaktahuan seputar zat-zat kimia yang dicampur dalam miras oplosan. Ditambah lagi, beberapa dari korban pun secara hukum belum boleh mengkonsumsi alkohol karena masih berusia di bawah 21 tahun.
Mereka juga mudah disalahkan lewat tudingan moral, karena ‘dosa’ menenggak miras yang dinilai haram oleh agama. Tetapi semua hal itu tak bisa ditumpahkan pada korban semata, sebab akses mereka untuk menikmati kesenangan dan pengetahuan zat berbahaya, sejak awal pun memang terbatas.
Seperti yang diberitakan CNN, di lingkungan tempat tinggal para korban tidak ada sarana hiburan terjangkau yang punya manfaat lebih dan berfaedah ketimbang miras. Secara turun temurun, kebersamaan melepas penat dengan oplosan pun lestari, karena paling mudah dilakukan.
Dengan demikian, melabeli perilaku mereka dengan penyakit sosial (social disease) pun menjadi sebuah kegamangan tersendiri. Sebab, penyakit itu pun sebetulnya lahir dari adanya ketimpangan yang juga diciptakan dari kebijakan pemerintah. Ketimpangan itu, tak hanya terlihat dari harga miras legal dan oplosan yang sangat jauh. Tetapi juga bagaimana ketimpangan menciptakan kemiskinan dan kematian lewat gelas-gelas murah miras oplosan.
Meneropong Ketimpangan Lebih Dalam
Ashley Crissman, sosiolog dan analis senior asal Amerika Serikat berkata, ketimpangan bisa dilihat dari adanya hierarki kelas, ras, ekonomi, dan gender, sehingga membuat sumber-sumber daya dan hak-hak dasar menjadi tidak terdistribusi secara merata. Ketidakmerataan tersebut, akhirnya termanifestasi melalui pendidikan, pendapatan, dan sumber daya kultural yang timpang.
Penggambaran Crissman bukanlah hal yang asing di Indonesia. Pada tahun 2017 lalu, Oxfam, sebuah lembaga LSM asal Inggris di Indonesia, pernah mencatat, jika harta empat taipan terkaya di negara ini sama dengan harta yang dimiliki oleh 100 juta orang miskin. Saking banyaknya harta keempat orang kaya tersebut, bunga pendapatannya, bisa dibelanjakan 100 juta penduduk miskin selama setahun.
Laporan terkait ketimpangan juga pernah dibeberkan Bank Dunia melalui laporan Indonesia’s Rising Divide yang menyebut empat hal pendorong ketimpangan di Indonesia. Hal tersebut antara lain, guncangan berupa PHK dan bencana alam, pemusatan kekayaan yang tinggi, ketimpangan upah dalam dunia kerja, hingga kecilnya kesempatan bagi orang miskin untuk sukses.
Catatan dari Bank Dunia tersebut, ditimpali oleh dosen Ekonomi Universitas Andalas, Ahmad Iskandar, yang berkata bahwa ketimpangan di Indonesia juga lahir dari model kebijakan pemerintah yang tidak berubah sejak era Orde Baru sampai sekarang (1967 – 2018). Kebijakan yang dianggap Ahmad Iskandar menyengsarakan adalah, kebijakan neoliberal yang pro utang luar negeri, pro investor asing, pro lembaga internasional dan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Dari sini, hierarki kelas, ras, dan ekonomi terus lestari bahkan sampai presiden ketujuh.
Tiap lembaga dan pakar memang memiliki pendapat masing-masing saat mendeteksi masalah ketimpangan yang terjadi di Indonesia. Dari perbedaan yang ada, hal yang bisa disepakati bersama adalah, ketimpangan sosial dan ekonomi pada akhirnya membentuk hierarki kelas termasuk soal miras. Miras aman, legal, dan berharga mahal, menjadi simbol konsumsi masyarakat menengah ke atas. Sementara bagi rakyat kecil, pilihan terdekatnya adalah oplosan.
Namun begitu, masalah bukan berarti selesai saat masyarakat miskin mendapatkan miras aman dan legal. Di Papua, terutama di daerah pesisir pantai, di mana ketimpangan sosial dan ekonomi paling besar terjadi di Indonesia (yakni sebesar 63%), budaya minum miras pun kencang. Budaya minum miras yang biasanya dilakukan dengan miras tradisional segero, tak jarang berakhir dengan aksi kekerasan hingga pembunuhan.
Di daerah tersebut, upaya mencari eskapisme (jalan keluar) dari ketimpangan yang terjadi melalui miras, akhirnya berujung pada kasus kriminal baru. Yang tersisa, miras semakin menjadi candu bagi warganya.
Dari sini, kata-kata seorang penulis klasik asal Amerika Serikat bernama Samuel Johnson, mau tak mau terngiang. Ia berkata, “Kemiskinan adalah musuh terjahat manusia, sebab kemiskinan merenggut kebahagiaan, kebebasan, dan nilai yang dimiliki tiap orang.”
Hal inilah yang terjadi pada korban miras oplosan di Bandung maupun peminum miras legal di Papua. Kemiskinan akibat himpitan ekonomi dan ketimpangan sosialah yang membuat akses hiburan dan akal sehat mereka tercerabut, hingga akhirnya hanya menyisakan kematian atau pembunuhan yang bergerak melalui miras. (A27)