Dengarkan artikel ini:
PDIP keluarkan peringatan pada Partai Golkar agar tak berpaya mengubah mekanisme penetapan Ketua DPR yang sudah diatur dalam UU MD3. Sesuai UU tersebut, dengan status PDIP sebagai partai pemenang Pemilu 2024, maka kursi Ketua DPR akan jadi jatah partai banteng lagi. Namun, posisi ini bisa saja tergusur andaikata ada upaya merevisi UU MD3 di sisa masa jabatan DPR yang sekarang, dan mengubah ketentuan terkait penetapan Ketua DPR ini. Mengapa demikian dan benarkah Golkar “bermain” di belakangnya?
PDIP memang dipastikan menjadi pemenang Pemilu 2024. Berdasarkan konversi suara menggunakan metode sainte lague, partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri ini mendapatkan 110 kursi. Jumlah ini memang berkurang 18 kursi dari perolehan kursi PDIP di Pemilu 2019. Dan jaraknya pun cukup tipis dengan partai di urutan kedua, Golkar. Partai beringin ini tercatat merengkuh 102 kursi atau bertambah 17 kursi jika dibandingkan dengan Pemilu 2019.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (UU MD3), posisi Ketua DPR RI akan menjadi hak PDIP karena berstatus sebagai partai pemenang Pemilu. Dengan demikian, jika PDIP memilih untuk menjadi oposisi di pemerintahan mendatang, maka posisinya bisa tetap strategis karena ada di pucuk kekuasaan parlemen pusat.
Namun, belakangan muncul narasi “operasi bawah tanah” untuk mewacanakakan perubahan pada UU tersebut, sehingga partai lain punya peluang untuk mengambil alih kursi Ketua DPR RI.
Partai Golkar memiliki potensi untuk memperebutkan kursi Ketua DPR RI tersebut melalui jalur revisi UU MD3. UU ini memang telah mengalami beberapa kali revisi sejak tahun 2014 hingga 2019, dengan tujuan membagi-bagikan kursi antara anggota DPR dan memperkuat kewenangan para wakil rakyat. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sekaligus politikus senior Golkar, Bambang Soesatyo, mengakui kemungkinan adanya revisi UU MD3, tetapi menekankan pentingnya melihat tren terlebih dahulu.
Revisi UU MD3 dapat bergulir jika partai-partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM), yang mendukung Prabowo Subianto, ingin merebut kursi Ketua DPR RI yang saat ini dipegang oleh PDIP. Partai-partai pendukung Prabowo dinilai tidak akan dengan mudah merelakan kursi Ketua DPR RI dipegang oleh PDIP, terutama jika PDIP memutuskan untuk menjadi oposisi.
Jabatan ini memiliki peran strategis dalam menentukan agenda pembahasan dan kegiatan DPR serta menjadi pintu masuk pemerintah ke parlemen. Berdasarkan hasil Pemilu 2024, partai-partai anggota KIM seperti Golkar dan Gerindra diperkirakan hanya akan menduduki posisi wakil ketua DPR.
Meskipun Ketua Golkar, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa Golkar belum membahas revisi UU MD3 untuk kursi Ketua DPR, tetapi partai ini tetap berharap ada peluang untuk menempati posisi tersebut. Pertanyaannya adalah apakah hal ini mungkin terjadi di sisa masa siding DPR yang tinggal beberapa bulan lagi?
Oposisi Penting, Tapi Bisa Ciptakan Instabilitas
Posisi Ketua DPR ini memang akan bergantung pada apa keputusan PDIP di pemerintahan yang akan datang. Jika partai banteng ini memutuskan untuk menjadi oposisi, maka dinamika perebutan posisi Ketua DPR akan sangat mungkin terjadi. Dengan demikian, posisi Ketua DPR ini berkaitan dengan risalah dari oposisi itu sendiri.
Oposisi dalam politik, terutama di parlemen, memainkan peran yang sangat penting dalam proses pengambilan keputusan publik. Meskipun terkadang dapat memicu kebisingan dan memperlambat proses pembuatan kebijakan, keberadaan oposisi adalah esensial untuk menjaga keseimbangan kekuasaan, mendorong pertanggungjawaban, dan memastikan representasi yang seimbang dari beragam pandangan dalam masyarakat.
Salah satu konsep yang relevan dalam konteks ini adalah “devil’s advocate” atau pengacara setan. Ini adalah konsep yang diadopsi dari Gereja Katolik, di mana argumentasi oposisi dibangun terhadap gagasan tertentu untuk menguji seberapa kuat kebijakan atau pendapat yang sebelumnya dibuat bisa bertahan. Tujuannya adalah agar pendapat atau kebijakan yang diambil benar-benar tepat guna dan tepat sasaran.
