Site icon PinterPolitik.com

Operasi Intelijen di Balik Demonstrasi Kades

Operasi Intelijen di Balik Demonstrasi Kades

Foto: Parlementaria

Beberapa waktu terakhir ini politik nasional dihebohkan dengan demonstrasi para Kepala Desa (Kades) untuk menuntut pertambahan masa jabatan dari enam menjadi sembilan tahun. Pertanyaannya, kenapa demonstrasi terstruktur itu bisa terwujud? Apakah terdapat operasi intelijen di baliknya?


PinterPolitik.com

“We look, but we don’t really see; we hear, but we don’t really listen.” – Gerald Causse

Kita tentu terbiasa melihat mahasiswa atau buruh melakukan demonstrasi. Mungkin bisa dikatakan, rasanya ada yang kurang jika dua kelompok masyarakat itu tidak bersuara lantang di jalanan. Namun, bagaimana dengan Kepala Desa (Kades)?

Demonstrasi para Kades beberapa waktu terakhir ini tidak hanya menyedot perhatian banyak pihak karena fenomenanya yang jarang, melainkan juga karena tuntutannya yang kontroversial.

Bayangkan saja, para Kades menuntut pertambahan masa jabatan dari enam menjadi sembilan tahun. Tidak berhenti di sana, periode jabatan juga ingin ditambah dari dua menjadi tiga periode. Jika terwujud, total masa jabatan selama 27 tahun dapat dirasakan. Fantastis. Ini hanya kalah 5 tahun dari masa jabatan Presiden Soeharto.

Tentu, tuntutan kontroversial itu ramai mendapat kritik dari segala penjuru. Banyak pihak menakutkan terjadinya abuse of power, hingga kekhawatiran akan merusak tatanan demokrasi.

Well, tanpa bermaksud mendiskreditkan perdebatan dan kritik tersebut, jika direnungkan mendalam, terdapat beberapa pertanyaan krusial yang semestinya dijawab terlebih dahulu.

Bagaimana bisa demonstrasi itu terwujud? Siapa yang menjadi penggalang massanya? Kenapa para Kades begitu percaya diri dan berani, hingga memberi ancaman?

Kemudian, ini yang terpenting, kenapa kepala daerah membiarkan para Kades di daerahnya pergi melakukan demonstrasi ke Ibu Kota?

Daya Tawar Politik Kades

Pertama-tama, penting bagi kita untuk memahami posisi tawar politik (political bargain) para Kades. Chanif Nurcholis, Sri Wahyu Krida Sakti, dan Ace Sriati Rachman dalam penelitian berjudul Village Administration in Indonesia: A Socio-Political Corporation Formed by State, menjelaskan bahwa pemerintahan desa adalah pemerintahan terbawah di Indonesia.

Nah, menariknya, meskipun desa merupakan pemerintahan terbawah dan terlemah, jika kita membahas demokrasi, desa merupakan pemerintahan terdekat dengan sumber suara. Kita harus mengingat satu hal, pada dasarnya negara adalah akumulasi para warganya. Dengan desa merupakan pemerintahan terbawah, berarti negara adalah akumulasi desa.  

Pakar militer dan pertahanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi memberi pemaparan yang sangat penting. Fahmi menjelaskan, pada era Orde Baru para Pimpinan Kecamatan (Camat) merupakan agen intelijen untuk menyuplai informasi ke penguasa.

Pada masa itu, Camat memiliki banyak kewenangan di bidang perizinan dan catatan sipil, bahkan Camat adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah. Ungkap Fahmi, dengan kewenangan ini, “mudah bagi seorang Camat untuk sekadar mengatur ataupun mengkomunikasikan arahan ini itu pada warga di wilayahnya”.

Sekarang, coba bayangkan ini, bagaimana jika para Kades adalah “Camat ala Orde Baru”?

Para Kades memiliki akses lebih dekat dengan suara masyarakat desa yang merupakan unit pemerintahan terkecil suatu negara. Mengutip pemaparan Fahmi, bukankah mudah pula bagi para Kades untuk “mengkomunikasikan arahan ini itu pada warga di wilayahnya”?

Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) sangat memahami daya tawar politik itu. “Kalau dia (partai politik) dapat dukungannya enggak usah jauh-jauh lah, satu provinsi saja Jatim (atau) Jateng dari kepala desa saya yakin dia dapat minimal 50 persen suara di desa,” ungkap Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) Apdesi, Asri Anas pada 22 Januari 2023.

Di titik ini, sekiranya kita sudah memahami mengapa para Kades sampai berani mengeluarkan ancaman jika tuntutannya tidak terpenuhi.

“Selamat tinggal Jakarta, sembilan tahun saya tunggu kabarmu. Kalau nggak, tak habisi 2024! Semangat!,” ungkap salah satu Kades ketika melakukan unjuk rasa di depan Gedung DPR RI pada 17 Januari 2023.

