Berbagai pihak bersikap skeptis terhadap tebaran baliho Ketua DPR Puan Maharani. Tidak hanya menyebutnya buang-buang anggaran, efektivitas baliho juga menjadi pertanyaan serius. Namun, mungkinkah tebaran baliho ini adalah operasi intelijen tertentu?
Dalam rilis survei Indostrategic pada 3 Agustus, tingkat popularitas Ketua DPR Puan Maharani masih berada di bawah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Ridwan Kamil (RK). Secara berurutan, berikut kandidat dengan popularitas tertinggi: Prabowo Subianto 92,8 persen, Sandiaga Uno 86,5 persen, Anies Baswedan 80,8 persen, AHY 75,7 persen, RK 64,3 persen, Puan 60,8 persen.
Pada tingkat kesukaan, persentase yang didapatkan Puan bahkan lebih rendah. Berikut urutannya: Sandi 76,2 persen, Prabowo 74 persen, Anies 67,5 persen, AHY 59,4 persen, RK 55,4 persen, Puan 36 persen.
Menurut Direktur Eksekutif Indostrategic Khoirul Umam, jika Pilpres dilaksanakan hari ini, elektabilitas Puan berada di bawah 1 persen. Ketua DPP PDIP ini hanya dipilih oleh 0,6 persen responden.
Rilis Indostrategic ini sekiranya menguatkan sikap pesimis berbagai pihak terkait seberapa efektif baliho dalam meningkatkan popularitas maupun elektabilitas Puan. Seperti yang diketahui, tebaran baliho Puan terlihat di berbagai daerah. Kader-kader partai banteng di daerah diketahui kompak memasang baliho di berbagai titik.
Baca Juga: Baliho, Senjata Makan Puan?
Di tengah sikap pesimis berbagai pihak, Direktur Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno justru memperlihatkan sikap optimis. Menurutnya, efektivitas baliho Puan memang tidak dapat dilihat saat ini karena efeknya baru terasa dalam enam bulan ke depan.
Sama seperti Adi, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) Universitas Trunojoyo Madura, Surokim Abdus Salam juga menunjukkan pandangan positif. Menurutnya, menimbang pada waktu kontestasi Pilpres 2024 masih tiga tahun lagi, keberadaan baliho masih cukup strategis dan signifikan.
Tentu pertanyaannya, dengan derasnya sentimen negatif terhadap Puan, bagaimana mungkin pendapat Adi dan Surokim dapat terjadi? Selain itu, bukankah saat ini adalah eranya kampanye digital?
Penetrasi Ingatan Publik
Direktur Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi memiliki pandangan menarik terkait persoalan baliho Puan ini.
“Sebenarnya seberapa besar pengaruh tebaran baliho terhadap keterpilihan? Wah, pengaruhnya jelas sangat besar pada uninformed voters. Dan apesnya, kompetisi elektoral yang seru, kerap membuat ceruk pemilih ‘kudet’ makin besar,” begitu ujarnya pada 3 Agustus.
Lanjutnya, “Pemilih paling kudet sekalipun, akan cenderung menjatuhkan pilihannya pada calon yang dinilai punya keunikan dibanding calon lain. Makanya mematut diri di baliho kemudian menjadi praktik yang lazim”.
Pernyataan Fahmi ini sesuai dengan tulisan Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly ketika menjelaskan soal bias kognitif yang disebut dengan availability bias. Ini adalah bias yang membuat seseorang menggambarkan realitas berdasarkan informasi yang paling mudah diingatnya.
Dobelli mencontohkan, sering kali kita lebih takut pada serangan bom atau terorisme, padahal kematian akibat kecelakaan lalu lintas dan kanker jauh lebih mungkin terjadi. Ketakutan berlebihan atas serangan bom terjadi karena berita tentangnya jauh lebih heboh daripada berita tentang kecelakaan lalu lintas ataupun kanker.
Nah, pada baliho, availability bias menjadi faktor pembeda. Masalahnya, berbeda dengan iklan digital yang memiliki tombol close (tutup), pada baliho kita dipaksa untuk melihatnya. Di baliho, di mana tombol close-nya?
Persoalan ini yang sekiranya telah salah dipahami oleh publik. Tebaran baliho Puan saat ini, pada dasarnya bukan ditujukan untuk memenangkan Pilpres 2024, melainkan sebagai strategi penetrasi wajah dan nama Puan ke tengah publik. Seperti kata Fahmi, khususnya ini menyasar uninformed voters.
Baca Juga: Baliho Puan, Strategi Mumpuni?
