Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tiba-tiba menyebut terdapat pihak yang berusaha mengkudeta dirinya dari posisi Ketua Umum Partai Demokrat. Nama Kepala KSP Moeldoko bahkan disebut sebagai aktor di balik upaya tersebut. Apakah isu kudeta ini benar adanya, atau hanya informasi palsu semata?
“Para pemimpin membentuk norma-norma bukan hanya dengan menyebarluaskan berbagai peraturan dan regulasi, melainkan juga dengan kekuatan teladan dan kepribadian mereka.” – Francis Fukuyama, dalam Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21
Mengejutkan. Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) secara terbuka menyebutkan terdapat usaha untuk mengkudeta dirinya dari posisi pucuk tertinggi partai mercedes.
Terdapat lima sosok yang disebut AHY sebagai sutradara usaha tersebut, yang terdiri dari satu kader aktif, satu kader yang tidak aktif selama 6 tahun, satu mantan kader yang sudah 9 tahun diberhentikan karena korupsi, satu kader yang sudah keluar 3 tahun lalu, dan satu non kader yang merupakan pejabat tinggi Istana.
Terkait yang terakhir, AHY sudah mengirim surat ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengonfirmasi keterlibatan pejabat tersebut.
Tidak lama selepas pengumuman itu, nama Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko disebut sebagai pejabat Istana yang dimaksud. Tidak tanggung-tanggung, beredar pula narasi bahwa mantan Panglima TNI tersebut ingin menggunakan Partai Demokrat sebagai kendaraan politik untuk maju di Pilpres 2024.
Namun, seperti yang diketahui, Moeldoko telah memberikan bantahan, dan mengingatkan agar AHY tidak membawa-bawa nama Istana atas isu yang diangkatnya.
Nah baru-baru ini, politisi Partai Demokrat Rachland Nashidik telah mengungkapkan empat orang lainnya yang disebut sebagai dalang kudeta, yakni Marzuki Alie, Jhoni Allen, Nazaruddin, dan Darmizal.
Di luar persoalan benar tidaknya keterlibatan nama-nama tersebut, pertanyaan yang lebih krusial adalah, apakah usaha kudeta ini benar-benar ada?
Lagipula, tidak mungkin juga kelima nama yang disebutkan akan dengan terbuka mengaku sebagai dalang di balik keriuhan yang terjadi saat ini.
Atas kesulitan melakukan konfirmasi, yang dapat kita lakukan adalah melakukan analisis kritis berdasarkan kepingan-kepingan yang ada untuk merangkai simpulan dan skenario yang mungkin terjadi. Untuk kepentingan ini, menggunakan pendekatan ilmu intelijen sepertinya adalah yang terbaik.
Perang Operasi Intelijen
Dalam melihat isu kudeta terhadap AHY, terdapat dua simpulan pasti yang dapat dipetik, yakni (1) memang benar terdapat kudeta, atau (2) tidak benar terdapat usaha tersebut. Terkait yang pertama, sebuah komentar menarik datang dari pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin.
Tidak hanya meyakini usaha kudeta benar adanya, Ujang juga membandingkan apa yang terjadi saat ini dengan apa yang menimpa Partai Berkarya pada Juli 2020 lalu. Saat itu, secara tiba-tiba kelompok Muchdi Pr mengadakan Kongres Luar Biasa (KLB) dan berhasil mendongkel Tommy Soeharto sebagai Ketum Partai Berkarya. Bahkan menurutnya, jika AHY tidak merespons dengan cepat, Partai Demokrat mungkin sudah dikuasai bulan ini.
Baca Juga: Sulit Bagi AHY Gandeng Susi
Lebih menarik lagi, pakar isu militer dan keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, dengan menggunakan perspektif ilmu intelijen, melihat terdapat perang operasi intelijen antara AHY dengan pihak yang hendak melakukan kudeta.
