HomeHeadlineOperasi Militer Bawah Tanah Jokowi

Operasi Militer Bawah Tanah Jokowi

Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa melakukan rotasi besar-besaran di internal TNI. Yang menarik, berbagai nama yang diangkat sebagai pejabat tinggi TNI merupakan orang dekat Presiden Jokowi. Menurut berbagai pihak, ini adalah bentuk penguatan Geng Solo di tubuh militer. Jika benar demikian, mengapa itu dilakukan Presiden Jokowi? 


PinterPolitik.com

Sejak diangkat sebagai Panglima TNI, Jenderal Andika Perkasa telah berulang kali melakukan rotasi pejabat tinggi TNI. Yang terbaru, pengangkatan Mayjen TNI Widi Prasetijono sebagai Pangdam IV/Diponegoro menjadi perhatian publik karena statusnya sebagai ajudan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2014-2016. 

Selain Widi, ada empat nama lainnya yang dihubungkan dengan Presiden Jokowi. Pertama ada Mayjen TNI Suhartono yang pernah menjadi Komandan Paspampres pada 2017-2018. Saat ini Suhartono menjabat sebagai Komandan Kodiklatal (Dankodiklatal).

Kedua ada Letjen TNI Maruli Simanjuntak yang diangkat sebagai Pangkostrad. Maruli menjabat Komandan Grup A Paspampres pada 2014-2016, Wakil Danpaspampres pada 2017-2018, dan Komandan Paspampres pada 2018-2020. Ada pula soal statusnya sebagai menantu Luhut B. Pandjaitan, menteri yang disebut-sebut begitu dekat dengan Presiden Jokowi.

Ketiga ada Letjen TNI Agus Subiyanto yang kini menjabat sebagai Wakasad. Sebelumnya, Agus menggantikan Maruli sebagai Komandan Paspampres pada 2020. Hubungan Agus dengan Presiden Jokowi sudah terjalin ketika RI-1 masih menjadi Wali Kota Solo. Pada 2009-2011, Agus menjabat sebagai Komandan Kodim 0735/Surakarta. 

Keempat ada Brigjen TNI Rudy Saladin yang mendapat promosi jabatan sebagai Komandan Korem (Danrem) 061/Surya Kencana (Bogor). Rudy sendiri adalah ajudan Presiden Jokowi pada 2019-2021. 

Lantas, apa yang dapat dimaknai dari pengangkatan-pengangkatan ini? Apakah ini hanya kebetulan bahwa mereka memiliki hubungan dengan Presiden Jokowi? Atau terdapat intrik politik besar di baliknya?

Menguatnya Geng Solo

Sebagai jembatan awal, tulisan Aris Santoso yang berjudul Jokowi dan Jejaring Perwira Solo menjadi tolakan yang penting. Menurutnya, dalam menentukan posisi di TNI dan Polri, ada kecenderungan Presiden Jokowi untuk memilih kolega-koleganya yang dulu berdinas di Solo. 

Aris mencontohkan pengangkatan Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai KASAU, kemudian Panglima TNI. Hadi dan Presiden Jokowi ternyata sudah berhubungan baik ketika masih berdinas di Solo. Pada 2010-2011 ketika RI-1 masih menjadi Wali Kota Solo, Hadi adalah Komandan Lanud Adi Soemarmo, Solo.

Selain Hadi, sebelumnya juga dibahas soal Agus Subiyanto. Kemudian, jejaring Solo juga terlihat pada Kapolri Listyo Sigit. Pada 2010-2012, Listyo menjabat sebagai Kapolresta Surakarta. Kemudian pada 2012, ketika Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta, Listyo ikut pindah ke ibu kota dengan menjabat sebagai Kasubdit II Dittipidum Bareskrim Polri. 

Kedekatan keduanya semakin terlihat pada 2014-2016 ketika Listyo terpilih sebagai ajudan Presiden Jokowi. Menariknya, pihak yang menawari Listyo menjadi ajudan adalah Presiden Jokowi sendiri.

Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa juga disebut memiliki kedekatan tersendiri dengan Presiden Jokowi. Selain statusnya sebagai menantu mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) A.M. Hendropriyono, Andika juga pernah menjadi Komandan Paspampres pada 2014-2016.

Baca juga :  Prabowo and The Nation of Conglomerates

Senada dengan Aris Santoso, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi juga menyebutkan memang terdapat kecenderungan Presiden Jokowi untuk memilih koleganya yang dulu berdinas di Solo untuk mengisi jabatan di TNI dan Polri. 

Terkait fenomena terbaru, yakni pengangkatan Widi Prasetijono dan Agus Subiyanto, Fahmi melihat ini sebagai sinyal menguatnya Geng Solo di tubuh militer. 

Yang menarik, tidak hanya di TNI, penguatan pengaruh RI-1 juga terjadi di tubuh kepolisian. Menurut Made Supriatma dalam tulisannya The Indonesian police’s dual function under Jokowi, di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, Polisi tidak hanya bertindak sebagai aparat keamanan, melainkan juga sebagai alat politik. 

Jika pendapat Fahmi tepat bahwa tengah terjadi penguatan Geng Solo di tubuh militer, ini tentu menjadi pertanyaan serius. Pasalnya, dengan status sudah menjabat sebanyak dua periode, untuk apa Presiden Jokowi menguatkan pengaruhnya di militer?

Jika di periode pertama tentu wajar karena ditujukan untuk mengondisikan pengaruh dan keamanan guna memenangkan periode kedua. Lantas, untuk apa penguatan ini dilakukan sekarang?