Dalam konteks politik, oposisi berfungsi sebagai pengacara setan yang menantang argumen dan kebijakan yang diajukan oleh pemerintah atau mayoritas. Dengan mempertanyakan dan mengkritik, oposisi membantu memastikan bahwa kebijakan yang diusulkan telah melewati uji kritis dan reflektif.
Setidaknya ada beberapa poin soal pentingnya oposisi dalam politik. Pertama soal pengawasan dan pertanggungjawaban. Oposisi memainkan peran penting dalam mengawasi tindakan pemerintah dan memastikan akuntabilitasnya terhadap masyarakat. Mereka menyoroti kegagalan, kesalahan, atau penyalahgunaan kekuasaan yang mungkin terjadi.
Kemudian, oposisi menjadi perwakilan masyarakat. Oposisi mewakili suara-suara minoritas dalam masyarakat yang mungkin tidak terwakili secara memadai oleh mayoritas. Ini memastikan bahwa berbagai perspektif dan kepentingan diakui dan diperhitungkan dalam pembuatan keputusan.
Selanjutnya, oposisi bisa menjadi pelembut ideologi. Oposisi memperkenalkan alternatif kebijakan dan ideologi yang dapat membantu mencegah monopoli pemikiran atau kebijakan dari satu kelompok. Ini mendorong diskusi lebih mendalam dan menyeluruh sebelum mengambil keputusan.
Lalu, hal yang paling penting adalah soal menjaga keseimbangan kekuasaan. Keberadaan oposisi membantu mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh mayoritas atau pemerintah yang berkuasa. Tanpa oposisi yang efektif, risiko tirani mayoritas atau penguasaan pemerintah yang tidak terbatas dapat meningkat.
Sementara, di kutub sebelahnya, jika posisi oposisi terlalu kuat, maka akan ada terlalu banyak perdebatan dan konfrontasi antara oposisi dan pemerintah yang dapat memperlambat proses pembuatan keputusan dan menghambat kemajuan. Ini dapat mengakibatkan kebijakan yang terlambat diimplementasikan atau bahkan tidak efektif karena terlalu banyak kompromi yang harus dilakukan.
Hal ini pernah dicurhatkan langsung oleh Presiden Jokowi di awal-awal kekuasaannya ketika ia menyebut terlalu banyak keributan dan kebisingan dalam pembuatan kebijakan di Indonesia akibat terlalu banyak perdebatan. Hal ini yang membuat kebijakan yang baik sulit terwujud.
Kunci Pemerintahan Prabowo
Bagi pemerintahan Prabowo Subianto mendatang, posisi Ketua DPR menjadi penting karena akan menentukan status dan posisi DPR pada pemerintah. Jika diduduki oleh sosok dari partai oposisi, maka akan sangat mungkin membuat berbagai kebijakan dan program pemerintahan Prabowo terhambat.
Keberadaan oposisi yang terlalu kuat di parlemen bisa menjadi penghalang bagi program pemerintahan di kabinet Prabowo mendatang karena dapat membuat pemerintah kesulitan untuk mendapatkan dukungan legislasi yang diperlukan untuk menerapkan program-programnya. Oposisi dapat menghalangi atau menunda pembahasan dan persetujuan atas undang-undang atau kebijakan yang diusulkan oleh pemerintah.
Kemudian, oposisi yang kuat dapat menghambat kemajuan pembangunan karena seringkali mereka memilih untuk mengkritik dan menghalangi setiap langkah pemerintah, bahkan jika itu adalah langkah-langkah yang bermanfaat bagi masyarakat. Hal ini dapat mengakibatkan stagnasi dalam pelaksanaan program-program pembangunan.
Oposisi yang kuat di parlemen juga dapat mengganggu implementasi kebijakan pemerintah dengan menolak untuk bekerja sama atau bahkan memobilisasi protes dan perlawanan di masyarakat. Ini dapat menghambat upaya pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan yang telah ditetapkan.
Dalam konteks kabinet Prabowo yang mendatang, keberadaan oposisi yang kuat dapat menjadi tantangan serius bagi kelancaran program-program pemerintah. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan oposisi untuk bekerja sama secara konstruktif demi kepentingan bersama dan kemajuan bangsa. Kolaborasi dan dialog antara pemerintah dan oposisi dapat membantu mengurangi konflik politik yang merugikan dan memungkinkan pembangunan yang berkelanjutan.
Dan kerja sama itu juga makin bisa lebih mudah tercapai jika kursi ketua parlemen juga diduduki oleh partai pemerintah. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)