Terang Fahmi, di kubu yang ingin mengkudeta tengah melakukan operasi penggalangan intelijen, yang meliputi tiga tahapan utama berikut, yaitu tahap infiltrasi, intensifikasi/eksploitasi, dan diakhiri tahap evaluasi/konsolidasi.
Irawan Sukarno dalam bukunya Aku “Tiada” Aku Niscaya: Menyingkap Lapis Kabut Intelijen lebih merinci operasi penggalangan tersebut dengan membaginya ke dalam enam strategi, yakni penyusupan, pencerai-beraian, pengingkaran, pengarahan, penggeseran, dan penggabungan.
Pada tahap infiltrasi atau strategi penyusupan, kita dapat melihat pada kepingan yang menyebut berbagai tokoh Partai Demokrat bertemu dengan Moeldoko dan menceritakan keluh kesahnya terkait kondisi partai.
Lalu berlanjut pada tahap intensifikasi, yang terlihat dari strategi pencerai-beraian. Di sini kepingannya adalah dengan dijanjikannya setiap Ketua DPC Partai Demokrat uang sebesar Rp 100 juta agar mendukung perebutan melalui KLB. Itu adalah strategi untuk memutus loyalitas atau menghancurkan persatuan.
Ilmuwan politik Amerika Serikat (AS) Francis Fukuyama dalam bukunya Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21 memberikan penjelasan teoretis mengapa operasi pemecahan semacam itu dapat dilakukan.
Mengutip konsep satisficing dari Herbert Simon dalam bukunya Administrative Behavior, Fukuyama menegaskan bahwa tiap-tiap individu dalam organisasi mempunyai rasionalitas terbatas. Ini membuat mereka dapat bergerak berlawanan dengan tujuan organisasi apabila tujuan atau kepentingan individualnya tidak atau kurang terpenuhi.
Konsep tersebut jelas terlihat, di mana para perencana kudeta memanfaatkan kepentingan individual atas kapital dengan menjanjikan para Ketua DPC nominal rupiah yang besar.
Baca Juga: Abu Janda akan Segera Tamat?
Namun, seperti yang disebutkan oleh Ujang, Fahmi melihat AHY melakukan respons yang baik dengan menerapkan operasi kontra intelijen. Operasi ini meliputi tahapan berikut, yaitu tahap deteksi, tahap investigasi, tahap eksploitasi atau negasi, dan terakhir tahap evaluasi/konsolidasi.
Mengacu pada operasi kontra intelijen, AHY tengah menerapkan tahapan deteksi masalah, melakukan investigasi, dan melakukan negasi (perlawanan) dengan menyampaikan pernyataan terbuka, serta mengirim surat ke Presiden Jokowi.
Atas respons cepatnya, AHY kemungkinan besar telah berhasil membuat operasi penggalangan tersebut gagal menuju strategi pengingkaran yang membuat kader-kader Partai Demokrat mengingkari kepemimpinan Alumnus Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University ini. Pun begitu dengan tahapan dan strategi-strategi selanjutnya.
Mengacu pada Irawan Sukarno, di sini AHY dengan jelas menerapkan konsep deteksi dini masalah. Dalam operasi intelijen, mendeteksi masalah sedini mungkin adalah bagian vital yang menunjang setiap operasi.
Akan tetapi, respons AHY tampaknya juga membuka tabir yang pernah diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan pada 14 Agustus 2018 lalu.
Saat itu Luhut menyebutkan bahwa Ia sulit membayangkan Prabowo Subianto akan berpasangan dengan AHY di Pilpres 2019 nanti. Ini bertolak dari posisi Prabowo selaku jenderal dan AHY selaku mayor. Menurutnya, dan juga disebutkan oleh Prabowo, terdapat perbedaan antara cara berpikir mayor dengan jenderal.
