Atas nama demokrasi, pada 2024 nanti kita akan mengadakan pemilihan presiden (Pilpres) untuk menentukan penerus Joko Widodo (Jokowi). Namun, mungkinkah pemilu yang dilaksanakan hanyalah operasi intelijen? Benarkah pemilu hanyalah “pemanis” demokrasi?
“Democracy is just a false idol,” — Howard Phillips Lovecraft, penulis Amerika Serikat
Setiap lima tahun, kita akan disibukkan dengan satu pertanyaan, “siapa yang layak dipilih sebagai presiden?”. Jika memperhatikan, pertanyaan ini bahkan sudah disodorkan ke publik sejak Joko Widodo (Jokowi) baru dilantik untuk periode keduanya. Secara berkala berbagai lembaga survei menyodorkan nama-nama yang dinilai potensial maju di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Terkait nama-nama yang ada, sekiranya kita semua sudah mengetahui. Mereka adalah menteri, kepala daerah, dan petinggi partai politik. Ketika diwawancarai PinterPolitik.com pada November 2020, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin menjelaskan bahwa munculnya nama-nama itu tidak bisa disebut prematur.
Mengacu pada pengalamannya yang pernah menjadi ketua tim pemenangan, penyodoran nama-nama merupakan tes ombak untuk melihat seberapa besar penerimaan publik. Survei elektabilitas dilakukan secara berkala untuk melihat perkembangan keterpilihan kandidat. Apakah mengalami penurunan, stagnan, atau justru meningkat.
Di titik ini, rasa-rasanya pertanyaan banyak pihak sekiranya satu. Dari deretan nama-nama itu, siapa yang layak dipilih sebagai penerus Jokowi?
Rakyat Hanya Penonton?
Salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti dalam tulisannya Rakyat Hanya Penonton dalam Drama Pilpres, memberikan penekanan menarik yang sangat penting untuk direnungkan.
“Pemilihan presiden serupa drama dengan banyak pertikaian dan pelukan. Namun, dalam drama itu, rakyat hanya menjadi penonton yang akan diikutkan saat tirai panggung ditutup,” jelas Bivitri.
“Demokrasi bukan pertunjukan. Demokrasi sejatinya adalah aksi konkret rakyat dalam menentukan, menyelenggarakan, dan mengevaluasi bagaimana negara ini dikelola,” lanjutnya.
Penegasan Bivitri mengingatkan kita pada apa yang ditulis oleh Clifford Geertz dalam bukunya Negara Teater. Menurut antropolog Amerika Serikat (AS) ini, pertunjukan kekuasaan di Indonesia layaknya teater yang memperlihatkan dan memainkan simbol-simbol. Yang menarik, menurut Geertz, rakyat seperti tidak punya pilihan dan kehilangan daya kritis, sehingga larut begitu saja dalam pertunjukan kekuasaan.
Rakyat ibarat wayang yang menemukan dirinya mengisi peran-peran tertentu. Ada yang berkorban demi kebaikan raja (baca: penguasa) di akhirat, ada yang menabuh gendang agar pertunjukan menjadi ramai, dan ada pula yang sadar posisinya hanya sebagai penonton.
Seperti yang pernah ditanyakan dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Kita Tidak Pernah Jalankan Demokrasi?, pernahkah kita bersikap kritis atas sodoran nama-nama yang diberikan partai politik? Apakah rakyat memiliki wewenang untuk menolak nama yang tertera di kertas suara?
Pada Pilpres 2019, misalnya, tidak ada cek ombak panjang seperti yang dijelaskan Ujang, nama Ma’ruf Amin tiba-tiba keluar sebagai pasangan Jokowi. Pun demikian pada kasus majunya Sandiaga Uno yang menjadi pasangan Prabowo Subianto.
Apakah rakyat memiliki wewenang untuk menolak, atau setidaknya bersikap kritis? Bukankah kita seperti wayang yang hanya menjadi bagian dari drama? Suka atau tidak, kita harus memilih nama-nama yang ditentukan partai politik.
Atas fakta ini, ungkapan “the lesser evil” kemudian menjadi slogan pamungkas di setiap gelaran pilpres. Pada Pilpres 2019, misalnya, mudah untuk menemukan ungkapan, “asalkan jangan Prabowo”, begitu pula sebaliknya.
Pemilu Hanya Penipuan?
Selain fakta bahwa penetapan nama-nama seolah menjadi wewenang mutlak partai politik, persoalan lain yang membuat penegasan Bivitri menjadi semakin penting adalah, bagaimana pemilu itu dilaksanakan. Salah satu ilmuwan politik paling berpengaruh saat ini, Francis Fukuyama, dalam tulisannya What is Liberalism?, menjelaskan bahwa demokrasi tanpa liberalisme bukanlah demokrasi.
Maksud Fukuyama sederhana. Inti dari demokrasi adalah kewenangan rakyat memilih pemimpin atau wakilnya. Sementara inti liberalisme adalah kebebasan individu. Sekarang pertanyaannya, bagaimana rakyat berwenang memilih pemimpinnya jika tidak memiliki kebebasan memilih?
