Site icon PinterPolitik.com

Operasi Geser Luhut: 6 Matahari Jokowi

Operasi Geser Luhut: 6 Matahari Jokowi

Luhut dan Surya Paloh adalah dua dari 6 matahari Jokowi (Foto: istimewa)

Pertarungan elite di lingkaran kekuasaan Jokowi kini mencapai puncaknya. Sang presiden telah menyebutkan bahwa jabatan Jaksa Agung – yang diincar Surya Paloh – akan diberikan kepada orang non-parpol. Demikian pun dengan permintaan menteri yang disampaikan oleh Megawati – memang tidak ditolak, tetapi sepertinya juga tidak dituruti. Jokowi juga lebih menginginkan Jusuf Kalla menjabat sebagai Ketua Wantimpres. Pertarungan yang melibatkan setidaknya 6 elite “matahari” ini akan terus terjadi, termasuk dalam perebutan kursi menteri hingga hari pelantikan Jokowi nanti.


PinterPolitik.com

“Ada menteri yang tidak disukai oleh banyak pihak, tapi jago eksekusi”.

:: Jokowi ::

Pertarungan di tingkatan elite diprediksi akan kembali terjadi di periode kedua kekuasaan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Konteks tersebut dapat terjadi karena sang presiden tidak berdiri tunggal sebagai satu-satunya kekutan politik utama.

Setidaknya, ada 6 tokoh – bisa disebut sebagai 6 matahari – yang masih akan mengambil peran dalam pemerintahan periode kedua kepresidenan Jokowi.

Keenam tokoh itu adalah Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan (BG), Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), dan mantan Ketua Umum PKPI A.M. Hendropriyono.

Setidaknya itulah nama-nama yang disebutkan oleh Ahli Hukum Tata Negara Refly Harun. Refly menyebutnya sebagai “orang-orang kuat” di lingkaran kekuasaan Jokowi.

Secara khusus, saat ini ada “operasi” untuk menggeser Luhut dari posisinya yang sentral dalam kabinet Jokowi – setidaknya jika membaca manuver politik yang terjadi sepanjang menguatnya wacana rekonsiliasi beberapa waktu terakhir.

Bukan tanpa alasan, Luhut kerap dijuluki sebagai super minister berkat kekuatan politiknya yang luar biasa besar dalam kabinet Jokowi. Kini, salah satu tokoh yang berpotensi mengambil alih tempat Luhut adalah BG.

BG memang menjadi semakin sentral dalam cohabitation – wacana pembentukan pemerintahan bersama – bertajuk “kumpul kebo” atau kumbo yang terjadi antara Jokowi dengan Prabowo Subianto. Publik tentu ingat bagaimana BG dianggap sebagai tokoh yang berjasa mempertemukan Jokowi dengan Prabowo di stasiun MRT.

Ia juga yang disebut menjadi penghubung bertemunya Prabowo dengan Megawati Soekarnoputri dalam “diplomasi nasi goreng”. Terkait hal tersebut, Refly menyebut hal tersebut wajar terjadi dan menunjukkan cairnya dinamika politik, termasuk dalam konteks penentuan kabinet dan “bagi-bagi kekuasaan”.

Dalam konteks Luhut misalnya, besar kemungkinan perannya akan digantikan oleh BG. Hal ini disebut-sebut terkait dengan sikap PDIP, pun dengan kedekatan BG dengan Mega sendiri yang telah terjalin sejak nama pertama menjabat sebagai ajudan presiden untuk putri Soekarno tersebut.

Bukan rahasia pula bahwa PDIP tak begitu menyukai sosok Luhut di periode pertama kekuasaan Jokowi karena dianggap menjadi gerbang penghalang komunikasi partai banteng itu dengan Jokowi.

Operasi geser Luhut ini makin terasa ketika pada awal Agustus 2019 lalu, Megawati sempat “curhat” dan menyebut bahwa dirinya sulit bertemu Jokowi. Sulitnya pertemuan yang dimaksud Mega ini selain karena kesibukan sang presiden, sangat mungkin karena masih adanya patron politik yang menjadi penghalang.