Menurut Fahmi, konteks berpikir sebagai mayor membuat AHY melakukan respons dengan cepat dan terbuka. Berbeda dengan jenderal yang memiliki ruang pandang yang lebih luas dan menerapkan operasi senyap, AHY justru menunjukkan operasi yang lebih frontal. Fahmi menyebutnya sebagai gaya milenial. Ini khas cara kerja mayor atau perwira muda militer.
Untuk Pincangkan Demokrat?
Nah, setelah membahas apabila benar terdapat usaha kudeta, sekarang kita akan membahas kesimpulan kedua, yakni ini kemungkinan hanyalah informasi palsu semata. Dalam simpulan ini, terdapat tiga kemungkinan yang dapat dibayangkan, yaitu manajemen isu, upaya membuat pincang Partai Demokrat, atau sebagai trik marketing.
Ketiga kemungkinan tersebut dapat dipahami sebagai strategi penggalangan intelijen yang disebut Irawan Sukarno sebagai “to bring the target to our direction” atau mengarahkan target pada kondisi atau persepsi yang kita inginkan.
Pertama, terkait dengan manajemen isu, itu adalah proses strategis dan antisipatif yang membantu organisasi untuk mendeteksi dan merespons berbagai perubahan tren atau isu yang muncul, guna mencegahnya mengkristal menjadi suatu masalah yang dapat memberikan dampak destruktif.
Cara untuk mencegahnya adalah dengan melempar isu baru untuk mengalihkan atau menutupi isu yang dikhawatirkan menjadi masalah.
Dengan kata lain, jika benar tengah terjadi manajemen isu, yang kemungkinan besar dilakukan oleh pemerintah, maka isu kudeta AHY hanyalah pengalihan isu untuk menutupi isu krusial lainnya, seperti pandemi Covid-19 dan keterpurukan kondisi ekonomi.
Baca Juga: Manajemen Isu, SBY Ungguli Jokowi?
Kedua, ada kemungkinan informasi palsu sengaja dilemparkan ke AHY dengan harapan Ia akan meresponsnya seperti saat ini. Alhasil, narasi internal Partai Demokrat yang tidak solid akan mencuat ke publik, dan dapat membentuk persepsi bahwa AHY tidak berhasil membangun konsolidasi sebagai ketua umum partai.
Narasi tersebut tentunya buruk bagi AHY yang disebut-sebut akan diusung di Pilpres 2024 oleh Partai Demokrat. Pasalnya, tidak hanya belum terbukti sebagai pejabat publik, narasi itu akan membuat AHY dinilai tidak memiliki kapasitas dan kualitas kepemimpinan yang memadai.
Namun, seperti dalam kutipan pernyataan Fukuyama di awal tulisan, isu ini dapat menjadi kesempatan emas bagi AHY untuk menunjukkan kekuatan teladan dan kepribadiannya untuk bisa mengonsolidasi internal Partai Demokrat.
Ketiga, bisa jadi ini adalah trik marketing Partai Demokrat untuk memancing atensi publik. Kendati kemungkinan ketiga ini sulit dibayangkan karena dapat membawa backlash bagi Partai Demokrat dan AHY sendiri, namun kemungkinannya tidak dapat dilupakan begitu saja.
Bagaimanapun, isu kudeta ini dapat melambungkan nama AHY yang memang membutuhkan popularitas dan elektabilitas sebagai modal untuk maju di Pilpres 2024.
Pada akhirnya, kita dapat menyimpulkan dua hal dari sederet analisis teoretis yang telah diulas. Pertama, benar tidaknya ada usaha kudeta, isu ini dapat menurunkan pamor Partai Demokrat. Kedua, isu ini sebenarnya adalah cerminan dari ketidakstabilan kondisi politik.
Getirnya, isu-isu semacam ini dapat menciptakan persepsi ketidakpastian hukum, dan dapat menurunkan kepercayaan investor.
Terlepas dari apa pun yang terjadi, mari kita amati perkembangan isu yang sangat menarik ini. (R53)