Belajar dari Gus Dur?

Untuk menjawabnya, kita dapat membaca buku mantan Wakil Kepala BIN As’ad Said Ali yang berjudul Perjalanan Intelijen Santri. Dalam salah satu bagian bukunya, As’ad memberikan ulasan menarik soal peristiwa politik di balik lengsernya Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. 

Sekitar dua minggu sebelum Gus Dur lengser, As’ad bertemu dengan utusan yayasan sangat berpengaruh yang berbasis di Amerika Serikat (AS). Utusan itu diberi inisial Mr YM. Tanyanya kepada As’ad, “apakah Gus Dur akan aman dari ancaman pemakzulan?”

Jawab As’ad, bertolak dari Dekrit Presiden 1959, dekrit hanya efektif apabila didukung oleh militer, dan saat ini, dukungan itu jauh dari pundak Gus Dur. Saat itu juga beredar isu soal pergantian Kapolri dan KASAD yang semakin memanaskan suasana. Menariknya, kesimpulan As’ad bahwa Gus Dur akan jatuh sama dengan analisis yayasan tersebut.

Tidak hanya kepada Mr YM, As’ad juga memberikan penegasan serupa kepada keluarga Gus Dur bahwa dekrit hanya bisa berhasil jika mendapat dukungan dari militer. Mungkin karena situasi politik saat itu yang begitu emosional, analisis As’ad tidak ditanggapi secara tenang. “Menurut kantor kepresidenan, Kapolri dan KASAD akan diganti untuk memuluskan langkah dekrit,” ungkap keluarga Gus Dur tersebut.  

Poin yang ditegaskan As’ad dapat kita jumpai pada pernyataan terkenal pendiri Republik Rakyat Tiongkok, Mao Zedong. Political power grows out of the barrel of a gun – kekuatan politik tumbuh dari laras senapan.

Senapan adalah metafora dari tentara. Menurut Mao, tentara adalah komponen utama dari kekuasaan negara. Siapapun yang ingin merebut dan mempertahankan kekuasaan negara harus memiliki tentara yang kuat. 

Baca juga :  Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Singkatnya, bertolak pada penjelasan As’ad Ali dan Mao Zedong, suka atau tidak, untuk mempertahankan kekuasaan politik sangat dibutuhkan dukungan militer. Apalagi, untuk menjalankan agenda politik besar, dukungan militer adalah bahan baku vital yang harus sudah didapatkan.

Nah, sekarang kita akan menggabungkan kedua puzzle ini, yakni asumsi penguatan Geng Solo dan faktor vitalnya dukungan militer. Jika benar Presiden Jokowi tengah memperkuat Geng Solo, maka secara logis dapat dikatakan ini adalah upaya memperluas pengaruh dan menghimpun dukungan militer.

Pertanyaan selanjutnya, untuk apa itu dilakukan?

infografis semuanya tergantung pdip

Dua Kemungkinan Tujuan

Setidaknya ada dua asumsi yang dapat dibuat. Pertama, ini berkaitan dengan wacana perpanjangan jabatan presiden atau wacana presiden tiga periode. Kendati Presiden Jokowi dan Istana telah memberikan bantahan terbuka, gestur politik yang terus muncul sekiranya menjadi kontradiksi tersendiri.

Elicier Crespo-Fernández dalam tulisannya Euphemism and Political Discourse in the British Regional Press, menyebut politisi kerap melakukan penghalusan bahasa (eufemisme) untuk mengganti atau menutupi kata dan ungkapan yang dianggap tabu, kasar, dan tidak pantas. Ini dilakukan untuk menghindari kesan negatif agar hubungan dan dukungan politik tetap terjaga.

Merujuk pada Crespo-Fernández, tidak mengherankan kemudian apabila politisi kerap mengeluarkan pernyataan terbuka yang bertolak belakang dengan fakta lapangan. Misalnya, terdapat pejabat yang marah soal kebijakan impor, tapi ternyata kebijakan impor terus meningkat tiap tahunnya. Kita juga menyebut ini sebagai doublespeak.

Singkatnya, mungkin dapat dikatakan, penguatan Geng Solo adalah bentuk upaya antisipasi apabila wacana perpanjangan jabatan presiden benar-benar terlaksana. Selain untuk memperkuat dukungan politik, ini juga untuk mengamankan masyarakat yang melakukan penolakan.

Kedua, jika ini bukan untuk wacana perpanjangan jabatan presiden, besar kemungkinan ini sebagai cara Presiden Jokowi untuk soft landing atau mengakhiri masa jabatan secara mulus. Pasalnya, bertolak pada kasus Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengalami second-term curse dan menjadi lame duck president di periode keduanya, Presiden Jokowi tampaknya belajar untuk tetap menjaga kekuatan politik di dekatnya.

Membaca pola yang ada, di periode kedua presiden selalu terjadi gejolak politik yang menggerus citranya. Tidak hanya di Indonesia, fenomena ini juga menimpa presiden-presiden AS, seperti Barack Obama.

Dengan kata lain, untuk mengantisipasi gejolak-gejolak politik yang sangat mungkin terjadi, Presiden Jokowi perlu memperkuat kapal politiknya. Ia perlu laras-laras senapan agar musuh politik enggan untuk bertindak macam-macam.

Well, sebagai penutup, entah apa pun itu, yang jelas tampaknya tengah terjadi operasi militer bawah tanah saat ini. Presiden Jokowi tampaknya tengah mengumpulkan kekuatan militer agar kapal politiknya tetap kokoh sampai akhir jabatannya. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...