Menjelang ulang tahun emasnya, PDIP semakin memperlihatkan kematangan politik sebagai partai besar. Sejak kelahirannya, banyak peristiwa yang masih samar diketahui oleh banyak orang tentang PDIP. Salah satunya yang menarik, terdapat informasi bahwa PDIP dibidani oleh operasi intelijen dari kelompok militer. Lantas, Seperti apa operasi intelijen tersebut?
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) telah menggelar perayaan hari ulang tahun ke-49 pada 10 Januari 2022. Acara HUT partai banteng kali ini mengusung tema Bangunlah Jiwa dan Badannya untuk Indonesia Raya.
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memeriahkan rangkaian acara secara daring HUT PDIP. Seperti yang telah diketahui, ulang tahun kali ini cukup istimewa, dikarenakan usia PDIP menjelang tahun emas kehadirannya di panggung politik Indonesia.
Perjuangan PDIP dan juga tentunya Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri bukanlah sesuatu yang mudah. Penuh badai di awal kemunculan, sempat berjaya dan juga pernah harus berpuasa jadi penguasa di dua periode kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Jika melihat sejarah fluktuasi PDIP berdasarkan data pemilu ke pemilu, PDIP di Pemilu 1999 menjadi pemenang dengan jumlah anggota di parlemen sebanyak 153 kursi dari total 500 kursi, artinya PDIP mengumpulkan 33,12 persen kekuatan di DPR.
Perubahan terjadi saat Indonesia mulai menggunakan sistem Pemilihan Presiden (Pilpres) secara langsung. PDIP pada Pemilu 2004 hanya 109 kursi di parlemen, jumlah ini munurun 44 kursi dari pemilu sebelumnya. Hal yang sama terjadi pada Pemilu 2009, bahkan lebih signifikan penurunannya karena hanya mendapat 95 kursi di parlemen. Pada dua pemilu ini, PDIP menjadi oposisi pemerintahan.
Akhirnya di Pemilu 2014 kemenangan pun didapatkan oleh PDIP. Kemenangan ini cukup dramatis, dikarenakan muncul sosok Jokowi yang begitu fenomenal. Banyak yang menilai terdapat semacam efek ekor jas dari kemenangan PDIP di 2014. Bahkan pemilu terakhir di 2019, PDIP masih tetap bertahan sebagai the ruling party.
Mungkin sedikit orang yang tahu bahwa apa yang diraih oleh PDIP hari ini penuh dengan perjuangan yang berat. Seperti kata terakhir yang tersemat pada nama partai ini, yaitu perjuangan, PDIP lahir dengan perjuangan banyak pihak, bukan hanya dari internal partai sendiri, melainkan juga dari pihak luar partai.
Dan yang menarik, ada yang menyebut terdapat operasi intelijen di balik upaya melahirkan PDIP. Lantas, seperti apa operasi intelijen tersebut?
Baca juga: Jelang 2024, PDIP Bermain di Ujung?
Manuver Elite Militer
Mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) As’ad Said Ali dalam bukunya Perjalanan Intelijen Santri, mengemukakan terdapat manuver intelijen militer di balik pencalonan Megawati sebagai Ketua Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di era akhir Orde Baru. Upaya manuver ini menurut As’ad adalah upaya otokritik yang muncul dari tubuh militer.
Sebelumnya, beberapa tokoh militer telah melakukan hal yang sama kepada Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang pada saat itu, J. Naro menjadi tokoh yang diusung oleh kelompok militer. Meskipun gagal, kritik dan upaya manuver para tokoh militer kembali berikhtiar melalui PDI.
As’ad menyebut beberapa nama tokoh militer yang melakukan manuver, baik secara langsung maupun tidak langsung pada pencalonan Megawati sebagai Ketum PDI. Nama-nama dari kalangan ABRI dan purnawirawan ABRI, seperti LB Moerdani, Samsir Siregar, dan Pangdam V Jaya saat itu, Mayjen Hendropriyono.
Meski misi itu gagal mengantarkan Megawati sebagai Ketua Umum PDI menggantikan Suryadi. Namun kemudian berhasil mengantarkan Megawati mengambil pilihan untuk tampil menjadi Ketua Umum PDIP, evolusi dari PDI sebelumnya.