Jokowi sebagai sentral kekuasaan saat ini juga terlihat memainkan perimbangan kekuasaan. Beberapa waktu lalu, di hadapan pemimpin redaksi beberapa media, sang presiden sempat mengungkapkan keinginannya agar Wapres JK tetap menempati posisi penting dalam pemerintahan periode kedua, misalnya dengan menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).

Sementara, pada saat yang sama, ia juga menyebutkan salah satu menteri yang akan dipertahankan adalah menteri yang tidak disukai banyak orang, namun jago dalam mengeksekusi program – predikat yang cukup dekat dengan persepsi banyak orang tentang Luhut.

Belakangan, banyak pihak juga bertanya-tanya terkait hubungan Jokowi dengan Hendropriyono, pun dengan Surya Paloh. Lalu, seperti apa relasi 6 matahari dengan Jokowi ini harus dimaknai?

Tarung 6 Matahari, Geser Menggeser

Hubungan Jokowi dengan 6 patron politik di dalam kekuasaannya memang menjadi hal yang unik. Pasalnya, situasi yang demikian ini tidak banyak terlihat di era kekuasaan presiden-presiden terdahulu.

Bukan tanpa alasan, sebagai presiden terlemah kedua sepanjang sejarah setelah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) – demikian menurut Profesor Jeffrey Winters dari Northwestern University, Amerika Serikat – kekuatan politik Jokowi didapatkannya dengan memainkan perimbangan kekuasaan dengan patron-patron politik yang ada.

Dalam hubungan dengan Megawati misalnya, Jokowi yang adalah kader PDIP selalu dihantui predikat “petugas partai” dari awal masa jabatannya. Publik mungkin masih ingat pidato Megawati di awal-awal masa jabatan Jokowi, di mana Ketum PDIP tersebut sempat memberi penekanan terkait status petugas partai.

Kini kekuatan politik Mega bertambah karena ada sosok BG di belakangnya. Sebagai Kepala BIN, BG punya modal politik yang lebih dari cukup untuk meningkatkan posisi tawar Mega dan PDIP di pemerintahan Jokowi. Operasi menggeser Luhut adalah salah satu contoh bagaimana BG mampu menjadi penopang kekuatan politik Mega dan PDIP.

Hubungan ini berpotensi mengatasi “ketidakmampuan” PDIP sebagai partai penguasa dan pengusung utama Jokowi untuk mempengaruhi kebijakan di beberapa kementerianyang terjadi di periode pertama kekuasaan mantan Wali Kota Solo itu, misalnya di Kementerian BUMN.

Sang Menteri BUMN Rini Soemarno memang punya garis kedekatan dengan Mega. Namun, beberapa pihak menyebutkan bahwa penyokong utama kekuatan politik Rini adalah satu dari 6 matahari selain Mega, yaitu Hendropriyono.

Akibatnya, kebijakan-kebijakan Rini di BUMN cenderung bertolak belakang dengan “kepentingan” PDIP. Tak heran, partai banteng itu salah satu yang paling keras menuntut agar Rini dicopot dari jabatannya.

Beberapa pihak menyebut hal itu tak lepas dari kebijakan Rini yang lebih banyak mengangkat komisaris BUMN dari barisan relawan Jokowi non-parpol – selain juga rahasia umum bahwa BUMN adalah salah satu lahan “basah” para politisi.

Adapun hubungan Jokowi dengan Hendropriyono pun beberapa waktu terakhir terlihat tak berjalan mulus, setidaknya dalam konteks kepentingan. Rini sebagai sosok yang didukung Hendro misalnya, disebut-sebut tak akan lagi menjabat di periode kedua kekuasaan Jokowi.

Proyek mobil nasional yang digarap Hendro dan sempat digembar-gemborkan dengan menggandeng perusahaan mobil Malaysia, Proton pun pada akhirnya tak berlanjut.

Hendro juga menjadi salah satu orang di balik wacana produksi mobil Esemka. Dengan berlarut-larutnya proses produksi mobil tersebut dan semakin seringnya Jokowi dikritik terkait “janji” mobil nasional, tak heran membuat sang presiden sangat mungkin gerah.