“Partai politik yang tak mendukung kita habisi di desa,” ungkap Kades lain menyahut.

Operasi Intelijen Partai?

Sekarang, kita akan membahas bagian terpenting. Melihatnya dari sudut pandang studi intelijen, demonstrasi para Kades tampaknya merupakan “operasi penggalangan intelijen”.

Irawan Sukarno dalam bukunya Aku “Tiada” Aku Niscaya: Menyingkap Lapis Kabut Intelijen, merinci operasi penggalangan intelijen dengan membaginya ke dalam enam strategi, yakni penyusupan, pencerai-beraian, pengingkaran, pengarahan, penggeseran, dan penggabungan.

Pada kasus demonstrasi para Kades, setidaknya terjadi tiga strategi, yakni penyusupan, pengarahan, dan penggabungan.

Pertama, mengumpulkan para Kades sebanyak itu mestilah membutuhkan waktu dan penggalang massa. Artinya, desas-desus akan adanya demonstrasi mestilah sudah tercium di daerah-daerah, setidaknya oleh mereka yang memiliki jejaring informasi di tiap daerah.

Siapa yang memiliki jejaring informasi itu? Jawabannya adalah partai politik.

Simpulan itu adalah kepingan puzzle penting untuk menjawab kenapa kepala daerah membiarkan para Kades di daerahnya pergi melakukan demonstrasi. Seperti diketahui, sekalipun kepala daerah bukan kader partai, mereka diusung oleh partai politik.

Sekarang pertanyaannya, kenapa partai politik membiarkan kepala daerah untuk membiarkan demonstrasi Kades? Apa motifnya?

Motifnya sudah dijelaskan sebelumnya. Partai politik sangat memahami peran penting para Kades dalam mengumpulkan suara. Sekalipun bukan untuk mengumpulkan suara, partai politik tidak ingin para Kades merusak simpul suaranya di desa-desa.

Ini adalah strategi operasi penggalangan intelijen pertama, yakni penyusupan. Partai politik berusaha menyusupi kepentingannya di tengah demonstrasi para Kades.

Kedua, pakar komunikasi politik Lely Arrianie dalam bukunya Komunikasi Politik: Dramatisme dan Pencitraan Politisi di Panggung Politik, mengenalkan istilah menarik yang ia sebut dengan “panggung tengah”.

Dalam konsep dramaturgi Erving Goffman, kita mengenal “panggung depan” dan “panggung belakang”. Panggung depan adalah apa yang kita lihat di permukaan atau pemberitaan media – bisa disebut sebagai skrip yang sudah disetujui. Sedangkan panggung belakang adalah realitas politik yang sebenarnya.

Menurut Lely, dalam prosesnya, sebelum panggung depan ditampilkan para pihak terkait akan menentukan terlebih dahulu batas-batas kompromi di antara kalangan mereka sendiri. Tempat untuk merundingkan batasan itu adalah panggung tengah. Di panggung ini, pembangunan komitmen kompromistis antara skenario panggung depan dan panggung belakang terjadi.

Nah, jika mengacu pada konsep panggung tengah, sekiranya dapat dibuat deduksi, sebelum dan/atau setelah para Kades melakukan demonstrasi, mestilah terdapat ruang-ruang lobi.

Bukan tidak mungkin partai politik mengimingi para Kades untuk memenuhi tuntutan dengan imbalan harus didukung di desanya. Sekalipun bukan untuk mengumpulkan suara, partai politik tidak ingin simpul suaranya dirusak.

Simpulan itu diperkuat oleh pernyataan Ketua MPO Apdesi, Asri Anas pada 22 Januari 2023. Ungkapnya, banyak Kades tergoda dengan iming-iming partai politik untuk membuat masa jabatan Kades menjadi lebih lama.

Di kesempatan berbeda, Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah juga mengeluarkan pernyataan senada. “Jadi jangan teman-teman Kepala Desa itu mau diiming-imingi dengan perpanjangan masa jabatan yang tidak punya konsekuensi anggaran,” ungkap Fahri pada 25 Januari 2023.

Jika benar tuntutan perpanjangan masa jabatan Kades adalah buah iming-iming partai politik, maka itu adalah operasi penyusupan sekaligus pengarahan arah demonstrasi.

Ketiga, seperti pernyataan Anas, Apdesi sangat menyadari kepentingan partai politik di balik iming-iming itu. Tentu, ini soal Pemilu 2024 yang akan dihelat setahun lagi. Dengan demikian, sekiranya ada strategi untuk menggabungkan kepentingan partai politik dengan kepentingan para Kades.  

Well, sebagai penutup, tentu perlu digarisbawahi bahwa tulisan ini adalah interpretasi semata. Ini adalah deduksi yang dikonstruksi berdasarkan variabel-variabel politik yang tertangkap. (R53)

Exit mobile version