Dalam ilmu intelijen, strategi ini dapat disebut sebagai tahap infiltrasi. Dalam operasi penggalangan intelijen, umumnya melalui tiga tahapan utama, yaitu tahap infiltrasi, intensifikasi/eksploitasi, dan diakhiri tahap evaluasi/konsolidasi.
Irawan Sukarno dalam bukunya Aku “Tiada” Aku Niscaya: Menyingkap Lapis Kabut Intelijen lebih merinci operasi penggalangan intelijen ke dalam enam strategi, yakni penyusupan, pencerai-beraian, pengingkaran, pengarahan, penggeseran, dan penggabungan.
Menariknya, tahap-tahap operasi intelijen tidak jarang diadopsi ke dalam strategi pemenangan pemilu atau operasi politik. Pada konteks Puan, infiltrasi atau penyusupan tentu bukan seperti dalam film-film Mission: Possible, melainkan infiltrasi ke dalam ingatan publik. Wajah dan nama Puan tengah berusaha disusupkan ke ingatan masyarakat.
Setelah berhasil melakukan infiltrasi, tahapnya berlanjut ke intensifikasi/eksploitasi. Caranya dengan meningkatkan eskalasi kampanye dan variasi-variasinya, bisa dengan blusukan dan memberi sumbangan ke masyarakat.
Ujung atau tujuan dari strategi ini tentunya agar masyarakat memilih Puan jika nantinya maju di Pilpres 2024. Ini disebut Irawan Sukarno sebagai “to bring the target to our direction”. Mengarahkan target pada kondisi atau persepsi yang kita inginkan.
Disparitas Akses Digital
Di luar persoalan optimisme atas tebaran baliho Puan, dinilai efektifnya penggunaan baliho menyibak realitas tertentu di tengah masyarakat. Suka atau tidak, ini menunjukkan sebagian besar masyarakat adalah pemilih tradisional.
Nyimas Latifah dalam tulisannya Peran Marketing dalam Dunia Politik menyebutkan ada empat tipe pemilih di Indonesia, yakni pemilih rasional, pemilih kritis, pemilih tradisional, dan pemilih skeptis. Menurutnya, pemilih tradisional merupakan pemilih mayoritas di Indonesia.
Kelompok pemilih ini lebih mengutamakan kedekatan sosial budaya, nilai, asal-usul, paham dan agama sebagai indikator untuk calon pemimpin dan partai politik. Biasanya mereka memiliki tingkat pendidikan yang rendah, sehingga lebih mudah dimobilisasi.
Konteks ini menjelaskan mengapa popularitas di media massa dan media sosial kerap berbanding terbalik dengan hasil pemilu. Ini misalnya terlihat pada kasus Faldo Maldini.
Mantan politisi PAN yang menjadi Juru Bicara Prabowo-Sandi di Pilpres 2019 ini, jelas merupakan sosok yang begitu populer. Namun secara mengejutkan, ia justru gagal masuk ke Senayan pada Pileg 2019.
Laporan Bank Dunia yang berjudul Beyond Unicorn: Memanfaatkan Teknologi Digital untuk Inklusi di Indonesia memberi afirmasi atas simpulan ini. Disebutkan, hampir setengah (49 persen) dari populasi orang dewasa di Indonesia masih belum memiliki akses ke teknologi digital.
Kesenjangan konektivitas internet antara daerah perkotaan dan pedesaan juga belum menyempit. Di perkotaan, 62 persen orang dewasa telah terhubung ke internet. Sementara di pedesaan, angkanya hanya menyentuh 36 persen.
Baca Juga: Perang Baliho: Puan vs Airlangga
Di tengah pandemi Covid-19, persoalan disparitas akses digital ini semakin kentara. Di tengah penerapan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), telah banyak kita temukan berita tentang anak-anak di daerah yang kesulitan mendapatkan sinyal internet.
Di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT), misalnya, terdapat 4.000 lebih siswa yang tersebar di 12 kecamatan yang tidak dapat mengakses PJJ. Ada pula cerita Iksan, seorang mahasiswa asal Dusun Malaka, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan yang harus naik ke pegunungan berjarak 2 Km untuk mencari jaringan internet.
Persoalan ini yang membuat penerapan kampanye digital yang disebut sebagai new model mendapatkan tantangan besar di Indonesia. Konteks ini sekiranya menjadi pertimbangan, mengapa baliho masih menjadi pilihan lazim berbagai politisi.
Well, kita lihat saja bagaimana kelanjutan tebaran baliho Puan ini. Apakah berhasil mengarahkan target, atau justru berakhir menjadi tirai-tirai di warung pinggir jalan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)