Hal ini belum lagi soal jaminan kekuasaan politik yang nyatanya belakangan tidak lagi dirasakan oleh Jokowi. Adanya kerusuhan pada 22 Mei 2019 lalu adalah salah satu contohnya. Padahal, latar belakang Hendro yang berasal dari militer tentu diharapkan menjadi jaminan kekuasaan sang presiden.

Namun, besar kemungkinan hubungan Jokowi dan Hendro masih ada pada taraf yang “bisa dimaklumi” di antara keduanya. Pasalnya, saat ini yang menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) adalah menantu Hendro, Andika Perkasa. Bahkan, besar kemungkinan Andika yang pernah menjadi Komandan Paspampres Jokowi ini adalah calon berikutnya untuk kursi Panglima TNI.

Hubungan yang kurang begitu baik juga kini tengah dialami oleh Ketum Partai Nasdem Surya Paloh. Menjadi salah satu kubu yang paling awal mendukung pencapresan kembali Jokowi, Paloh berpotensi kehilangan privilege politik yang dimilikinya seperti pada periode pertama.

Jabatan Jaksa Agung yang diinginkan Paloh kembali misalnya, telah ditegaskan Jokowi tak akan diberikan kepada sosok dari partai lagi. Selain itu, kursi-kursi kementerian yang diinginkan oleh Nasdem juga sepertinya tak akan lagi mudah didapatkan begitu saja, apalagi di tengah wacana akan masuknya kubu Prabowo ke pemerintahan Jokowi.

Bahkan beberapa sumber menyebutkan bahwa besar kemungkinan Surya Paloh akan “tereliminasi” dari kelompok 6 matahari tersebut, seiring munculnya isu aksi partainya merebut kader dari partai lain membuat beberapa ketua partai di koalisi Jokowi geram.

Sementara dua patron yang lain, JK dan Luhut, sangat mungkin masih akan menjadi bagian dari strategi perimbangan Jokowi. Sekalipun sering menimbulkan kontroversi dan sering dikritik, besar kemungkinan Luhut masih akan menikmati status sebagai menteri di periode berikutnya. Latar belakang militer dan kemampuannya dalam hubungan luar negeri masih akan sangat dibutuhkan oleh Jokowi.

Adapun hubungan politik Jokowi dan JK akan berlangsung dalam tawar menawar ekonomi politik. Besar kemungkinan Jokowi melihat JK sebagai pilihan yang paling aman untuk berkubu dan membuatnya tak harus ditekan oleh matahari yang lain.

Selain itu, sangat mungkin JK juga punya kepentingan tertentu yang jika bukan Jokowi yang memegang kendali pemerintahan, akan ada dampak negatif yang berpotensi dialaminya.

Jokowi Tersandera?

Hubungan Jokowi dengan 6 matahari ini memang menyiratkan bahwa dirinya berpotensi kembali tersandera oleh para elite ini. Keenam elite ini, sesuai dengan pemikiran sosiolog asal Amerika Serikat, C. Wright Mills, mungkin bisa disebut sebagai power elite. 

Mereka punya semua modal untuk menjadi powerful dan menentukan kebijakan negara. Ada yang karena rekam jejaknya di militer, ada yang karena statusnya sebagai pengusaha sukses, dan ada yang karena posisinya sebagai ketua umum partai politik.

Namun, untuk sampai pada kesimpulan apakah Jokowi akan tersandera lagi seperti di periode pertama kekuasaannya, agaknya hal itu masih cukup sulit disebut demikian. Pasalnya, beberapa waktu terakhir, Jokowi terlihat ingin memperkuat status politiknya dan membentuk power presidency atau kepresidenan yang kuat.

Keberaniannya menolak wacana amendemen UUD 1945 yang getol diupayakan PDIP adalah salah satu contohnya. Jokowi juga telah membuat batasan isi kabinet dengan memberikan hanya 45 persen saja untuk partai politik.

Artinya, Jokowi bisa menjadi presiden yang berbeda di periode kedua kekuasaannya jika mampu mengolah persaingan di antara 6 matahari ini. Langkahnya yang cenderung lebih dekat ke JK dan potensi mempertahankan Luhut adalah salah satu cara yang sudah ditempuh.

Persoalannya adalah apakah hal tersebut akan berhasil? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version