Menurut As’ad, tokoh militer punya kepentingan untuk mendorong agar terbukanya kran demokrasi yang saat itu sedang berhadapan dengan totalitarianisme Orde Baru. Lanjut As’ad, Panglima ABRI Jenderal LB Moerdani dan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) Jenderal Yoga Soegama mempunyai maksud untuk melakukan kritik halus kepada Soeharto. Para tokoh itu menginginkan agar pemimpin Orde Baru itu lengser selagi jaya dan melanjutkan pembangunan politik yang stabil dan dinamis.
Perkembangan situasi politik Orde Baru saat itu telah menunjukkan temperatur politik yang meningkat karena adanya kesulitan yang menghambat rehabilitasi terhadap sistem politik yang mulai mengarah pada penuaan.
Di sisi lain, kemajuan dari sektor ekonomi telah memperlihatkan peningkatan yang drastis, ekonomi semakin kuat sehingga mendorong tumbuhnya berbagai tuntutan politik baru. Konteks-konteks ini kemudian bergulir pada sebuah tuntutan akan kebebasan dan keadilan di tengah masyarakat.
Akumulasi dari fakta sosial dan ekonomi tersebut mendorong elite militer untuk mencoba melakukan perubahan dari dalam, tentunya dengan cara upaya pergantian kepemimpinan partai politik yang dirasa akan lebih independen saat melakukan perubahan secara politik di parlemen.
Samuel P. Huntington dalam bukunya The Soldier and The State, melihat bahwa fragmentasi politik sipil memberikan peluang bagi militer untuk ikut terlibat dalam politik melalui ruang yang samar. Dalam ruang yang samar ini, manuver militer mendapatkan keahliannya, khususnya dalam bidang intelijen. Karena sejauh yang diketahui, ruang samar adalah bagian dari misi-misi intelijen di dunia.
Huntington melihat intervensi militer tidak disebabkan oleh faktor internal dari tubuh militer, seperti kelas, kepentingan perorangan, dan kepentingan golongan. Menurutnya, militer merebut peran non-militer lebih diakibatkan oleh tidak stabilnya sistem politik dan kegagalan pemimpin politik untuk menjamin ditaatinya norma dan proses politik.
Kompleksitas situasi sejarah saat itu memperlihatkan bahwa apa yang tejadi sulit ditebak oleh masyarakat umum. Banyak pihak hanya melihat realitas politik pada panggung depan fenomena itu ditampilkan. Lantas, seperti apa memaknai fenomena manuver militer yang punya pengaruh terhadap dinamika politik tersebut?
Baca juga: Mengapa PDIP Usung Ganjar di DKI?
Silent Evidence
Peristiwa di atas sebenarnya menunjukkan bagaimana fenomena politik bukanlah sesuatu yang sederhana yang tampak. Dalam prosesnya, banyak faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya sebuah peristiwa.
Ini membuat banyak orang melihat politik sebagai sebuah ketidakpastian. Padahal bukan tidak pasti, hanya saja faktor yang begitu kompleks membuat kalkulasi dalam melihat politik menjadi sukar dilakukan, khususnya bagi masyarakat umum.
Baca juga: Koalisi Dini, Strategi Kepung PDIP?
Untuk melihat peristiwa terdapat banyak faktor penentu. Penegasan itu adalah upaya untuk menolak doktrin monokausalitas. Kita perlu dan harus memikirkan bahwa peristiwa atau sejarah terjadi secara multikausalitas.
Multikausalitas sendiri adalah konsep yang menegaskan bahwa dalam sebuah peristiwa, baik politik, sejarah, dan sosial memiliki rangkaian kausalitas yang tidak sederhana dan tunggal. Dan yang terpenting, sering kali ada silent evidence yang tidak diketahui.
Nassim Nicholas Taleb dalam bukunya The Black Swan: Rahasia Terjadinya Peristiwa-Peristiwa Langka yang Tak Terduga, menerangkan terkait persoalan silent evidence atau bukti bisu yang kerap dilupakan ketika menyimpulkan suatu peristiwa.
Jangan-jangan, kesimpulan kita bertumpu pada informasi yang begitu kecil. Di luar sana, terdapat bukti-bukti yang mungkin tidak pernah kita ketahui, yang disebut dengan silent evidence atau bukti bisu. Manuver militer melalui operasi intelijen dapat menjadi salah satu fenomena yang dimaksud dalam konsep ini. (I76)
Baca juga: Megawati Pensiun, Akhir Digdaya PDIP