Stephen Dawson dalam tulisannya Electoral fraud and the paradox of political competition, menjelaskan pemilu adalah kompetisi yang penuh dengan tipuan, dan salah satu medium penipuannya adalah media.
Seperti yang disebutkan Ujang, penyodoran nama-nama kandidat secara berkala adalah tes ombak. Namun, apabila kita mempelajari operasi intelijen, penyebutan yang tepat atas itu sebenarnya adalah “operasi penggalangan”.
Dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Operasi Intelijen di Balik Baliho Puan, telah dijelaskan bahwa operasi intelijen kerap diadopsi dalam strategi dan operasi politik, khususnya pemilu. Dalam ilmu intelijen, operasi penggalangan intelijen umumnya melalui tiga tahapan utama, yaitu tahap infiltrasi, intensifikasi/eksploitasi, dan diakhiri tahap evaluasi/konsolidasi.
Sementara, Irawan Sukarno dalam bukunya Aku “Tiada” Aku Niscaya: Menyingkap Lapis Kabut Intelijen, membaginya lebih rinci ke dalam enam strategi, yakni penyusupan, pencerai-beraian, pengingkaran, pengarahan, penggeseran, dan penggabungan.
Sama seperti tebaran baliho Puan Maharani, penyodoran nama-nama kandidat secara berkala merupakan tahap infiltrasi dalam operasi penggalangan intelijen. Nama-nama yang ada berusaha disusupkan ke ingatan masyarakat.
Setelah berhasil melakukan infiltrasi, tahapnya berlanjut ke intensifikasi/eksploitasi. Caranya dengan meningkatkan intensitas kampanye dan variasi-variasinya – bisa dengan blusukan, membuat konten di media sosial, hingga memberi sumbangan ke masyarakat.
Ujung atau tujuan dari strategi ini tentunya agar masyarakat memilih nama-nama tersebut jika nantinya maju di Pilpres 2024. Ini disebut Irawan Sukarno sebagai “to bring the target to our direction”, mengarahkan target pada kondisi atau persepsi yang diinginkan.
Perang “Cipta Kondisi”?
Dalam literasi intelijen, frasa “to bring the target to our direction” memiliki sebuah istilah sederhana, yakni cipta kondisi. Seperti namanya, cipta kondisi adalah operasi untuk membuat target, yang dalam konteks ini adalah masyarakat, untuk memiliki persepsi yang diinginkan.
Mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) As’ad Said Ali dalam bukunya Perjalanan Intelijen Santri menjelaskan operasi intelijen menjadi jantung keberhasilan rezim Orde Baru dalam mempertahankan kekuasaannya. Secara khusus, As’ad menyebutnya sebagai “rekayasa politik”.
Salah satu yang paling dikenal adalah fusi partai politik pada tahun 1973 menjadi tiga, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan representasi Islam, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang membawa nilai nasionalisme, dan Golongan Karya (Golkar) yang secara tersirat merupakan representasi kekuasaan Soeharto.
Fusi ini adalah bagian dari operasi cipta kondisi, yang mana tujuannya untuk menciptakan stabilitas politik, menyetir PPP dan PDI, serta menempatkan Golkar sebagai kendaraan politik Soeharto. As’ad juga menjelaskan terdapat operasi intelijen untuk menempatkan “orang Soeharto” mengisi posisi ketua umum PPP dan PDI.
Yang paling menarik, menurut As’ad, perolehan suara partai ternyata juga merupakan hasil campur tangan Operasi Khusus (Opsus) yang dikomandoi oleh Ali Moertopo.
Pada Pemilu 1977, misalnya, prestasi PPP menduduki peringkat kedua dengan memperoleh kemenangan di Aceh dan Jakarta merupakan politik perimbangan dan penghibur, agar mayoritas masyarakat yang beragama Islam merasa bangga bisa menguasai dua daerah prestisius, yakni Jakarta dan Aceh.
Yang patut menjadi catatan adalah, kendati pun rezim Orde Baru telah tumbang, menurut informasi yang dihimpun oleh tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) PinterPolitik, operasi penggalangan intelijen nyatanya masih diadopsi dalam strategi dan operasi pemilu.
Praktik yang paling umum adalah “cipta persepsi”, di mana masyarakat dibuat untuk percaya bahwa kandidat tertentu memiliki karakter A, B, C, dan seterusnya. Peliknya adalah, menurut Francis Fukuyama, media sosial memainkan peran sentral dalam cipta persepsi tersebut. Dalam bukunya Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment, Fukuyama menyebut media sosial telah menjadi medium dalam mengkristalnya persepsi politik.
Pada ujungnya, mengulang pernyataan Bivitri, jika pemilu hanya menempatkan rakyat sebagai penonton, maka pernyataan pemilu sebagai kemewahan demokrasi tampaknya perlu untuk dipertanyakan secara serius.
Di luar sana, berbagai strategi pemenangan dengan mempermainkan psikologi masyarakat telah menjadi habituasi umum berbagai entitas politik. Jika situasi ini berlaku universal dan terus terjadi, maka tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa Pilpres 2024 merupakan perang operasi intelijen antara pihak-pihak yang berkompetisi. (R53)